Senin, 20 Oktober 2014

Jokowi Butuh Koalisi Besar Masa-Rakyat

Jokowi Butuh Koalisi Besar Masa-Rakyat

Made Supriatma  ;   Peneliti Masalah-Masalah Politik Militer, Jurnalis Lepas
INDOPROGRESS,  15 Oktober 2014
                                                
                                                                                                                       


SEKARANG semua sudah jelas. Setelah melakukan berbagai macam manuver dan akrobat politik, hasilnya adalah Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang menyokong Joko Widodo-Jusuf Kalla kalah total dalam semua lini pertarungan di parlemen. Koalisi ini terbukti tidak mampu melawan Koalisi Merah Putih (KMP) pimpinan Prabowo Subianto.

Partai Demokrat pimpinan Susilo Bambang Yudhoyono berhasil menjadi minoritas yang menentukan. Secara cerdik dia mengambil posisi di tengah dan menunggu di tikungan untuk mengambil kesempatan yang paling baik. Politicking yang dilakukan oleh Yudhoyono, walaupun sangat buruk dan tidak elegan, telah berhasil memojokkan kubu Jokowi-Kalla. Melihat reaksi yang muncul, presiden yang sangat hati-hati menjaga citranya ini justru kehilangan semua credential sebagai seorang demokrat. Padahal, credential itulah yang selama ini dengan susah payah ia bangun.

Ada dua hal yang sangat penting diperlihatkan dalam proses pemilihan pimpinan di DPR dan MPR ini. Pertama, Yudhoyono berhasil memegang kendali atas semua percaturan politik ini. Dia berhasil menjadikan ‘netralitas’nya (yang siapapun tahu bahwa itu hanya pura-pura belaka) sebagai senjata. Dia dan Partai Demokrat akhirnya menjadi penentu dalam mengalahkan koalisi pendukung Jokowi-Kalla. Di DPR, Yudhoyono berhasil mendudukkan kerabat istrinya, Agus Hermanto, menjadi Wakil Ketua DPR. Sementara anaknya, Edhie Baskoro (Ibas) menjadi Ketua Fraksi. Di MPR, bekas menteri kehutanan di Kabinet Yudhoyono, Zukifli Hassan dari PAN berhasil menjadi Ketua. Zulkifli Hassan adalah besan Amien Rais, pendiri PAN. Sementara PAN sendiri saat ini dipimpin oleh pengusaha yang terjun ke dunia politik, Hatta Rajasa. Untuk memperumit lagi masalah, Hatta Rajasa adalah besan dari Yudhoyono.

Kedua, PDIP sekali lagi membuktikan diri sebagai partai yang pandir dalam hal mengelola kekuasaan. Mereka tidak pandai membangun koalisi. Mereka kemaruk dalam transaksi politik. Mereka tidak pandai berhitung, khususnya dalam hal siapa yang mendapat apa dan seberapa besar. Mungkin karena partai ini terlalu lama dikangkangi oleh seorang pemimpin yang mengelola kekuasaannya di dalam partainya, sama seperti Kim Il Sung atau Kim Jong Uhn mengelola partai di Korea Utara. Singkat kata, koalisi yang dipimpin PDIP dan dimaksudkan untuk menjadi benteng bagi Jokowi-JK impoten dalam menghadapi Koalisi Merah Putih Biru (lambang Partai Demokrat).

Nah, sekarang apa yang bisa dilakukan oleh Jokowi? Akankah pemerintahannya, seperti yang dikatakan oleh Amien Rais, hanya akan berumur setahun saja? Apakah administrasi pemerintahannya akan mampu mengimbangi segala macam penjegalan (obstructionism) dari partai-partai oposisi di parlemen, seperti yang secara gamblang dinyatakan oleh Hashim Djojohadikusumo dalam wawancaranya di harian The Wall Street Journal?

Banyak pesimisme dilontarkan kepada Jokowi-Kalla. Orang ragu apakah dia akan mampu bertahan dari gempuran ganas koalisi pimpinan Prabowo Subianto. Keraguan ini mungkin juga lahir karena mengingat apa yang pernah terjadi pada Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Presiden Gus Dur naik ke kekuasaan karena manuver politik Poros Tengah, yakni koalisi partai-partai Islam pimpinan Amien Rais. Namun Poros Tengah juga yang menjatuhkan Gus Dur. Akankah hal ini berulang? Akankah Amien Rais kembali mampu memainkan peranan sebagai ‘the king maker’ seperti hampir dua dasawarsa yang lampau?

Keadaan di parlemen memang tidak menjanjikan untuk Jokowi-Kalla. Beberapa petinggi koalisi Prabowo sudah mengisyaratkan bahwa pertarungan akan terjadi di setiap lini dan menjadi bagian dari menu politik harian (day to day politics). Setiap kebijakan yang memerlukan persetujuan parlemen bisa dipastikan akan menjadi arena pertarungan politik. Jokowi dipaksa untuk melakukan transaksi politik hingga ke hal yang sekecil-kecilnya. Dia harus memberikan konsesi untuk meloloskan agenda-agenda politik dan ekonominya. Setiap proses legislasi harus dibarengi dengan pemberian konsesi-konsesi kepada partai-partai politik. Sangat mungkin bahwa konsesi-konsesi tersebut berupa kontrak dan proyek yang terkait dengan kroni-kroni partai-partai politik. Konsesi-konsesi inilah yang nantinya akan menjadi bagian dari politik eceran (retail politics).

Salah satu alasan mengapa koalisi Prabowo ini tidak pecah dan bahkan menguat adalah karena mereka menemukan bahwa mereka memiliki kekuatan tanpa harus berada di dalam kekuasaan. Mereka memiliki kekuatan tawar menawar yang jauh lebih besar ketika mereka bersatu. Dengan bertindak kolektif, mereka mendapatkan apa yang tidak mereka dapati jika berjalan sendirian.

Ini adalah hal baru yang ditemukan oleh para politisi koalisi Prabowo. Harus diingat, koalisi ini dipimpin oleh orang-orang yang sudah kenyang makan asam garam dalam politik. Politisi seperti Akbar Tanjung, Setya Novanto, atau Fadel Muhamad misalnya, tidak saja sangat sangat paham akan bekerjanya lembaga-lembaga negara. Mereka juga kampiun dalam mensiasati sistem politik dan mengelak dari sistem hukum.

Ada dua hal yang menonjol dalam fenomena penguasaan Parlemen oleh kubu oposisi ini. Yang pertama adalah semakin menonjolnya peranan bos-bos partai. Kita melihat Yudhoyono adalah identik dengan Partai Demokrat, Prabowo Subianto dengan Partai Gerindra, Megawati Sukarnoputri dan Puan Maharani dengan PDIP, Amien Rais dan Hatta Rajasa dengan PAN, Aburizal Bakrie dan Akbar Tanjung dengan Golkar, Surya Paloh dengan Nasdem, Wiranto dengan Hanura, dan lain sebagainya. Cengkeraman kekuasaan para bos ke dalam partainya sendiri ini memang bervariasi antara satu partai dengan yang lain. Prabowo, Megawati, Yudhoyono, Wiranto, dan Surya Paloh boleh dikatakan identik dengan partainya. Sementara partai seperti PPP memang tidak lagi dikuasai seorang bos setelah Surya Dharma Ali dilemahkan oleh tuduhan korupsi oleh KPK. Kita sudah menyaksikan peranan para bos partai ini ketika terjadi perturangan memperebutkan puncak pimpinan di DPR/MPR. Para bos yang tergabung dalam koalisi ini sangat berhasil menjadi ‘whip’ (pecut) yang mengendalikan suara partainya di parlemen.

Fenomena kedua adalah adanya kemungkinan pergeseran penguasaan sumber material partai-partai politik dari kementrian ke parlemen. Diperkirakan, koalisi Prabowo akan menyapu bersih semua kepemimpinan alat-alat kelengkapan parlemen. Mereka akan menguasai komisi-komisi yang, untuk sementara ini, diperkirakan akan berjumlah 11. Mereka juga diperkirakan akan menguasai ‘jalur duit’ Badan Anggaran serta badan-badan lain, seperti Badan Legislasi, Badan Urusan Kerja Sama Parlemen, dan Mahkamah Kehormatan Dewan. Menurut Tata Tertib DPR, calon pimpinan itu diajukan melalui sistem paket, seperti dalam pemilihan pemimpin DPR dan MPR. Jika koalisi Prabowo berhasil menguasai semua lini kepemimpinan di parlemen ini maka mereka akan memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap jalannya pemerintahan.

Penguasaan parlemen ini menjadi menarik karena partai-partai yang tergabung dalam kubu koalisi Prabowo juga tidak terlalu ngotot untuk mencari konsesi untuk mendapatkan kursi kementerian. Di masa lalu, partai-partai politik selalu berlomba-lomba mendapatkan portofolio suatu departemen karena dari situlah mereka bisa mengekstraksi keuntungan material untuk kepentingan mesin partai maupun kepentingan pribadi para bos partai. Kondisi ini sedikit banyak menyumbang pada ketidakmampuan Jokowi untuk memecah koalisi Prabowo dengan memberikan kursi menteri kepada partai-partai itu. Selain di pihak Jokowi sendiri memang ‘pelit’ untuk membagikan kursi-kursi yang terkategori paling basah untuk partai-partai ini. Jokowi, yang terpilih dengan mandat untuk bekerja secara professional, tentu tidak mudah untuk melakukan dagang sapi untuk posisi-posisi terpenting dalam kabinetnya ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar