Berebutlah
Pelayanan, Bukan Ketua
Dominica Xyannie ; Mahasiswa Pascasarjana
|
KORAN
JAKARTA, 11 Oktober 2014
Praktik-praktik atau kegaduhan di Senayan baru-baru ini sangat khas Indonesia:
mereka mengejar kekuasaan, bukan pelayanan. Padahal untuk menjadi pemimpin,
seharusnya mereka mengutamakan pelayanan. Maka, seharusnya mereka berebut
melayani, bukan menguasai atau mengetuai. Namun yang terjadi, seluruh
strategi, termasuk cara-cara paling buruk, pun diambil untuk memenangi posisi
ketua.
Sangat disayangkan bahwa sebagian bangsa ini memiliki semangat untuk
berkuasa. Mereka sangat jauh dari semangat untuk melayani. Padahal yang
dikembangkan di biara-biara, orang baru diangkat menjadi pembesar (ketua)
kalau sudah mampu menjadi pelayan. Dengan kata lain, dia harus lulus dulu
melayani sesama, baru layak atau bisa diangkat menjadi ketua.
Dunia biara jelas berbeda dengan alam politik. Akan tetapi,
sesungguhnya semua sama karena pekerjaan utamanya adalah melayani. Semua sama
karena yang dihadapi dan dilayani juga manusia. Jadi, tidak ada perbedaan
bahwa ketua alam politik pun seharusnya hanya diberikan kepada mereka yang
berjiwa melayani.
Alam politik yang berpaham mengejar kekuasaan sangat terlihat ketika
jatah-menjatah sudah dijatuhkan. Maka, 100 persen dapat dimengerti ketika
salah satu partai tidak memperoleh jatah (wakil) ketua, langsung hengkang
dari koalisi yang satu ke lainnya dalam pemilihan ketua dan wakil MPR. Dia
langsung pindah haluan. Ini lepas dari kenyataan bahwa akhirnya partai
tersebut juga tidak mendapat tempat.
Hiruk-pikuk di gedung DPR/MPR sangat kental hanya sebagai upaya merebut
kekuasaan, bahkan dalam arti sesungguhnya. Sebab dengan menguasai segala
sudut, kelompok tertentu kini dapat berbuat apa saja sesuai dengan “misi”.
Juga kalau itu akhirnya mengubah segala ketentuan hukum guna melapangkan
jalan ke pucuk kekuasaan negara. Mereka juga bisa mengubah apa pun demi
kepentingan sendiri meski itu harus melupakan rakyat.
Ubah
Oleh karena itu, sesungguhnya gerakan revolusi mental yang dicanangkan
Presiden Joko Widodo merupakan gagasan brilian, mendesak, dan tak dapat
ditawar, apalagi ditunda. Revolusi mental yang paling mendasar adalah dari
sikap ingin berkuasa, maunya dilayani, menjadi berhasrat melayani dan
merendahkan diri.
Itulah program dasar yang sangat berat. Sebab mental seluruh birokrat
dari pusat sampai daerah, dari kota hingga desa, maunya dilayani. Mereka
lupa, tidak tahu, atau tidak mau tahu bahwa sesungguhnya status birokrat
adalah pelayan. Dengan kata lain, pekerjaan utama mereka adalah melayani,
karena itu disebut pelayan.
Dalam bahasa Latin, menteri adalah seorang minister (pelayan). Namun,
banyak yang tidak mengerti sehingga, begitu diangkat menjadi menteri, terus
bersuka cita, bergembira ria, dan bersujud syukur. Malah banyak yang
menanti-nanti untuk ditelepon presiden dan berharap diangkat menjadi anggota
kabinet.
Padahal andai paham, mereka seharusnya sedih ketika diangkat menjadi
menteri karena pekerjaannya amat berat, menjadi pelayan. Mereka yang diangkat
jadi menteri seharusnya menolak kalau tidak siap menjadi pelayan, tidak siap
merendahkan diri seperti itu. Andai paham, tentu tidak ada yang berharap
ditelepon presiden. Andai paham, pasti tidak ada yang bermimpi menjadi
anggota kabinet.
Di Jepang, Amerika, dan negara-negara maju lain, jiwa melayani dari
kalangan birokrat sudah menyata. Masyarakat yang mengurus surat-surat, bila
dokumennya lengkap, tinggal duduk manis, tahu-tahu selesai. Di sini, uang
berbicara. Tidak ada uang tidak ada pelayanan. Tidak ada pelicin, dokumen
tidak akan bergerak. Dokumen harus digerakkan pelicin, padahal dokumen tidak
ada rodanya sehingga tidak diperlukan pelicin.
Mental birokrat yang demikian itu tentu sangat sulit direvolusi karena
telah tertanam berpuluh-puluh warsa sehingga telah mendarah daging,
mengurat-mengakar, dan menjadi kanker. Diperlukan gerakan luar biasa keras
untuk memotong kanker yang sudah demikian membatu. Gubernur DKI Basuki
Tjahaja Purnama sesungguhnya berpotensi merevolusi birokrat-birokrat Jakarta
sebagaimana telah dirintis Joko Widodo. Sayang, ada sedikit kelompok di
masyarakat yang terus mengganggu kinerja Basuki hanya karena berbeda agama,
sebuah pandangan picik dan kerdil.
Lewat Ahok, sesungguhnya birokrat DKI mulai memahami maksud baiknya:
demi menciptakan aparatus yang profesional dan giat bekerja sesuai dengan
status sebagai pelayan rakyat. Sebab mereka digaji dari uang yang diambil
dari hasil keringat warga. Maka, sudah secara otomatis mereka melayani yang
membayar.
Presiden Joko Widodo telah meletakkan rencana program yang amat vital:
merevolusi mental. Ini sangat bagus sekaligus sangat sulit. Namun, apa pun
kondisinya, bagaimanapun sukarnya, harus dimulai. Birokrat bangsa ini tidak
boleh dininabobokan mental inlander sebagai warisan penjajah yang hanya mau
duduk di singgasana untuk disembah dan dilayani. Oleh karena itu, seluruh
rakyat harus mendukung program dasariah tersebut.
Mental priayi sudah tidak zamannya lagi. Dia tidak boleh hidup di bumi
Nusantara. Mari bersama-sama presiden mengubah diri. Keteladanan menjadi
kunci. Oleh karena itu, atasan atau mereka yang memiliki anak buah harus
memberi contoh untuk mengubah diri. Segala perubahan hanya bisa terjadi bila
diawali diri sendiri. Kita tidak perlu berteriak-teriak agar orang lain
berubah, tapi cukup memberi contoh. Bila kita berubah, orang lain tidak perlu
disuruh, akan ikut juga.
Keteladanan semakin langka. Rakyat ini harus bersyukur karena akhirnya
menemukan presiden yang mau bekerja, turun ke jalan, blusukan, dan memanggul
semen. Selama ini, belum pernah ada pemimpin seperti itu. Joko Widodo menjadi
kunci Indonesia emas. Bersamanya, Indonesia menyongsong zaman baru: era
melayani! Semoga! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar