Memilih
Pimpinan MPR
Sugiyono Madelan ; Peneliti INDEF, Dosen Universitas Mercu Buana
|
SINAR
HARAPAN, 09 Oktober 2014
Setelah anggota DPR dilantik pada Selasa (30/9) pagi, pemimpin DPR
seyogianya sudah terbentuk sore itu juga. Pemimpin DPD juga terbentuk Rabu
(1/10), dan paling lambat seharusnya pemimpin MPR terbentuk Kamis (2/10) sehingga setiap komisi dapat menentukan
agenda persidangan di DPR, DPD, dan MPR sejak Jumat (3/10) dan
persidangan-persidangan sudah dapat dimulai sejak Senin (6/10). Tetapi,
pembentukan pemimpin MPR mundur menjadi Jumat. Kemunduran tersebut berlanjut
ke Senin (6/10) hingga Selasa (7/10) untuk membangun musyawarah mufakat.
Kata parle dimaknai sebagai hak berbicara untuk menyampaikan pendapat
bagi setiap anggota parlemen. Ketika anggota parlemen (DPR, DPD, dan MPR)
tidak mudah menyampaikan pendapatnya secara jelas dalam tempo tersingkat,
kejadian pembatasan waktu berbicara tidak terlalu berlaku di parlemen.
Implikasinya, setiap penambahan waktu untuk bersidang dapat melebihi
jadwal. Perubahan jadwal akan memundurkan jadwal yang berurutan. Akhirnya,
teori jalur terpendek untuk menghasilkan waktu tersingkat dalam aplikasi ilmu
manajemen strategis, ilmu strategi operasi dan proses manajemen, ilmu
manajemen operasi, serta ilmu rantai pasok global pun runtuh oleh teori hak
veto dalam ilmu politik.
Ujung bahaya dari demokrasi sesungguhnya kejadian anarkistis, berawal
dari pemilik hak veto menggunakan haknya untuk menegasikan veto dari para
pesaingnya. Tragedi hak veto secara sangat jelas diulas dalam sejarah
Kekaisaran Romawi.
Dalam ilmu manajemen strategis diulas, mengelola strategi itu
dimaksudkan dapat memilih pilihan terbaik dari beberapa opsi yang tersedia.
Ketika memilih itu muncullah persaingan. Dalam kinerja organisasi baik
internal maupun eksternal, muncullah kata “persaingan”. Kata itu digunakan
untuk melunakkan kata “peperangan” atas aplikasi ilmu manajemen strategis
sebagai tujuan memenangi pertempuran. Di sini, ilmu manajemen strategis mulai
dituliskan sebagai cabang dari ilmu manajemen.
Selanjutnya kata “menang” dan “kalah” sebagai implikasi dari persaingan
politik di parlemen dijadikan provokasi drama ilmu komunikasi massa untuk
menilai efektivitas kinerja koalisi. Jadi, muncullah komentar tentang apakah
terpilihnya pemimpin MPR akan mencatatkan Koalisi Indonesia Hebat mengalami
kekalahan yang kelima dengan nilai kosong lima, serta hadiah aklamasi sebagai
penghibur atas nama musyawarah mufakat.
Pencemoohan sebagai implikasi penggunaan indikator untuk menilai
efektivitas kinerja organisasi Koalisi Indonesia Hebat itu sesungguhnya
menjadi pemicu hiruk-pikuk latar depan dari kemoloran jadwal pemilihan
pemimpin DPR, DPD, dan MPR. Pasalnya, kehadiran televisi menghasilkan artis
antagonis dadakan yang memeriahkan acara pemilihan di parlemen di atas.
Dari sisi lain, publik justru menginginkan transparansi pada setiap
momentum pengambilan keputusan politik dalam sidang paripurna DPR, DPD, dan
MPR. Bahkan acara lobi politik pun, ingin diintip para penggemar kejadian
politik. Momentum tersebut memeriahkan kejadian jual-beli di pasar saham dan
pasar valuta asing di Indonesia pada periode insidental.
Tak
Kompeten
Sebenarnya kurang tepat mengatakan ada “keterkejutan berpolitik” kepada
anggota parlemen yang baru. Ini karena mekanisme pengambilan keputusan
politik untuk memilih pemimpin itu merupakan tata tertib yang lazim dilakukan
awal masa persidangan setelah mereka dilantik. Akan lebih tepat, terjadinya
masalah inkompetensi kepada parpol pemenang Pemilihan Legislatif (Pileg) dan
Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014, yakni para pelobi politik tidak mendapat
desentralisasi kewenangan yang pantas dari para pemilik saham ketua umum
parpol. Kejadian ini ditunjukkan momentum taktik all out yang berubah menjadi
walkout.
Di samping itu, sulitnya mengambil keputusan bukan saja merupakan
pemanasan berlomba berargumentasi guna menuju titik aklamasi dalam musyawarah
mufakat (100 persen setuju) dalam berdebat sebelum voting. Lobi-lobi politik
pun berlangsung berkepanjangan itu menunjukkan, fenomena penguatan terhadap
terjadinya inkompetensi di atas, yakni pemenang Pileg dan Pilpres 2014
mengalami kegagalan mengubah hasil seleksi pemilu langsung yang menimbulkan
hierarki piramida tinggi untuk diubah menjadi kewenangan legitimasi politik
piramida terbalik.
Manuver aliansi strategis Koalisi Merah Putih yang mengubah peta
politik dari pembentukan hierarki piramida tinggi menjadi bentuk piramida
datar, politik recall, maupun taktik menjaga reputasi dan kooptasi anggota
DPD dengan parpol berpotensi menegasikan hak veto dari Koalisi Indonesia
Hebat. Opsi politik dari Koalisi Indonesia Hebat kembali menjadi menerima
tekanan aklamasi musyawarah mufakat dari Koalisi Merah Putih, meminta bantuan
Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mengeluarkan hak veto keputusan sela yang
membuyarkan sistem paket pada UU MD3, melakukan koalisi “semu” dengan DPD,
mengulur-ulur waktu sebagaimana kejadian pemilihan pemimpin di atas,
membangkitkan kelompok-kelompok kepentingan untuk berjuang di luar parlemen
guna menekan pilihan kolektif, melakukan hujan interupsi, rajin maju ke meja
pemimpin sidang, dan mengulangi eksploitasi drama kesedihan massal humanisme
publik dalam bentuk walkout untuk kembali keluar dari persidangan.
Aksi veto-memveto di atas selanjutnya berpotensi menjadi anarkistis
apabila Koalisi Merah Putih menuntut hak veto yang sama, berupa menolak hadir
dalam persidangan pada pengambilan keputusan dalam memilih pemimpin MPR
sebagai respons manuver dari Koalisi Indonesia Hebat di atas, yang
mengeksploitasi taktik propaganda ilmu komunikasi massa. Betapa propaganda
ilmu komunikasi massa tersebut terbukti menjadi taktik yang efektif digunakan
Koalisi Indonesia Hebat dalam kampanye Pilpres 2014, yang memenanginya secara
tipis. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar