Idul
Adha dan Pendidikan Multikultural
Muhbib Abdul Wahab ; Dosen Pascasarjana FITK
UIN
Syarif Hidayatullah dan UMJ
|
REPUBLIKA,
01 Oktober 2014
Idul Adha (Hari Raya Kurban) sejatinya merupakan kontinuitas
"jalan kesalehan sosial spiritual" dari Idul Fitri. Jika Idul Fitri
merupakan manifestasi kemenangan atas nafsu, egoisitas, dan individualitas
maka Idul Adha merupakan manifestasi dari ketulusan berkorban, kerendahhatian
untuk melakukan refleksi historis dalam mengenang perjuangan dan pengorbanan
Nabi Ibrahim AS dan putranya, Ismail AS, sekaligus memaknai nilai-nilai
spiritual dari manasik haji.
Kedua hari raya tersebut bermuara pada nilai-nilai kepedulian,
ketakwaan, dan kesalehan sosial berupa ketulusan memaafkan, etos berbagi
(zakat fitrah dan daging kurban), dan signifikansi silaturahim. Keduanya
berangkat dari panggilan iman dan berbuah kemanusiaan universal, terutama
aktualisasi nilai-nilai hak asasi manusia, seperti diteladankan Nabi Muhammad
SAW dalam khutbah wadanya di saat wukuf di Arafah maupun mabit (bermalam) di
Mina.
Sejumlah seniman melakukan aksi teatrikal dengan mengenakan kostum
spiderman dan sapi kurban di depan Stasiun Kotabaru, Malang, Jawa Timur,
Selasa (30/9). Teaterikal menyambut Hari Raya Idul Adha yang diadakan sebuah
lembaga zakat tersebut merupakan kampanye untuk mengajak umat Muslim untuk
berkurban.
Ketika kita merayakan Idul Adha, para tamu Allah (dhuyuf ar-Rahman) itu
sedang menapaktilasi aneka ritualitas haji di Tanah Suci. Mereka merengkuh
jalan ketaatan dan ketakwaan dalam meraih predikat haji mabrur karena
dimotivasi oleh spirit bahwa balasan haji mabrur tidak lain adalah surga (HR
Muslim). Garansi kebahagiaan spiritual (surgawi) inilah yang memotivasi umat
Islam untuk memenuhi panggilan Ilahi (berhaji), meninggalkan kampung halaman
menuju Tanah Suci, dan meninggalkan sanak saudara menuju persaudaraan dan
kemanusiaan universal.
Menarik dikritisi bahwa jumlah jamaah haji Indonesia adalah yang terbesar
di dunia. Namun demikian, para hujjaj itu sering dikritisi, "Mengapa
jumlah jamaah haji Indonesia yang terus meningkat setiap tahun, bahkan harus
rela mengantre sesuai daftar tunggu, tidak berbanding lurus dengan penurunan
kuantitas dan kualitas korupsi?"
Multinilai
haji
Haji itu ibadah multidimensi sekaligus multinilai. Manasik haji bukan
sekadar ritualitas fisik-formal tanpa makna moral. Prosesi manasik haji
adalah sebuah "drama kehidupan" yang sarat filosofi, simbol, nilai,
dan makna, terutama makna sosial kultural. Haji dimulai dengan niat ihram di
miqat (garis start haji).
Pakaian ihram mengandung pesan bahwa menjadi tamu Allah itu harus suci
lahir batin, berhati tulus ikhlas, tidak egois, tetapi egaliter,
emansipatoris, dan siap memenuhi panggilan ketaatan (talbiyah) dan hanya
berharap memperoleh ridha-Nya. Menjadi tamu Allah haruslah menunjukkan
kebersihan hati, ketulusan niat, dan kesungguhan komitmen untuk tidak
memperlihatkan stratifikasi dan arogansi sosial yang sering kali disimbolkan dalam
berpakaian.
Makna thawaf bukan sekadar mengelilingi Ka'bah tujuh kali. Thawaf
mendidik jamaah haji bergerak dinamis dalam orbit tauhid. Konsistensi dalam
bertauhid memacu gerak untuk maju dan terus berperilaku progresif. Orang yang
berthawaf adalah orang yang antikemunduran dan kejumudan. Thawaf menyadarkan
pentingnya nilai mobilitas dan progresivitas sosial. Thawaf merupakan titik
tolak menuju transformasi sosial-kultural yang berkeadaban. Thawaf juga
merupakan gerakan "tasbih universal" dengan menjadikan tauhidullah
sebagai orbit kehidupan.
Sa'i (berusaha, berlari-lari kecil) antara shafa dan marwa melambangkan
etos dan disiplin kerja yang tinggi. Hajar, ibunda Ismail, memberikan
keteladanan sebagai seorang ibu yang sangat tulus dan pantang menyerah untuk
berusaha demi masa depan anaknya. Etos dan disiplin kerja itu harus dimulai
dari shafa (ketulusan hati dan kejernihan pikiran).
Sa’i harus maksimal agar mencapai marwa (kepuasan hati, hasil maksimal
atau prestasi tinggi). Sa’i diperankan oleh seorang ibu yang tulus dan penuh
kasih sayang terhadap anaknya. Sa’i mendidik kita untuk mendahulukan cinta
sesama, dengan memperlihatkan berbagai upaya maksimal "menyelamatkan
masa depan" anak bangsa.
Wukuf di Arafah merupakan kesadaran spiritual akan pentingnya
"berhenti seraya berefleksi untuk makrifat diri" (introspeksi dan
evaluasi diri) dan merasakan kehadiran Allah SWT. Sebagai lambang miniatur
padang "makhsyar" di akhirat kelak, wukuf memberi kesadaran akan
pentingnya introspeksi diri, pengenalan jati diri, dan "pengadilan
terhadap diri sendiri".
Jika selama ini manusia cenderung mengadili orang lain atau tidak
pernah berbuat adil, Arafah adalah momentum yang tepat untuk mengambil
keputusan yang arif, apakah selama ini jamaah haji yang berwukuf sudah
benar-benar menjadi hamba-Nya ataukah masih menjadi hamba selain-Nya: hamba
kekuasaan, hamba kebendaan, hamba kesenangan duniawi? Apakah yang berwukuf
itu sudah meneladani akhlak Allah atau masih selalu mengikuti hawa nafsu dan
setan?
Karena itu, di malam hari menuju Mina, para jamaah haji diminta
bermabit di Muzdalifah (mendekatkan diri) untuk bertaubat dan bermunajat
kepada Allah sambil menyiapkan "amunisi jihad" di tempat pelemparan
(jamarat) di Mina. Mina adalah simbolisasi cita dan cinta. Karena cinta-Nya
yang tulus kepada dan karena Allah semata, Nabi Ibrahim rela
"mengorbankan" anak tercinta, Ismail.
Berjuang melawan setan dan hawa nafsu hanya bisa dimenangi oleh rasa
cinta yang tulus kepada Allah. Dengan cinta karena-Nya, Ibrahim AS akhirnya memperoleh
cita-citanya: anaknya tidak jadi "dikorbankan" karena manusia
memang tidak pantas dikorbankan, terutama korban hawa nafsu dan keserakahan,
baik serakah harta maupun kekuasaan.
Pendidikan
multikultural
Haji adalah ibadah yang paling sarat nilai multikultural karena diikuti
oleh jamaah dari berbagai suku bangsa, bahasa, negara, adat istiadat, watak,
karakter, latar belakang sosial, ekonomi, dan budaya. Melalui ibadah haji
ini, Allah menitipkan pesan-pesan moral-kultural agar sesama hamba Allah saling
mengenal, berdialog, berempati, toleransi, menghargai, cinta damai, disiplin
dan etos kerja tinggi, serta menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia.
Karena itu, di antara indikator kemabruran haji adalah seberapa jauh
tamu Allah itu pulang dengan memberikan keteladanan multikultural.
Keteladanan itu, antara lain, seperti sabda Nabi SAW berikut, "Tebarkan
salam, berilah makan (kepada yang lapar), sambungkan tali silaturahim, biasakan qiyamul lail (shalat malam) ketika
orang lain tidur, niscaya engkau akan masuk surga dengan damai." (HR
Bukhari dan Muslim).
Aktualisasinya, salam berarti perdamaian: tegur sapa, murah senyum,
ramah, bersikap dialogis, semangat memberi pelayanan yang prima, tidak sinis,
tidak emosional, mudah mengulurkan tangan, empati, tidak mudah menyelesaikan
persoalan dengan cara-cara kekerasan, dan sebagainya. "Memberi
makan" berarti menunjukkan solidaritas sosial, mau meringankan
penderitaan orang lain, dan berusaha mencari solusi.
"Menyambung tali silaturahim" dapat diaktualisasikan dalam
sikap suka dan supel bergaul, mau memberi advokasi, tidak bermusuhan,
bersahabat, bekerja sama, saling melindungi, dan sebagainya. Sedangkan
"qiyamul lail" sebagai bentuk spiritualisasi diri dimaknai selalu
zikir kepada Allah, istiqamah (teguh pendirian) dalam beribadah, berdoa,
ikhlas beramal, sabar, optimistis, dan sebagainya.
Jika pendidikan multikultural seperti itu dapat diaktualisasikan oleh
para alumni haji, maka haji bukan sekadar menunaikan kewajiban (agama),
melainkan proses transformasi sosial budaya yang bermuara pada tegaknya
sistem sosial kultural yang mengedapankan keluhuran moral dan kedalaman
spiritual. Haji adalah panggilan ketuhanan sekaligus jihad kemanusiaan.
Menjadi haji berarti berusaha menjadi manusia yang peduli terhadap norma-norma
agama, hukum, sosial kultural, dan siap melayani orang lain dengan rela
berkorban jiwa, raga, harta, ilmu, dan jasanya demi kesejahteraan dan
kemaslahatan umat manusia.
Pendidikan multikultural haji dapat diinternalisasikan dalam diri para
tamu Allah itu melalui tiga hal. Pertama, optimalisasi pendidikan nilai haji
melalui pendidikan dan pelatihan haji harus dikelola secara profesional,
tidak sekadar berorientasi bisnis. Kedua, pemberian keteladanan yang baik
dari para pemimpin, alim ulama, dan tokoh-tokoh agama yang sudah berhaji.
Ketiga, peningkatan kontrol sosial terhadap mereka yang sudah berhaji.
Karena itu, jika terbukti melakukan pelanggaran hukum, penyimpangan
moral, dan perbuatan tidak terpuji lainnya, maka sudah saatnya para alumni
Tanah Suci itu diberikan "hukuman" moral dan sosial yang tegas,
sehingga dapat memberikan efek jera bagi yang bersangkutan maupun bagi yang
lain. Jadi, nilai-nilai pendidikan multikultural haji semakin bermakna jika
para jamaah haji memiliki kesadaran dan keteladanan multikultural.
Kita yang tidak hadir (berhaji) di Tanah Suci dan kini merayakan Idul
Adha di Tanah Air, idealnya tetap mewarisi pesan pentingnya berkurban:
"menyembelih" egoisitas, mengorbankan apa yang paling kita cintai
demi meraih kedekatan (kurban) kepada Allah SWT dan sesama, sehingga kita
menjadi hamba-Nya yang kaya cinta kasih dan kaya budaya (multikultural),
seperti cinta kasih Ibrahim AS yang luar biasa tinggi kepada Allah SWT,
anaknya, dan kepada kemanusiaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar