Mental
Birokrasi
Benny Susetyo ; Pemerhati Sosial
|
SINAR
HARAPAN, 02 Oktober 2014
Pembangunan
infrastruktur menjadi prioritas presiden terpilih selama lima tahun ke depan,
khususnya infrastruktur yang berada di laut. Itu mengingat selama ini maritim
seolah diabaikan. Konsentrasi pembangunan lebih banyak di darat.
Salah
satu permasalahan mendasar dari visi besar tersebut adalah, bagaimana
birokrasi tanggap dan bekerja keras memberikan dukungan realisasi cita-cita
tersebut?
Namun,
justru di sinilah persoalan besarnya. Kita memiliki birokrasi yang lambat dan
bermental korup. Hal ini merupakan hambatan terbesar untuk mempercepat
pembangunan. Mentalitas korup jelas akan menciptakan birokrasi yang tidak
saja tidak optimal, tetapi justru menghambat.
Sistem dan Aktor
Baik
sistem maupun aktor, keduanya banyak bermasalah dan kerap menghambat
pembangunan. Korupsi pun menjadi hal lumrah yang terjadi di mana-mana. Mental
birokrat korup ini mengingatkan kita pada mentalitas birokrasi zaman VOC yang
bangkrut akibat korupsi para pegawainya. Birokrasi yang gemuk dan tidak
efektif, menghasilkan tata kelola yang jelek pula.
Tentu
saja pemerintahan yang bersih bukan sekadar citra dan pencitraan.
Pemerintahan bersih mengandung makna yang sangat mendalam dan mendasar. Ini
menyangkut susbtansi, dan kita belum sampai pada proses inti “pemerintahan
yang bersih” itu sendiri.
Kita
baru tahap citra pemerintahan yang bersih. Selama ini di dalam kemolekan
pemerintahan yang tercitrakan bersih, publik secara sadar masih melihat
jelas, masih begitu banyak kasus korupsi yang belum terungkap. Masih begitu
banyak onak duri yang mengganjal perjalanan menuju pemerintahan yang sehat
dan bersih dengan tingkat korupsi yang begitu minimal.
Mental
birokrat ndhoro menunjukkan mereka hanya ingin dilayani, bukan memberikan
pelayanan terbaik dan tercepat kepada masyarakat. Dikarenakan ingin dilayani,
budaya suap dalam proses merintis sebuah usaha pun tak dapat dielakkan. Harga
pelayanan publik pun tidak sama.
Mereka
yang berani memberikan upeti kepada ndoro mereka akan mendapatkan pelayanan
cepat. Sebaliknya, yang menggunakan jalur dan prosedur normal justru
mendapatkan pelayanan yang tidak sesuai harapan.
Itulah
profil dan mental birokrasi kita. Diakui atau tidak, kita menghadapi
tantangan tidak ringan dalam membangun kemajuan ekonomi bangsa ini. Birokrasi
yang seharusnya menjadi faktor pendorong justru sebaliknya, malah menjadi
faktor yang menghambat. Birokrasi bahkan dianggap sebagai momok yang
menakutkan.
Bahkan,
dalam sebuah kelakar, birokrasi tidak perlu susah-susah menjadi pendorong
kesejahteraan ekonomi rakyat. Namun, bila sedikit saja birokrasi tidak
merecoki urusan rakyat, kemajuan ekonomi masyarakat akan bertumbuh sangat
pesat. Kelakar itu menunjukkan, birokrasi kita lebih berperan “menghambat”
daripada “mendorong”.
Sudah
menjadi rahasia umum, budaya birokrasi kita selalu menunda-nunda pekerjaan
dan mempersulit perizinan agar mereka mendapatkan upeti. Kultur ini terus
berjalan tanpa ada perubahan, karena bangsa ini kering visi dalam
kepemimpinan. Pejabat dan politikusnya seolah melanggengkan budaya yang membuat
mereka untung secara pribadi.
Meski
birokrasi dan pelayanan publik berusaha bekerja menurut prinsip-prinsip
keadilan, kenyataannya korupsi dan malapraktik yang mengakibatkan ekonomi
biaya tinggi sering terjadi.
Meski
manajemen publik tidak selalu berorientasi profit, nyatanya profit itulah
yang dikejar. Ini karena organisasi publik tidak berkompetisi dengan lainnya
dalam memberikan pelayanan, sehingga dia menjadi monopolistik dan kerap
bertindak semaunya.
Budaya “Jalan Pintas”
Sejauh
ini, proses pemberantasan korupsi masih boleh dikatakan “setengah hati”.
Koruptor kakap masih berkeliaran. Mereka bermain di birokrasi dan kekuasaan,
merampok uang rakyat dengan berbagai cara. Mafia-mafia ini berkeliaran
mencari kesempatan dalam kesempitan.
Pemberantasan
korupsi belum menjadi agenda utama penataan bangsa ini ke depan. Peperangan
dengan jalan bertobat masih dilakukan secara maksimal. Mereka yang ditangkapi
adalah para koruptor kelas teri, yang kategori kelas kakap belum banyak yang
tersentuh.
Bangsa
ini sudah lama tak berdaya melepaskan diri dari jerat budaya korupsi. Suka
tidak suka, sebagai budaya, korupsi adalah sesuatu yang melekat dalam diri
bangsa ini. Bahkan seolah korupsi sudah menjadi pola kehidupan bangsa ini dan
bagian tak terpisah. Korupsi terjadi dan membentuk mentalitas.
Hal ini
tidak lepas dari kultur bangsa. Begitu membudayanya dan sistematisnya
korupsi, seakan telah membuat bangsa ini tak berdaya menghadapinya. Tak lain
karena bangsa ini telah lama dihidupi strategi berkehidupan yang disebut
sebagai “jalan pintas”.
Kultur
“jalan pintas” inilah yang membuat elite politik hanya sibuk memperkaya diri
dan melupakan tugas untuk menyejahterakan rakyat. Kebijakan yang dibuat hanya
sekadar untuk meraih popularitas daripada secara serius bagaimana
mengusahakan rakyat untuk hidup lebih mandiri.
Budaya
inilah yang membuat bangsa ini sangat tergantung segala sesuatu yang bersifat
material. Ada kecenderungan ironis, bahwa menjadi elite politik sekaligus
melekat haknya untuk meneruskan tradisi masa lalu yang bernama korupsi.
Praktik
seperti inilah yang membuat bangsa ini semakin tak berdaya menghadapi
kesengsaraan orang lain. Padahal, jelas korupsi akan mengakibatkan kemiskinan
masyarakat. Busung lapar, rendahnya mutu pendidikan, kemiskinan,
pengangguran, ketimpangan, dan kesenjangan, adalah deretan permasalahan
bangsa yang berujung langsung dari perilaku korupsi.
Mengapa
kerbagai kenyataan di atas tidak membuat kita menyelesaikan akar masalahnya
secara tuntas? Jika korupsi berhasil diberantas dan tumbuh budaya baru,
masalah-masalah kebangsaan yang berderet itu pada saatnya juga akan ikut
terselesaikan.
Penyebab
hampir semua persoalan bangsa ini adalah korupsi. Budaya korupsi yang
dilakukan sebagian pejabat publik dan masyarakat telah menghancurkan
sendi-sendi kehidupan bangsa ini. Bangsa ini seolah tak berdaya melawan
karena korupsi bahkan sudah sering menjadi pola kebijakan politik yang
dianggap lumrah.
Pemerintahan
mendatang harus secepatnya mencari jalan keluar untuk mengatasinya. Mengatasi
korupsi dalam birokrasi tidak hanya sekadar lewat sebuah kebijakan politik.
Dibutuhkan sebuah alternatif lain, yakni bagaimana mencari penjelasan
seterang-terangnya, kenapa korupsi itu bisa timbul? Korupsi bisa saja terjadi
karena pola kehidupan yang cenderung materialistis dan berbiaya tinggi (high cost economic).
Pola
perilaku seperti inilah yang suka tidak suka telah menjadi bagian kultur
kehidupan publik ini. Akibatnya, ruang publik tak berdaya dan telah
tergadaikan pada menghadapi “monster-monster” yang begitu dominan dalam
mengatur kehidupan.
Sudah banyak contoh dan dampak kebuasan korupsi yang membudaya seperti
ini. Pemerintahan mendatang tidak bisa tinggal diam menyaksikan semua ini.
Korupsi dalam birokrasi harus dibasmi sampai akar-akarnya dan menciptakan
sistem dan budaya baru yang bebas dari korupsi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar