Kebangkitan
Tiongkok Tidak Terbendung
Rene L Pattiradjawane ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS,
15 Oktober 2014
PERDANA Menteri Tiongkok Li Keqiang berkunjung ke Moskwa, Rusia, pekan
ini. Dia mempererat hubungan ekonomi, perdagangan, dan keuangan kedua negara
melalui penandatanganan 38 perjanjian. Semua itu menghadirkan kompetisi
persaingan dan konflik ala Perang Dingin yang mencapai titik kulminasi
berbeda dibandingkan abad ke-20.
Tiongkok-Rusia melakukan perubahan penting dalam persaingan geopolitik
yang menihilkan langkah strategis AS dan negara-negara Uni Eropa (UE) yang
melakukan isolasi atas Rusia karena aneksasi Crimea serta keterlibatan Moskwa
dalam persoalan politik di Ukraina.
Babakan baru kompetisi dan konflik baru akan bermunculan tidak dalam
esensi persaingan kekuatan militer seperti masa Perang Dingin, tetapi memicu
persekutuan baru dalam bentuk kerja sama ekonomi dan perdagangan. Sanksi AS
dan UE setelah kunjungan PM Li Keqiang menjadi tidak berarti. Bahkan, konflik
akan menjadi lebih sengit ketika Presiden Rusia Vladimir Putin memberlakukan
sanksi balasan yang lebih luas tidak hanya pelarangan impor buah-buahan dari
Barat.
Baik bagi Tiongkok maupun Rusia, krisis politik seperti di Ukraina dan
Crimea ataupun di Hongkong, yang selama 17 hari terakhir ini diguncang
demonstrasi menuntut pemilihan langsung ala demokrasi Barat, ternyata tak
mampu mendorong dominasi negara-negara Barat, khususnya AS, untuk menjadi
pengelola tunggal dunia.
Sebuah artikel di halaman pertama Harian Rakyat (Renmin Ribao) edisi
Selasa (14/10) menyebut, ada kekhawatiran AS, khususnya, jika kedekatan
hubungan Tiongkok-Rusia merupakan upaya mengubah tatanan dunia.
”AS adalah arsitek utama dan memperoleh keuntungan terbesar dari
tatanan dunia setelah perang. Tatanan dunia yang dibela mereka (AS dan
negara-negara Eropa umumnya) berbeda dengan harapan kebanyakan negara dunia,
termasuk Tiongkok. Tiongkok tidak mengusulkan untuk memorakporandakan tatanan
yang sekarang ada, tetapi menginginkan suatu bentuk reformasi atas tatanan
tersebut,” tulis artikel dengan judul ”Meiguo bu yap zhizao xin diren” (AS
Jangan Membuat Musuh Baru).
Kita sendiri melihat ada kekhawatiran yang bisa menarik Tiongkok dalam
konflik terbuka dengan AS, dan mengubah gagasan dasar Beijing tentang xinxing
daguo guanxi (jenis baru hubungan negara besar). Ada beberapa faktor yang
mendukung kekhawatiran negara-negara di dunia pada umumnya terhadap perubahan
perilaku dan kebangkitan Tiongkok.
Pertama, di semua benua, eksistensi Tiongkok dalam mekanisme hubungan
ekonomi, perdagangan, dan keuangan berhasil menyingkirkan peranan AS sebagai
satu-satunya pilihan kerja sama pembangunan, terutama dengan negara-negara
berkembang.
Kedua, persoalan geopolitik Tiongkok di sejumlah wilayah ataupun dengan
negara-negara tetangganya, mulai dari klaim tumpang tindih kedaulatan di Laut
Tiongkok Timur dan Laut Tiongkok Selatan hingga perubahan drastis pandangan
pengaruh demokrasi ala Barat seperti yang terjadi di Hongkong, mendorong para
pemimpin di Beijing tak memberikan peluang konsesi geostrategis guna menopang
kebangkitannya.
Hubungan RRT-Rusia dalam konteks persaingan geopolitik dengan
negara-negara Barat menyebabkan tekanan politik kebijakan luar negeri AS dan
UE tidak memiliki arti melalui sejumlah sanksi ekonomi dan keuangan. Posisi
Hongkong, yang sebelumnya memberikan sumbangsih sebesar 15 persen atas PDB
RRT pada tahun 1997 sekarang tinggal 3 persen, memastikan kebangkitan
Tiongkok tak akan terbendung oleh berbagai sanksi global yang ingin
diterapkan Barat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar