UU
Kelautan dan Laut Kita
Rhenald Kasali ; Pendiri Rumah Perubahan @Rhenald_Kasali
|
KORAN
SINDO, 02 Oktober 2014
Saya
membacanya di sebuah media online. Begini ceritanya. Sabtu, 11 Januari 2014,
sebuah kapal berbendera Indonesia berangkat dari Pelabuhan Teluk Bayur di
Padang, Sumatera Barat.
Kapal
yang mengangkut 2.300 metrik ton semen itu hendak menuju Pulau Nias di
sebelah barat Sumatera. Jaraknya tidak jauh bukan? Beberapa saat setelah
bertolak dari pelabuhan, tiba-tiba petugas Keamanan Laut (Kamla) dari TNI
Angkutan Laut mengejar kapal tersebut. Mereka memaksa naik, memeriksa kapal
dan menahannya selama sekitar 22 jam. Padahal, sebelumnya pihak syahbandar
dan otoritas pelabuhan sudah memberikan surat persetujuan untuk berlayar.
Kasus
serupa berulang esok harinya. Kapal berbendera Hong Kong berangkat dari
Pelabuhan Teluk Bayur menuju China. Kapal itu memuat 32.000 metrik ton bijih
besi. Meski dokumen keberangkatan sudah lengkap, petugas Kamla TNI AL
bersikeras untuk memeriksa kapal. Akibatnya pemberangkatan kapal tertunda
sekitar 15 jam. Sampai sekarang tak pernah terungkap apa yang terjadi di atas
kapalkapal tersebut. Kita tentu hanya bisa menduga-duga.
Sebagai
orang kampus dan praktisi bisnis, saya pasti menunggu jawaban dan jalan
keluarnya. Mahasiswa saya selalu menanyakan, kapan negeri ini menjadi lebih
baik? Mereka juga gemes, tangannya gatal untuk melakukan perubahan. Apa pun,
kasus itu menjadi potret dari buruknya koordinasi antarinstansi di
pelabuhan-pelabuhan kita. Pemicunya boleh jadi karena banyaknya instansi yang
merasa punya hak dan bertanggung jawab untuk ikut mengurus pelabuhan di
Indonesia.
Lihat
saja, di sana ada aparat Imigrasi, Bea Cukai, Badan Karantina, kepolisian,
otorita pelabuhan, syahbandar, otoritas kesehatan dan bahkan TNI AL. Mereka
tidak menyadari, waktu yang hilang akibat pemeriksaan yang semenamena, berita
negatif tentang negeri yang sungguh tidak efisien dan semuanya asyik main
sendiri-sendiri serta kerugian ekonomi yang muncul akibat perilaku-perilaku
buruk itu.
Mengurus
laut adalah mengurus pelabuhan, transportasi, birokrasi dan logistiknya. Jika
mengurus birokrasi pelabuhannya saja sudah ambu-radul, hampir pasti mengurus
lautnya juga bakal kacau balau. Bagi saya, buruknya koordinasi di pelabuhan
adalah potret dari lemahnya kepemimpinan kita.
Saya
petik saja sebuah kutipan dari www.thinkexist.com , ”Leadership has to do with direction. Management has to do with the
speed, coordination and logistics in going in that direction.” Jadi,
menetapkan arah adalah tugas dari seorang pemimpin. Jika arahnya tak jelas,
kecepatan dan koordinasi menjadi masalah. Juga, tak ada dukungan logistik
untuk itu.
Optimalkan Potensi
Senin
(29/9) lalu kita baru saja mengetuk palu untuk mengesahkan RUU Kelautan
menjadi UU Kelautan. Hadirnya undang- undang ini, saya kira, patut menjadi
catatan tersendiri. Sebab, sebetulnya kita sudah sejak 1999 memiliki
portofolio menteri kelautan dan perikanan— meski waktu itu di era
Pemerintahan Abdurrahman Wahid (1999-2001) namanya masih menteri eksplorasi
laut.
Kemudian
undang-undang itu juga baru hadir setelah kita 69 tahun merdeka. Jadi, begitu
lama dan kita harus membayarnya dengan harga yang sangat mahal. Lihat saja,
setiap tahun Indonesia harus menanggung rugi ratusan triliun rupiah akibat
ikan-ikan kita dicuri oleh nelayan-nelayan asing. Semua akibat ketidakmampuan
kita menjaga laut kita sendiri. Kita juga tidak berhasil memanfaatkan
kekayaan laut secara optimal.
Padahal,
selain ikan, masih banyak kekayaan laut lainnya yang bisa kita eksplorasi.
Misalnya, dalam bentuk sumber daya terbarukan, seperti rumput laut, hutan
mangrove, atau terumbu karangnya. Laut kita juga menyimpan sumber daya alam yang
tidak terbarukan, seperti minyak, gas serta hasil tambang dan mineral lain,
yang belum kita eksplorasi. Kita masih tertinggal dalam pengembangan
teknologi eksplorasi di laut dalam.
Kita
juga belum berhasil mengonversi energi yang tersimpan di laut menjadi energi
yang bisa kita pakai dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, dalam bentuk
pembangkit listrik bertenaga arus laut, energi gelombang, atau bahkan dari
panas laut. Kita juga belum mengoptimalkan potensi laut sebagai salah satu
kekayaan wisata. Di sini wisata bahari belum berkembang sebagaimana layaknya
wisata di daratan.
Mungkin
pengenalan kita akan laut baru sebatas pada pantai dan pulaupulaunya. Belum
laut dengan kehidupan para nelayannya. Untuk memastikan hal itu, kita bisa
mengujinya dengan cara sederhana. Cobalah minta anak-anak Anda untuk
menggambar petani. Mereka akan dengan mudah menggambar seseorang yang berdiri
di tengah sawah dengan memakai caping dan memanggul cangkul. Sekarang cobalah
minta anak-anak kita menggambar sosok seorang nelayan? Sebagian mungkin akan
kebingungan.
Snowball Effect
Baiklah
kita bicara dalam potret global. Indonesia adalah negara kelautan yang
ditaburi oleh sekitar 17.504 pulau. Saya menyebut ”sekitar” untuk
menggambarkan betapa kita sebetulnya belum mempunyai data yang akurat soal
jumlah pulau ini. Angka 17.504 pulau saya ambil dari data Kementerian
Pertahanan. Data dari instansi lain hampir pasti akan berbeda-beda. Lokasi
kita juga sungguh sangat strategis.
Dulu
kegiatan ekonomi terpusat di poros Atlantik atau di negara-negara maju di
kawasan utara. Kini hampir 70% kegiatan perdagangan dunia terjadi di kawasan
Asia-Pasifik. Lalu, dari seluruh kegiatan perdagangan di kawasan tersebut, 75
persennya dikirimkan melalui transportasi laut. Ini yang mungkin kita belum
banyak tahu. Rupanya kapal-kapal yang mengangkut barangbarang yang diperdagangkan
di kawasan Asia-Pasifik tersebut melintasi tiga selat kita, yakni Selat
Lombok, Selat Makassar, dan Selat Malaka.
Mantan
Menteri Perikanan Rokhmin Dahuri memperkirakan nilai barang yang melintasi
kawasan kita mencapai USD1.500 triliun per tahun. Ini kira-kira setara dengan
Rp17.250 biliun, atau hampir 10.000 kali lipat dari APBN kita untuk tahun
2014. Dengan nilai transaksi yang sebesar itu, Indonesia sebetulnya sangat
potensial untuk menjadi pusat atau jantung perdagangan di kawasan Asia- Pasifik.
Kita
mestinya bisa memetik banyak manfaat lalu lintas perdagangan tersebut.
Kenyataannya? Saya kira kita masih membuat daftar panjang tentang betapa
lemahnya kita dalam mengoptimalkan kekayaan laut dan kawasan perairannya.
Lalu, sejauh mana UU Kelautan bisa menjadi payung hukum untuk membuat kinerja
sektor kelautan optimal? Saya punya satu asumsi sederhana.
Kalau
ingin mengoptimalkan kinerja sektor kelautan, kita harus mulai membereskan
benang kusut di pelabuhanpelabuhan kita. UU Kelautan punya daya gedor untuk
itu. Salah satunya adalah soal Kamla tadi. UU Kelautan menegaskan bahwa untuk
urusan Kamla bakal ditangani oleh satu lembaga tunggal yang kalau di luar
negeri semacam Sea & Coast Guard .
Jadi
dengan adanya satu lembaga tunggal, tak perlu lagi petugas Kamla TNI AL
memaksa untuk naik dan memeriksa kapal, sebagaimana terjadi di Pelabuhan
Teluk Bayur tadi. Itu baru satu. Tapi, kalau yang satu ini berhasil kita
bereskan, dampaknya bisa seperti snowball
effect. Sekali bergulir, ia kian sulit dihentikan. Malah kian lama malah
justru kian membesar. Saya bukan hanya berharap itu terjadi, tetapi yakin itu
bakal terjadi.
Saya percaya ini akan menjadi perhatian serius presiden terpilih,
Indonesia akan punya menteri maritim yang hebat, dan untuk itu birokrasi pun
wajib diremajakan. Perubahan membutuhkan orang-orang tangguh yang mau
berkorban. Ayo dong! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar