Konsolidasi
Rezim Orde Baru
Hendardi ; Ketua Badan Pengurus Setara Institute, Jakarta
|
KOMPAS,
02 Oktober 2014
HAKIKAT dari transisi politik adalah transformasi sistemik praktik penyelenggaraan
negara dari otoritarianisme ke demokrasi. Di dalamnya tersemai berbagai
pranata politik yang memungkinkan penyelenggaraan negara yang bersih, bebas
korupsi, transparansi, dan akuntabilitas. Juga penghargaan terhadap hak asasi
manusia, check and balances antarlembaga negara dan antarnegara-warga negara,
serta partisipasi politik rakyat yang berkualitas. Pemangkasan hak pilih
langsung rakyat dalam pemilihan kepala daerah melalui pengesahan RUU Pilkada
membuat salah satu pranata demokrasi itu pincang.
O’ Donnell dan Schmitter (1993) menerjemahkan transisi politik sebagai
selang waktu antara satu rezim dan rezim berikut. Transisi adalah
transformasi dari suatu orde otoriter ke orde yang tidak terlalu jelas
sosoknya. Ketidakjelasan itu dipahami sebagai ”rangkaian berbagai
kemungkinan” bentuk orde politik. Di sinilah berbagai kemungkinan yang
sebelumnya tidak tampak jadi mengemuka, dari menguatnya politik identitas
hingga gejala disintegrasi bangsa.
Dalam kaitan dengan peningkatan kualitas partisipasi demokratik rakyat,
konsolidasi hukum pemilu sebenarnya hampir mencapai posisi yang diidealkan
dalam praktik demokrasi Indonesia. Artinya, Indonesia telah melewati
rangkaian berbagai kemungkinan yang digambarkan O’ Donnell dan Schmitter.
Kinerja transisi politik telah menciptakan sistem pemilu yang demokratis.
Namun, setelah pengesahan RUU Pilkada, jelas sudah bahwa tanda-tanda
konsolidasi rezim Orde Baru—sebagai kemungkinan lain dari transisi—memulai
pergerakannya secara terbuka.
Rangkaian
agenda
Pemangkasan daulat rakyat dalam pilkada bukanlah agenda pertama Koalisi
Merah Putih (KMP) melakukan konsolidasi politik melawan arus demokratisasi.
Sebelumnya, di tengah konsentrasi warga menyambut pilpres, Juli lalu, KMP
telah menyetujui RUU tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) menjadi UU No
17/2014. UU ini, selain mengandung cacat konstitusional karena memungut
kembali sejumlah materi muatan yang telah dinyatakan inkonstitusional oleh
Mahkamah Konstitusi, juga menjadi arena uji konsolidasi KMP sekaligus memasung
kepemimpinan PDI-P, partai pemenang pemilu, sebagai pimpinan DPR.
Dalam perayaan kemenangan voting RUU Pilkada (26/9), elite KMP,
Aburizal Bakrie, menyatakan bahwa KMP mengemban visi-misi mulia mengembalikan
Indonesia dari liberal kembali ke Pancasila. Demikian juga Prabowo Subianto
yang mengklaim KMP akan menyelamatkan Indonesia. Argumen-argumen yang
mengemuka dari KMP semakin mempertegas fallacy politik KMP setelah
kekalahannya pada pilpres Juli lalu. Padahal, partai-partai yang tergabung
dalam KMP bukanlah pendatang baru, melainkan terlibat menata demokrasi di
Indonesia.
Di antara pembeda perubahan pasca Orde Baru adalah menguatnya daulat
rakyat yang bisa menentukan pilihan politiknya dalam setiap kontestasi
politik, pemilu, pilpres, dan pilkada pada setiap periode politiknya. Daulat
rakyat itu kemudian mengganti daulat elite partai yang selama Orde Baru
mengendalikan seluruh proses politik di negeri ini. Oligarki menjadi ciri
utama sistem politik Indonesia.
Namun, setelah lebih kurang berjalan selama 10 tahun, daulat rakyat
kembali dirampas oleh kekuatan politik Orde Baru berwajah reformis.
Kemenangan kubu KMP dalam proses kelahiran UU MD3 dan UU Pilkada mempertegas
polarisasi dan konfigurasi politik yang kemungkinan menjadi wajah baru
politik Indonesia lima tahun ke depan.
Sebagai rangkaian agenda, hasrat politik KMP sangat mungkin mengubah
fondasi dan pranata demokrasi yang telah dibangun sejak 1998, termasuk agenda
pengembalian mekanisme pilpres oleh MPR juga mengembalikan UUD 1945 ke naskah
sebelum amendemen. Arus balik demokrasi ini harus dibendung karena justru
membahayakan Indonesia. Dalil-dalil pembelaan terhadap rakyat, membela
Pancasila, dan penyelamatan Indonesia adalah jargon yang dikapitalisasi untuk
menutupi politik tuna- moral elite-elite KMP.
Tuna-moral
Politik tuna-moral adalah politik tanpa mempertimbangkan moralitas
politik yang bersumber dari aspirasi politik rakyat, digambarkan sebagai
politik penuh tipu muslihat. Muslihat itu tergambar dari inkonsistensi antara
pernyataan dan perbuatan. Inilah beberapa ciri politik tuna-moral yang jadi
ciri politik Orde Baru. Rakyat diletakkan sebagai alas kaki kekuasaan, yang
hanya tiap lima tahun dimanfaatkan sebagai legitimasi semu demokrasi.
Kemenangan KMP dalam voting RUU Pilkada adalah peragaan politik
tuna-moral yang merampas hak rakyat demi memenuhi ambisi elite partai.
Perampasan daulat rakyat itu yang utamanya terjadi karena politik murahan
Partai Demokrat yang berpura-pura mendukung pilkada langsung, tetapi
sebenarnya sama kehendaknya dengan KMP.
Inilah cara berpolitik terburuk Partai Demokrat selama dua periode
kepemimpinan politik SBY. Partai Demokrat sesungguhnya sekutu KMP yang tetap
ingin memetik citra politik positif di hadapan rakyat dengan politik
berpura-pura. Politik dua kaki Demokrat ini merupakan test casepositioning
Partai Demokrat pada kepemimpinan Jokowi-JK.
Konsolidasi dan perlawanan kekuatan masyarakat sipil adalah mutlak demi
mengawal demokrasi. Pada saat yang bersamaan, realitas politik ini juga
menuntut PDI-P dan partai koalisinya mencari mitra koalisi baru yang bisa
menggenapi dukungan politik bagi Jokowi-JK. Tanpa tambahan koalisi, drama
politik seperti dalam RUU Pilkada akan terus berulang. Kondisi ini hanya akan
mempercepat konsolidasi anasir Orde Baru menguasai kembali panggung kekuasaan
Republik Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar