Anak Sekolah
Anarkistis, Siapa yang Salah?
Badrul Munir ; Dokter Spesialis Saraf RS Saiful Anwar,
Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang
|
JAWA
POS, 15 Oktober 2014
MASYARAKAT Indonesia digegerkan adegan kekerasan anak sekolah dasar
(SD) di Bukittinggi, Sumatera Barat. Kecanggihan teknologi dan fasilitas
media sosial mempercepat penyebarluasan adegan kekerasan itu.
Kita terkesima dengan adegan tersebut. Hal itu didasari beberapa hal.
Pertama, pelaku adalah anak SD, masa di mana seseorang masih polos dan belum
layak melakukan kekerasan seperti itu. Kedua, insiden tersebut terjadi di
Bukittinggi, sebuah daerah yang selama ini terkenal sebagai tempat kelahiran
para ulama besar dan punya kearifan lokal yang tinggi.
Publik pun yakin kejadian kekerasan seperti itu tidak hanya terjadi di
Sumatera Barat. Tapi, ini merupakan salah satu contoh yang kebetulan tersebar
di dunia maya. Masih banyak kejadian serupa yang tidak diketahui dan ini yang
disebut fenomena gunung es.
Satu hal yang menjadi pertanyaan, ada apa dengan pendidikan kita selama
ini? Mengapa anak belia seperti itu menjadi beringas dan anarkistis?
Neurobehavior
Anak SD
Usia 7–12 tahun, menurut ilmu neurobehavior, adalah periode emas di
mana dasar sebuah perilaku manusia sedang terbentuk. Dan ternyata perilaku
manusia sangat bergantung pada kerja sekelompok otak di bagian otak yang
disebut lobus frontalis dan parietalis (otak bagian depan dan ubun-ubun). Dan
perilaku didasari sistem memori yang terekam dalam otak manusia. Bila memori
yang terekam baik, perilaku akan bersifat baik. Begitu juga sebaliknya. Jika
memori yang terekam jelek, perilaku anak cenderung jelek.
Memori yang terbentuk bergantung pada stimulus (paparan) yang masuk
secara terus-menerus. Stimulus bisa dalam bentuk visual maupun auditorial.
Taktil dari lingkungan sekitarnya akan dibawa serabut otak dan disimpan di
suatu area yang disebut sistem limbik (bagian otak yang mengurus memori dan
emosi).
Di dalam kehidupan yang serbamodern ini, paparan yang masuk kepada anak
SD sangat variatif dan beraneka ragam. Selain dari televisi yang sering
menayangkan adegan kekerasan (film kartun, sinetron, dan lainnya), anak juga
gampang sekali terpapar kekerasan dari permainan (game). Seolah sudah menjadi
kebiasaan semua anak bisa mengakses atau bermain game sesuai dengan
keinginannya.
Permainan game tersebut sebagian besar mengandung adegan kekerasan (di
samping adegan pornografi). Dan mirisnya, banyak orang tua yang tidak mampu
mengontrol materi game yang sedang digandrungi anak-anaknya. Penyebabnya,
selain kesibukan orang tua, adalah mudahnya anak mengakses permainan
tersebut.
Game yang mengandalkan kecepatan otak dan alat gerak untuk
menghancurkan lawan tandingnya, bila dimainkan terus-menerus dan tanpa
bimbingan orang tua, akan membentuk memori di otak yang bersifat
menghancurkan lawan. Maka, perilaku yang muncul adalah potensi menghancurkan
lawan.
Parahnya lagi, di dalam kehidupan sehari-hari, anak-anak lebih sering
”dididik” untuk mengalahkan orang lain. Lomba-lomba yang sering
dipertandingkan lebih banyak mengedepankan mengalahkan lawan daripada
membangun kebersamaan. Termasuk memberi peringkat (ranking) dalam penilaian
prestasi siswa.
Maka, kewajiban kita sebagai orang tua harus berperan aktif untuk
mengontrol dan memberikan pemahaman tentang game yang mendidik. Juga
memberikan lingkungan positif untuk memberi stimulus dalam rangka tumbuh
kembang otak agar memberi manfaat bagi perilaku anak kita semua.
Selain itu, menurut ilmu psikoneurobehavior,perilaku anak SD (7–12
tahun) adalah aktif bergerak dan bermain, mengerjakan sesuatu secara
langsung, dan senang bekerja dalam suatu kelompok. Tugas kita sebagai orang
tua dan guru adalah memberikan kegiatan positif dalam sebuah kelompok untuk
menyalurkan energi di dalam tubuhnya. Kelompok olahraga, kepanduan/pramuka,
atau kelompok musik sangat baik untuk menyalurkan energi positif mereka.
Tetapi sayang, permainan yang menggunakan gerak tubuh seperti berlari dan
meloncat sudah tidak diminati lagi oleh sebagian besar anak. Di samping tidak
ada lahan kosong untuk permainan, juga semakin padat pelajaran siswa SD.
Belum lagi, seabrek les yang harus diikuti semakin memupus harapan anak untuk
bermain aktif.
Belajar dari kasus ini, semua harus berintrospeksi. Terutama orang tua
dan pihak sekolah, harus mendampingi dan memilihkan pergaulan yang baik bagi
anak. Begitu juga pemerintah, harus aktif memberikan teguran kepada media
yang terus menyiarkan kekerasan.
Pemerintah dan pemimpin juga mesti memberikan contoh yang baik kepada
masyarakat karena perilaku mereka sering disorot media massa dan disiarkan
berulang-ulang. Misalnya tindakan di ruang sidang DPR yang lebih mengandalkan
otot (kekerasan verbal) daripada otak. Demikian pula ormas anarkistis yang
sering ditayangkan media, juga akan terekam kuat di memori anak. Di samping
itu, pemerintah harus proaktif mengontrol media yang menyiarkan kekerasan.
Kita berharap pelaksanaan kurikulum baru 2013 yang lebih banyak mengedepankan
pembentukan karakter dan pengembangan diri bisa memberi dampak positif. Yakni
perilaku yang santun dan pribadi yang luhur, di samping pengembangan
intelektual, sehingga kasus kekerasan anak sekolah seperti ini tidak terjadi
lagi. Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar