Warisan
Ekonomi SBY
Berly Martawardaya ; Ekonom
dan Dosen
di Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik (MPKP) FEUI
|
KORAN
SINDO, 22 Oktober 2014
Sumpah jabatan sudah diucapkan oleh Presiden Jokowi dan syukuran rakyat
yang menyertainya berlalu dengan meriah. Periode pascaeuforia kemenangan
perlu ditransformasikan menjadi kerja, kerja, dan kerja untuk rakyat sesuai
pidato perdana.
Namun, jangan juga tergesa-gesa melangkah ke depan. Saat ini tengokan
ke belakang, sangat penting untuk mengetahui kondisi aktual dan kumpulan
langkah yang diambil Presiden SBY serta kabinetnya dalam 10 tahun terakhir.
Tulisan ini tidak bermaksud untuk sekadar menuding kejelekan pemerintah yang
telah berlalu, namun sebagai diskursus sehat dan ilmiah untuk mengetahui apa
saja yang sudah berjalan baik untuk diteruskan dan di mana saja perlu
dilakukan perbaikan.
SBY menyatakan bahwa pemerintahannya pro-growth, pro-jobs, pro-poor, dan pro-environment. Maka itu, faktor pertumbuhan, penyerapan tenaga
kerja, pengentasan kemiskinan, dan pelestarian lingkungan tepat untuk menjadi
kerangka analisis warisan ekonomi yang ditinggalkannya. Analisis dimulai pada
2005 di mana kepemimpinan SBY telah memiliki dampak ekonomi sampai 2013
karena belum tersedia data 2014 di BPS.
Pertumbuhan
dan Kualitasnya
Rata-rata pertumbuhan ekonomi riil nonmigas pada periode itu adalah
6,42 yang tergolong cukup tinggi. Ketika 2009 banyak negara Asia terkena
imbas krisis sub-prime mortgage sehingga pertumbuhannya negatif, Indonesia
bisa bertahan pada 4,63%.
Prestasi ini perlu diakui dan dipuji. Sektor yang alami pertumbuhan
mencengangkan pada periode itu adalah telekomunikasi dengan pertumbuhan
rata-rata per tahun 20,95%. Pada posisi dua adalah angkutan udara dengan
10,4%. Adapun pada posisi tiga adalah industri mesin, angkutan, dan perakitan
yang tumbuh 7,9% per tahun.
Pada satu sisi peningkatan komunikasi, mobilitas darat, dan mobilitas
udara bermakna positif dan menambah konektivitas serta interaksi sosial -
bisnis masyarakat. Namun, patut disayangkan bahwa masih sedikit perusahaan
Indonesia yang menjadi produsen perangkat telepon sehingga sebagian besar
keuntungan dinikmati perusahaan asing. Demikian juga dengan kepemilikan saham
operator telekomunikasi.
Indonesia perlu belajar dari China di mana pertumbuhan telekomunikasi
yang tinggi dijadikan kesempatan mengembangkan handset lokal seperti Xiaomi.
Produsen BlackBerry bahkan lebih memilih membuka pabrik di Malaysia sehingga
nilai tambah dan transfer teknologi tidak banyak terjadi. Masyarakat
Indonesia lebih banyak menjadi konsumen di sektor telekomunikasi.
Pertumbuhan tinggi di angkutan udara belum digunakan maskapai Garuda
Indonesia untuk meraih keuntungan. Laporan keuangan semester pertama tahun
ini bahkan masih menunjukkan kerugian Rp2,4 triliun. Merpati bahkan tutup
dengan gaji karyawan masih terkatung-katung.
Dimulainya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) tahun depan membawa tantangan
tambahan pada maskapai domestik karena banyak bandara tadinya khusus untuk
maskapai domestik akan dibuka untuk maskapai dari negara ASEAN sesuai
kesepakatan ASEAN Open Sky Policy.
Maraknya kecelakaan dan keterlambatan maskapai domestik terakhir perlu
diperbaiki jika ingin tetap bersaing.
Sektor industri nonmigas yang menjadi motor pertumbuhan pada Orde Baru
hanya alami pertumbuhan 5,25%. Hanya industri mesin, angkutan, dan perakitan
yang melebihinya dengan 7,9% per tahun. Namun, perlu dikaji apabila
transportasi publik sudah diperbaiki, apakah masyarakat akan terus membeli kendaraan
pribadi atau menguranginya.
Karena Indonesia belum memiliki merek kendaraan bermotor dan tidak
banyak proses industri yang berada di Indonesia, selain perakitan dan
perawatan, nilai tambah industri ini banyak yang keluar negeri.
Sebagian besar sektor yang alami pertumbuhan tinggi memerlukan
pendidikan formal dan keterampilan.Sektor primer yang meliputi pertanian,
peternakan, perikanan, dan perhutanan adalah sektor yang menyerap hampir
setengah tenaga kerja, terutama yang berpendidikan rendah, namun hanya alami
pertumbuhan rata-rata 3,6%.
Periode 2011-2013 alami perlambatan pertumbuhan ekonomi dari 6,5 ke
6,3% dan menjadi 5,8%. Melawan tren ini membutuhkan lebih dari sekadar
pasokan modal asing di mana daya saing perusahaan lokal menjadi kata kunci.
Memang daya saing Indonesia mengalami peningkatan yang diakui dunia
dengan peringkat ke-38 di World
Competitiveness Report 2014. Namun, negara tetangga kita seperti Thailand
dan Malaysia menempati peringkat ke-37 dan ke-24.
Dari segi kemudahan usaha (Doing
Business Report), Indonesia menempati peringkat ke- 120 yang jauh lebih
rendah dari Thailand (91) dan Malaysia (6). Kita ketinggalan pada kemudahan
membuka usaha yang masih membutuhkan 48 hari. Jauh lebih lama dibanding
Thailand yang hanya 28 hari, apalagi jika dengan Malaysia yang hanya enam
hari.
Kemiskinan
dan Pengangguran
Kita perlu mengapresiasi dan bangga atas keberhasilan pemerintahan SBY
yang berhasil menekan jumlah penduduk miskin dari 35,1 juta jiwa pada 2005
menjadi 28,1 juta jiwa pada 2013 yang berarti 7 juta jiwa keluar dari
kategori miskin. Dari segi persentase, ada penurunan dari 15,97% menjadi
11,37%.
Dibentuknya TNP2K sebagai lembaga koordinasi pengentasan kemiskinan
juga positif dengan perbaiki sinergi dan kurangi tumpang tindih program.
Namun, pada tiga tahun terakhir terjadi perlambatan pengentasan kemiskinan
yang menandakan bahwa program di masa depan perlu diperbaiki kemiskinan
kronis dan lintas generasi (inter-generational
poverty) sehingga anak yang lahir dari keluarga miskin dan daerah
terpencil memiliki peluang untuk dapatkan pelayanan pendidikan dan kesehatan
demi menggapai kesejahteraan.
Pertumbuhan Indonesia pada 2005-2013 dimotori pada sektor formal yang
menyerap tenaga kerja terdidik serta terampil. Pengangguran terbuka menurun
dari 11,3% pada 2005 menjadi 6,25% pada 2013. Sektor pertanian, perdagangan,
dan nonformal menjadi penyerap tenaga kerja yang tidak masuk ke sektor formal
ataupun pekerja musiman yang di luar masa tanam/panen di desa lalu menjadi
berdagang atau menjadi buruh bangunan di kota. Namun, pendapatan yang
diterima di sektor tersebut jauh lebih rendah dari sektor formal dan
pertumbuhannya rendah.
Akibat itu, terjadi peningkatan kesenjangan yang pada 2014 mencapai
tingkat tertinggi sejak pencatatan koefisien gini. Kondisi ini bila didiamkan
dapat memicu konflik dan keretakan sosial. Nawacita Jokowi yang menyebutkan
akan membangun Indonesia dari pinggiran sangat tepat karena sektor pertanian
dan daerah terpencil masih terpinggirkan pada pembangunan ekonomi kita.
Ekonomi
Berkelanjutan
SBY mengejutkan dunia dengan menjanjikan pengurangan besar (26% usaha
sendiri dan 41% dengan bantuan internasional) emisi gas rumah kaca (GRK) pada
pertemuan G-20 di Pitssburg, 2009. Beberapa kebijakan seperti moratorium izin
HPH, pendirian Dewan Nasional Perubahan Iklim, dan penerbitan kompilasi
rencana aksi nasional pengurangan GRK menunjukkan komitmen beliau. Namun,
kabut asap yang sedang melanda Riau adalah pertanda dari perusakan hutan (deforestation) Indonesia yang sangat
tinggi (20.000 kilometer persegi pada 2012) yang sudah melebihi Brasil.
Mobil listrik nasional yang didukung Dahlan Iskan belum diproduksi
massal, padahal potensinya sangat besar untuk menghemat konsumsi BBM. Panas
bumi yang juga besar potensinya baru disahkan undang-undangnya pada akhir
masa jabatan SBY sehingga peningkatan porsi energi nonfosil belum banyak
terwujudkan.
Kepemimpinan SBY telah memberikan banyak hasil nyata dan membuka banyak
pintu kesempatan. Adalah tantangan bagi Jokowi untuk mewujudkan berbagai
kesempatan dan potensi tersebut menjadi pertumbuhan yang berkelanjutan dan
menyejahterakan rakyat pada masa kepemimpinannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar