Protokol
Nagoya
Jatna Supriatna ; Pengajar Biologi Konservasi, Universitas Indonesia;
Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
|
KOMPAS,
15 Oktober 2014
TANGGAL 12 Oktober 2014 Protokol Nagoya mulai berlaku. Protokol dapat
berlaku dan berkekuatan penuh karena sudah ditandatangani lebih dari 50
negara dan telah 90 hari diterima Sekretaris Jenderal PBB. Indonesia telah
meratifikasi Protokol Nagoya pada 8 Mei 2013 dengan Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2013, hanya dua tahun setelah protokol tersebut ditandatangani. Dengan
demikian, Indonesia menjadi negara ke-26 yang meratifikasi.
Protokol Nagoya mengatur akses pada sumber daya genetika dan pembagian
keuntungan yang adil dari pemanfaatannya atas Konvensi Keragaman Hayati.
Implikasi dari diterimanya protokol ini cukup banyak bagi Indonesia
yang selain menjadi penanda tangan protokol juga mempunyai keragaman hayati
sangat tinggi di dunia. Akan ada pengaturan pemanfaatan dan perdagangan
keragaman hayati secara global, termasuk pembagian keuntungan, persetujuan
transfer yang menguntungkan, dan pemberitahuan kepada pemangku kepentingan,
alih teknologi, dan lain-lain.
Sebagai negara yang keragaman hayatinya setara dengan Brasil di Benua
Amerika dan Zaire atau Republik Demokratik Kongo di Afrika, sepantasnya kita
bersiap diri menyongsong pemberlakuan protokol ini dengan penguatan bidang
sains dan teknologi mengenai biodiversitas.
Sumber daya genetika Indonesia sangat tinggi karena kita mempunyai 10
persen tumbuhan berbunga di dunia, selain mempunyai 15 persen jumlah
serangga, 25 persen spesies ikan, 16 persen jumlah amfibi dan reptil, 17
persen burung, dan sekitar 12 persen mamalia di dunia.
Kalau tidak menguatkan kompetensi di bidang itu, kita akan menerima
banyak sekali pakar biologi dan ilmu sejenisnya dari luar negeri yang
memanfaatkan peluang di Indonesia. Apalagi pada 2015 kita akan memasuki
komunitas ASEAN dan penerapan Sustainable Development Goal.
Pengaturan dalam Protokol Nagoya bertujuan memberi akses dan pembagian
keuntungan terhadap pemanfaatan sumber daya genetika dan pengetahuan
tradisional, termasuk pemanfaatan produk turunannya (derivatif). Tujuan lain,
mencegah pencurian sumber daya genetika atau biopiracy. Akses terhadap sumber
daya tetap mengedepankan kedaulatan negara dan disesuaikan dengan hukum
nasional.
Rentan
pembajakan
Kekayaan sumber daya hayati memang perlu dikelola sekaligus dilindungi
karena rentan pembajakan hayati, terutama oleh negara-negara maju. Perusahaan
dari negara maju kerap mengambil sumber daya genetika tanpa izin. Indonesia
pun pernah mengalami praktik serupa. Banyak sekali sumber daya genetika,
seperti obat, bahan industri, dan pangan, dipatenkan perusahaan dan pakar
luar negeri.
Sumber daya genetika itu menjadi tujuan peneliti luar negeri karena
materi genetika kita sangat tinggi. Data menunjukkan, 9 dari 10 obat-obatan
yang diproduksi berasal dari materi genetika (Dobson 1995). Ini sejalan
dengan hasil penelitian lain, yaitu dari 150 obat-obatan yang diresepkan
dokter di Amerika Serikat, 118 jenis berbasis sumber alam, yaitu 74 persen
dari tumbuhan, 18 persen jamur, 5 persen bakteri, dan 3 persen vertebrata
seperti ular. Nilai obat-obatan dari bahan alam mencapai 40 miliar dollar AS
per tahun.
Keahlian memanfaatkan tumbuhan sebagai bahan baku obat penting dalam
pengembangan obat. Industri obat-obatan yang menggunakan bahan tradisional
(jamu) termasuk industri tangguh dan permintaan akan bahan tradisional di
negara maju semakin meningkat. Maka dari itu, Indonesia sangat mengharapkan
keuntungan dari pemanfaatan sumber daya alam genetika ini.
Hal itu dapat dicapai melalui kerja sama yang melibatkan masyarakat
setempat, swasta, dan lembaga internasional dalam penelitian sehingga
keuntungan dapat terbagi merata dan dinikmati bersama.
Seiring dengan gencarnya usaha industri farmasi dalam mencari sumber
baru bahan baku kimia tumbuhan untuk mengembangkan obat, industri memusatkan
perhatian pada negara dengan keragaman hayati tinggi seperti Indonesia.
Berarti Indonesia dapat turut berpartisipasi dalam pertukaran barang,
informasi, dan teknologi ke pasar dunia.
Negara industri maju perlu memenuhi kebutuhan sumber daya alam untuk
kepentingan ekonomi, tetapi sebagian besar sumber daya hayati ada di negara
berkembang. Sangat jelas bahwa kerja sama antarnegara sangat dibutuhkan untuk
mengatasinya. Indonesia dapat menjalin kerja sama dengan industri farmasi
internasional melalui dua cara.
Pertama, mengurangi peran bioprospeksi menjadi sekadar alat pencari
uang. Namun, ekspor dan eksploitasi sumber daya alam skala besar dapat
menyebabkan menurunnya persediaan bahan baku alam tanpa menghasilkan
keuntungan dan teknologi apa pun. Dengan dukungan dari Konvensi Keragaman
Hayati, pilihan kedua adalah mengelola secara komersial sumber daya alam yang
dapat menghasilkan keuntungan buat masyarakat dan penduduk lokal.
Selain peluang, terdapat pula tantangan bagi Indonesia. Paling tidak
terdapat dua tantangan Indonesia. Pertama, pembentukan otoritas nasional
pengelolaan dan perlindungan sumber daya di Indonesia. Bentuk kelembagaan ini
bersifat multisektor karena sifat sumber daya genetika di berbagai habitat
yang mencakup perairan dan kelautan, pertanian, kehutanan, serta
penelitian/ilmu pengetahuan. Keanggotaan lembaga terdiri dari pemangku
kepentingan dan instansi terkait. Kedua, pembentukan standar baku atau
prosedur operasi standar (SOP) naskah akses dan pembagian manfaat sumber daya
genetika serta perjanjian transfer materi biologik (material transfer agreement).
Perlu
sinergi
Sinergi institusi pengelola perlu agar tercipta tata kelola dan
perlindungan sumber daya genetika di Indonesia yang holistik. Langkah
selanjutnya adalah kerja keras dari negara dan masyarakat untuk
mewujudkannya. Tanpa sinergi antara negara dan masyarakat, amat sukar untuk
mewujudkan tata kelola dan perlindungan sumber daya genetika yang holistik di
Indonesia.
Pembangunan industri yang memiliki nilai tambah sangat penting untuk
membangun kapasitas di bidang teknologi. Meliputi pelayanan yang berhubungan
dengan identifikasi sampel, ekstraksi kimia, dan investigasi sampel.
Penambahan nilai pada sumber daya biologi tidak saja meningkatkan kapasitas
teknologi, tetapi juga meningkatkan kompensasi perekonomian.
Misalnya, di industri farmasi keuntungannya 1-6 persen untuk sampel
yang belum diidentifikasi, 5-10 persen untuk sampel yang telah
diidentifikasi, dan 10-15 persen untuk sampel yang memiliki informasi ilmiah.
Penguatan kapasitas ilmiah dan teknologi di Indonesia dapat mendukung
formulasi kerja sama dengan industri di negara maju dan juga menempatkan
Indonesia untuk mengendalikan sendiri sumber daya alamnya.
Apakah perjanjian ini akan bermanfaat bagi Indonesia? Tentu saja ya.
Keanggotaan negara akan menegaskan penguasaan negara atas sumber daya
genetika serta kedaulatan negara atas pengaturan akses dan pengetahuan
tradisional dari masyarakat hukum adat dan komunitas lokal, sejalan dengan
Pasal 33 dan Pasal 18 UUD 1945. Selain itu, juga mencegah biopiracy dan
pemanfaatan tidak sah (illegal utilization) terhadap keragaman hayati. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar