Ben
Affleck dan Islam Maya
Donny Syofyan ; Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
|
REPUBLIKA,
11 Oktober 2014
Aktor Ben Affleck secara tegas membela Islam dalam sebuah acara TV
secara langsung. Acara bincang-bincang Real
Time with Bill Maher--yang tayang di stasiun televisi Amerika Serikat
HBO--berubah menjadi perdebatan sengit tentang Islam ketika Bill Maher dan
penulis terkenal Sam Harris bicara tentang Islam radikal.
Sang pemeran Batman ini menyebut mereka telah melakukan stereotipisasi
terhadap umat Islam. Bagi banyak kalangan, boleh jadi kasus Ben Affleck
menghasilkan anomali. Ini bisa dipahami karena sikap Ben Affleck, seorang
Barat dan non-Muslim, keluar dari bilik tradisional dan repertoar umum bahwa
Islam yang dihadirkan oleh media Barat adalah Islam yang sudah di-setting, `ditundukkan', atau
dijinakkan oleh pihak-pihak resisten terhadap Islam.
Pilihan sikap Affleck, seorang penganut Protestan yang tampil sebagai
advokat bagi wajah dan umat Islam memperlihatkan efek simalakama stigmatisasi
Islam dan Muslim. Pemojokan dan stereotip secara konstan terhadap Islam dan
Muslim dari media Barat justru membangkitkan para pembela Islam dari
lingkungan Barat sendiri.
Alih-alih membuat orang makin benci dengan Islam dan perilaku umatnya
dengan agenda setting yang canggih,
yang justru lahir adalah tren oposisi internal dari pihak yang bukan berasal
dari lingkungan Islam sendiri. Bila sebelumnya media Barat konsisten membela para
penghujat Islam dari lingkungan Islam dan Barat, kini yang mulai berlaku
adalah munculnya para pembela Islam dari lingkungan Barat sendiri.
Aksi advokatif Ben Affleck ini sebetulnya bagian dari barisan kafilah
panjang pekerja seni Hollywood yang makin tercerahkan lewat sisi kemanusiaan.
Nama-nama semisal Angelina Jolie, Rihanna, Selena Gomez, Mark Ruffalo,
Coldplay, Penelope Cruz, Javier Barden, dan Russell Brand adalah sejumlah
aktor dan artis Hollywood yang menghendaki kemerdekaan Palestina sewaktu
krisis Gaza beberapa waktu lalu.
Secara pribadi agaknya pembelaan Ben Affleck terkait erat dengan
pengalaman debutnya dalam berbagai layar lebar, semisal ketika membintangi
film Argo yang bercerita tentang pembebasan pegawai Kedutaan Amerika saat
Revolusi Islam Iran terjadi dan gerakan anti-Amerika begitu kuat. Pengalaman
menggarap Argodan pemahamannya tentang Islam membuatnya berani membela Islam
meski bukan penganut Islam.
Inilah sikap toleran dalam memahami bagaimana seharusnya agama itu bisa
saling menerangi, bukan saling membunuh. Meski dengan sikapnya itu, ia harus
menghadapi serangan dari berbagai pihak.
Efek bumerang, hasil buah simalakama, atau konsekuensi pagar makan
tanaman dari politik stigmatisasi Islam oleh media Barat telah melahirkan apa
yang bisa disebut sebagai `Islam maya', yakni wajah Islam yang dibentuk
secara online. Hari ini Islam tak lagi dipahami lewat `Islam media', lewat
media-media konvensional semisal buku, majalah, atau koran.
Lebih dari itu, Islam maya membuat orang menatap dan memahami Islam dan
kaum Muslim lewat jalur sosial media dan citizen
journalism (jurnalisme warga). Pelbagai tulisan, foto, dan berita
menyangkut Islam dan kaum Muslim menjadi lebih personal, cepat, dan tak
dibatasi oleh bilik-bilik pembatas, semisal harga yang mahal, akses yang
sulit, hingga levelisasi pemahaman.
Acara Real Time with Bill Maher yang menampilkan Ben Affleck menyibak
tabir eksklusivisme media bahwa pemegang hak paten atas interpretasi Islam
tidak lagi sepenuhnya ditentukan oleh media arus utama (mainstream media), tapi sudah beralih kepada para pemilik akun
jaringan medsos yang bisa dimiliki oleh siapa saja dan di mana saja.
Deretan komentar maupun kutipan status di Facebook atau Twitter
merespons objektivitas Ben Affleck menyangkut pembajakan terhadap Islam
ternyata jauh lebih memengaruhi wacana publik ketimbang siaran berita atau
pendapat pakar di berbagai stasiun TV atau media cetak.
Benar bahwa pemahaman Islam yang hanya bersandar kepada kombinasi dari
internet, media sosial, dan mobilitas dunia maya berisiko terjerembap ke
dalam pubertas keagamaan yang bercirikan meningkatnya ekspresi keagamaan
secara cepat, tapi tidak punya imunitas akidah yang kokoh sehingga
mengakibatkan penurunan kualitas keimanan yang jauh lebih cepat.
Meskipun begitu, kehadiran Islam maya berkat media sosial dan
jurnalisme warga dipercayai kuat akan menarik umat Islam untuk tidak lagi
malu-malu mengaktualisasikan keberagamaannya di satu sisi dan mengundang
kalangan luar Islam untuk menghapus pola-pola sistematis yang mendiskreditkan
Islam di sisi lain. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar