Kepercayaan
Modal Mengelola Kota
Denny Bratha ; Pemimpin Redaksi Jurnal Tata Kota
|
KOMPAS,
14 Oktober 2014
KEBUTUHAN rakyat untuk tinggal di lingkungan kota yang baik dan nyaman
saat ini menjadi isu besar yang terus didengungkan. Kota-kota besar mulai
berbenah dan berlomba-lomba melakukan penataan kotanya menjadi lebih baik.
Sederet nama kepala daerah yang dianggap memiliki visi kreatif menata kota
kerap menghiasi panggung media massa. Sayangnya, tak semua kota beruntung
memiliki kepala daerah yang mampu membawa perubahan segar wajah kota, yang
muncul justru sederet persoalan yang bertahun-tahun tak pernah terselesaikan.
Pertengahan Agustus 2014, Kompas menurunkan artikel menarik berjudul
”’Geng’ Muda Penata Kota”. Disebut, sejumlah kepala daerah berusia muda,
tetapi mampu menggerakkan gairah perubahan kota secara kreatif. Di antaranya;
Plt Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, Wali Kota Bogor Bima Arya
Sugiarto, Wali Kota Bandung Ridwan Kamil, Wali Kota Tangerang Arief R
Wismansyah, dan Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas.
Di luar nama-nama tersebut, kita mengenal figur Wali Kota Surabaya Tri
Rismaharini serta mantan Wali Kota Solo dan mantan Gubernur DKI Jakarta Joko
Widodo sebagai kepala daerah yang mampu melakukan perubahan wajah kota
besar-besaran, bahkan prestasi mereka diakui dunia. Tentu masih banyak kepala
daerah lain yang memiliki segudang prestasi, tetapi luput dari ingar-bingar
liputan media.
Para kepala daerah kreatif ini memiliki kemampuan mengelola kota dengan
baik, membuat beragam program dan terobosan untuk mengubah kota menjadi
nyaman dihuni oleh warganya, menciptakan pelayanan publik yang prima,
kepemimpinan komunikatif dan responsif terhadap kebutuhan warga, serta
berpihak ke rakyat miskin. Perubahan itu bisa dilihat dan dirasakan langsung.
Kota-kota besar lain sampai saat ini masih bergulat dengan beragam
persoalan perkotaan, seperti kemacetan, banjir, sampah, kesemrawutan pedagang
kaki lima, kriminalitas, dan korupsi. Ruang-ruang publik dijarah kepentingan
modal dan diubah jadi ruang-ruang privat. Minimnya ruang publik sesungguhnya
kian memperlebar jarak komunikasi antara rakyat dan pemimpinnya.
Kesenjangan jarak komunikasi tersebut lambat laun akan menghilangkan
rasa kepercayaan antara pemimpin dan rakyatnya. Pada titik tertentu bahkan
akan menciptakan sikap apatis, yaitu ketika rakyat sudah abai dengan
persoalan di sekitarnya, pemimpin dan para pangreh praja-nya bekerja seenak
hati tanpa visi dan program, rakyat dan pemimpin berjalan sendiri tanpa
sinergi.
Padahal, salah satu kunci keberhasilan pengelolaan kota di sejumlah
daerah adalah trust: rakyat percaya dengan yang dilakukan para pemimpinnya.
Rakyat percaya kepala daerah mereka sedang bekerja, hadir di tengah-tengah
rakyat saat dibutuhkan. Mereka dicintai rakyat. Tengoklah pengalaman Risma
saat hendak digoyang para politisi parlemen karena kebijakannya dianggap
melawan arus, gelombang dukungan ”Save Risma” muncul, tidak hanya berasal
dari warga Surabaya, tetapi juga rakyat Indonesia.
Membangun
kepercayaan
Menata kota besar dengan jumlah penduduk yang padat tentu bukan
pekerjaan mudah. Harus ada rasa saling percaya.
Pemerintah harus percaya, jika mempercantik dan membangun taman kota,
warga akan ikut menjaganya. Percaya bahwa warga tidak akan membuang sampah
sembarangan jika pemerintah menyiapkan sarana dan sistem persampahan yang
baik.
Warga harus percaya kepada pemerintah bahwa pajak yang selama ini
dibayarkan tidak akan dikorupsi, tetapi digunakan untuk membangun fasilitas
umum yang nyaman dan aman. Pengusaha bergairah berinvestasi karena mereka
percaya mengurus izin mudah dan bebas pungli.
Kita harus perbaiki semuanya melalui membangun kembali trust.
Pembangunan dan pengelolaan kota tak akan berarti apa-apa kalau tak ada
trust. Tumbuh suburnya trust di tengah masyarakat dimulai dari niat (intention) dan integritas (integrity) pemimpinnya. Para kepala
daerah harus memberikan jaminan rasa kepercayaan, dengan membuktikan satunya
kata dengan perbuatan. Kepemimpinan yang paling dipercaya rakyat adalah
keteladanan. Dalam buku best seller versi New York Times dan Wall Street
Journal, Stephen MR Covey memperkenalkan suatu model, yaitu model Lima
Gelombang Kepercayaan, yang menggambarkan bagaimana trust atau kepercayaan
bekerja dalam kehidupan kota, yaitu percaya pada diri sendiri (self trust),
relationship trust (dipercaya orang lain atau relasi-relasi kita), baru organizational trust, market trust,
dan social trust.
Kita harus percaya pada kemampuan kita sebagai warga kota untuk ikut
andil dalam perbaikan kota. Semua komponen kota harus saling percaya dan
bergerak bersama-sama untuk mengelola seluruh potensi demi masa depan kota.
Pemerintah daerah sebagai lembaga pengelola negara harus bisa dipercaya
rakyat dengan menjalankan tugasnya sesuai dengan aturan dan tata perundangan
berlaku. Mengembalikan kepercayaan pasar domestik untuk menguatkan fondasi
ekonomi rakyat dan kepercayaan di semua elemen sosial yang ada. Akhirnya
mungkin seperti judul sebuah lagu, ”Jangan ada Dusta di antara Kita”. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar