Mencegah
Bancakan BUMN
Ali Mutasowifin ; Dosen
Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB
|
KOMPAS,
29 Oktober 2014
PRESIDEN Joko Widodo telah dilantik dan kabinet baru pun telah
dipilih.
Seperti telah diduga, di antara mereka yang diangkat terdapat
banyak kalangan yang selama ini dianggap telah berkeringat menyokong sang
Presiden dalam kontestasi pemilu presiden yang lalu. Menteri memang jabatan
politis, dan Presiden biasanya memiliki preferensi tersendiri dengan
mempertimbangkan kompetensi dan representasi.
Yang sering luput dari perhatian, tak lama setelah pemerintahan
berganti, beragam jabatan yang bukan jabatan politis dan seharusnya hanya
diisi dengan pertimbangan kompetensi juga ditransaksikan sebagai kompensasi
terkait kontestasi politik. Salah satu yang lazim dijadikan ”hadiah” adalah
jabatan komisaris badan usaha milik negara (BUMN).
Karena hadiah itu diberikan pemegang tampuk kuasa, sering kali
BUMN tidak kuasa menolak. Ketidakmampuan BUMN menentukan langkah sesuai
dengan kehendaknya sendiri pernah diakui mantan Menteri BUMN Dahlan Iskan. Ia
menyatakan bahwa BUMN saat ini belum merdeka sepenuhnya dari berbagai
intervensi politik dan bisnis (Kompas,
18/8/2014).
Memang, sudah menjadi rahasia umum bahwa posisi komisaris BUMN
acap menjadi bancakan, didistribusikan kepada para pejabat, mereka yang dekat
dengan kekuasaan, serta orang-orang yang dianggap berjasa dalam upaya meraih
kekuasaan. Kompetensi barangkali hanyalah pertimbangan nomor kesekian.
Salah satu contoh masalah ini terungkap saat berlangsungnya
pilpres beberapa waktu lampau. Pemimpin terbitan Obor Rakyat, tabloid yang
banyak menulis fitnah kepada Joko Widodo, ternyata Komisaris PT Perkebunan
Nusantara XIII (PTPN XIII), sebuah perusahaan pelat merah yang bergerak di
bidang kelapa sawit dan karet. Padahal, ia yang juga adalah Asisten Staf
Khusus Presiden Bidang Pembangunan Daerah Velix Wanggai diketahui pernah
dipecat dari sebuah perusahaan pers karena ”pelanggaran etika.” Sebuah
perguruan tinggi swasta di Bandung pun membantah pernah meluluskannya.
Memang, kasus Obor Rakyat itu membongkar fakta tentang buruknya
praktik tata kelola perusahaan milik negara di Tanah Air. Aturan yang berlaku
umum adalah ”siapa kenal siapa” atau ”siapa dibawa siapa”. Kasus PTPN XIII
yang harus menerima orang yang tidak tepat di tempat yang tidak tepat tentu
bukanlah kasus tunggal, bahkan tampaknya merupakan fenomena puncak gunung es
terkait praktik yang lazim berlaku di perusahaan-perusahaan pelat merah.
Praktik yang juga lazim adalah kala pemerintah, sebagai pemegang
saham mayoritas di BUMN, menempatkan para penggede negeri semisal wakil
menteri atau pejabat eselon 1 menjadi komisaris di perusahaan-perusahaan
milik negara. Pada era Susilo Bambang Yudhoyono, para pejabat di lingkungan
istana, termasuk juru bicara presiden dan para staf khusus presiden, tak
luput juga memperoleh ”hadiah”, menjadi pengawas perusahaan-perusahaan pelat
merah. Tentu, keuntungan finansial berlimpah juga mengikuti posisi itu.
Komisaris sibuk
Selain persoalan kompetensi, bancakan BUMN ini juga mencuatkan
masalah lain, yakni fokus, konsentrasi, dan kesempatan para komisaris.
Pertengahan tahun ini, misalnya, pemerintah mengangkat Wakil Menteri BUMN dan
Direktur jenderal Anggaran Kementerian Keuangan sebagai Komisaris Utama dan
Komisaris Bank Mandiri. Padahal, sebenarnya6 masa jabatan komisaris lama belum berakhir, bahkan ada yang
baru akan berakhir tiga tahun kemudian. Seperti biasa, tak ada penjelasan
yang memadai pun masuk akal untuk aksi korporasi yang tak biasa seperti ini.
Masalahnya, di tengah-tengah kewajiban menjalankan urusan
pemerintahan sehari-hari yang pasti sangat padat, sulit membayangkan mereka
masih memiliki cukup energi dan kesempatan untuk fokus memikirkan detail
urusan perusahaan. Apalagi, sebagaimana kerap terjadi, terkadang seorang
pejabat menjadi komisaris di beberapa perusahaan pelat merah sekaligus.
Pengalaman penulis beberapa kali mengikuti rapat umum pemegang
saham (RUPS) BUMN yang telah masuk bursa, sering para pejabat tersebut absen
hadir bahkan untuk acara RUPS yang hanya setahun sekali.
Praktik semacam ini tentu merugikan BUMN karena posisi komisaris
bukan sekadar sarana guna membagi-bagikan gula-gula kekuasaan belaka,
melainkan memiliki peran sangat vital bagi perkembangan bisnis korporasi.
Kondisi ini pernah diingatkan Fich dan Shivdasani (2004) dalam penelitiannya Are Busy Boards Effective Monitors?
Mereka menemukan bahwa perusahaan yang diawasi komisaris yang sibuk lebih
sering membukukan rasio nilai pasar/nilai buku serta laba operasional yang
lebih rendah. Mereka juga membuktikan bahwa komisaris yang sibuk biasanya
berkaitan dengan tata kelola perusahaan yang lemah.
Presiden Joko Widodo memiliki kesempatan bagus mewujudkan
janji-janji kampanyenya dengan memutus kebiasaan buruk selama ini, dengan tak
membagikan jabatan komisaris BUMN sebagai hadiah bagi mereka yang dianggap
telah membantunya meraih kekuasaan. Itu karena, sesungguhnya yang paling
berjasa mengantarkannya ke istana bukan mereka yang selama ini senantiasa
mengiringinya, melainkan jutaan rakyat jelata yang mendambakan kesejahteraan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar