Penyembelihan
Demokrasi
Umbu TW Pariangu ; Dosen FISIPOL, Undana, Kupang
|
KORAN
TEMPO, 02 Oktober 2014
Awalnya,
pengesahan RUU Pilkada diharapkan menjadi batu ujian bagi keberlangsungan
embusan roh demokrasi, apakah demokrasi harus menemui ajalnya pada altar
rezim elektoral parlemen atau sebaliknya tetap berembus mengisi dan
menggerakkan "raga" politik dan daulat rakyat. Namun, dengan
dikembalikannya pilkada ke DPRD lewat voting dalam Sidang Paripurna DPR pada
Kamis pekan lalu, ini menjadi semacam mimpi buruk bagi demokrasi kita. Babak
baru pengerdilan dan penyembelihan demokrasi seakan-akan telah dimulai oleh
sekelompok (fraksi) elite politik di Senayan.
Sulit
untuk tidak menarik kesimpulan bahwa pengembalian pilkada ke DPRD merupakan
bagian dari luapan kekecewaan politik koalisi Merah Putih atas kekalahan
mereka dalam pemilihan presiden. Kekecewaan itu bersambung dengan napas
panjang politik subyektifisme dan rivalitas emosional politik yang belum
terkubur.
Habermas,
dalam teori rasionalitas publik-nya, selalu menekankan pentingnya posisi dan
suara rakyat sebagai alat kontrol bagi partai, eksekutif, dan legislatif
untuk menguji legitimasi kekuasaan dari berbagai godaan manipulasi massa
dalam proses pemilu. Ketika hak bersuara rakyat direduksi, daya legitimasi
kekuasaan akan kehilangan substansi karena dibajak oleh oligarki elite yang
eksklusif dan terputus dari ruang-ruang terbuka (publik), sehingga rakyat tak
lagi memperoleh ruang untuk mengakses kekuasaan atau pemerintahan (kratos).
Dalam
ruang gelap inilah kekuasaan tidak lagi dijadikan alat untuk mengejar
kepentingan publik (res-publica), melainkan untuk pemenuhan kepentingan
pribadi (res-privata) sebagai tujuan utama. Padahal, penguatan kultur
demokrasi bagi rakyat bukan hanya melalui edukasi wacana, tapi juga praksis
nyata yang terus berproses dalam peristiwa sosial-politik (Habermas, 1993). Menurut Siti Aminah (Kuasa Negara pada Ranah Politik Lokal,
2014: 202-204), protes yang selalu mengemuka dalam setiap pilkada di
hampir sebagian besar daerah di Indonesia muncul akibat kurangnya edukasi
politik kepada rakyat ataupun sentralisme partai politik dalam merekrut
kader-kadernya, sehingga menimbulkan monetokrasi (demokrasi uang) yang masif.
Dalam
perspektif minoritas kreatif yang diusungnya, Arnold Toynbee mengatakan lebih
mudah mereproduksi politik kehancuran daripada menginisiasi politik kebaikan.
Artinya, lahirnya pemimpin-pemimpin daerah berprestasi mestinya menjadi tren
demokrasi langsung yang perlu terus dipelihara. Kalaupun jumlah mereka sejauh
ini masih minoritas dibanding jumlah kepala daerah yang terjerat korupsi,
tidak berarti pilkada langsung serta-merta divonis gagal melahirkan
pemerintahan yang demokratis. Ini silogisme yang cacat dan prematur.
Pada akhirnya, kita memang mendukung pihak-pihak yang menggugat hasil
voting RUU Pilkada ke Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi. Namun,
sejatinya, sejak jauh-jauh hari publik sudah menuntut ketegasan presiden
untuk menolak dilanjutkannya "bola panas" pembahasan RUU Pilkada ke
DPR, mengingat inisiatif pembahasan hal tersebut berasal dari pemerintah.
Tapi SBY sepertinya sengaja membiarkan energi dan emosi publik terkuras
dengan membiarkan "bola panas" RUU tersebut diolah oleh blunder
kaki-kaki politik parlemen yang sarat akan siasat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar