Tricita
Revolusi Mental
Yudi Latif ;
Pemikir
Kebangsaan dan Kenegaraan
|
KOMPAS,
15 September 2014
BEL
paling berdering yang membangkitkan kesadaran publik dari kampanye kepresidenan
Joko Widodo-Jusuf Kalla adalah gagasan revolusi mental. Hal ini bisa memberi
landasan ideologi kerja bagi presiden baru untuk merumuskan platform
pemerintahan dengan kerangka kerja dan prioritas pembangunan yang jelas.
Ilmuwan
politik Richard Rose menyebutkan, ”Presiden tidak bisa mengelola seluruh
dimensi pemerintahan, yang nyata-nyata lebih sulit daripada mengurus kawanan
kuda liar.” Ahli kepresidenan Stephen Hess mengingatkan, ”Ketimbang sebagai
chief manager, presiden adalah chief political officer dari sebuah republik.”
Dalam posisi seperti itu, tanggung jawab utama seorang presiden adalah
membuat sejumlah kecil keputusan politik yang amat signifikan, seperti
menentukan prioritas nasional, yang diterjemahkan ke dalam program, anggaran,
dan kebijakan di semua lini dan sektor pemerintahan.
Dengan
kata lain, agenda pemerintahan harus jelas dan terbatas dengan arahan yang
gamblang. Presiden harus menunjukkan fokus dalam merumuskan agenda
substantifnya, demi memudahkan mobilisasi sumber daya serta menawarkan sense
of direction bagi aparat pemerintahan, publik, dan media. Juga ambisi
menyelesaikan segala masalah sekaligus berisiko menangguk kegagalan di semua
lini. Presiden yang tak mampu menentukan prioritas karena berpretensi
menyenangkan semua pihak bisa membuat peluang lewat, momentum lenyap, sinisme
menguat.
Mentalitas inti:
budaya
Sejauh
bisa ditangkap dari kampanye Jokowi-JK, visi-misi pemerintahan baru akan
berusaha secara terencana, bertahap, dan terstruktur mentransformasikan
Indonesia menuju bangsa yang berdikari dalam ekonomi, berdaulat dalam
politik, dan berkepribadian dalam kebudayaan. Untuk merealisasikan visi-misi
”Trisakti” tersebut, selain diperlukan dukungan sumber daya material,
keterampilan, dan manajemen, yang paling penting adalah kesiapan mental.
Keduanya bahkan menyadari bahwa sandungan utama dalam mengemban visi-misi
Trisakti tersebut bersumber dari hambatan mental. Bahwa secara umum, manusia
dan bangsa Indonesia mengalami kerentanan dalam mentalitas berdikari,
berdaulat, dan berkepribadian, dengan beragam implikasi destruktifnya bagi
perkembangan bangsa.
Usaha
revolusi mental harus menyasar aspek terpenting yang menentukan perilaku
manusia, yakni karakter personal dan budaya (sistem nilai, sistem
pengetahuan, dan sistem perilaku sebagai pembentuk karakter kolektif).
Sedemikian pentingnya dimensi budaya dalam menentukan transformasi bangsa,
mantan Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew menyatakan bahwa ”Budaya adalah penentu nasib suatu
bangsa.”
Dalam
proyek transformasi budaya, perlu diidentifikasi mentalitas inti sebagai
penggerak utama bagi kelahiran mentalitas-mentalitas turunannya. Dalam
merumuskan budaya perusahaan, terdapat kesepakatan umum bahwa jumlah
mentalitas inti yang menjadi pusat perhatian itu harus terbatas sehingga
mudah diingat dan terukur. Demikian pula halnya dalam merumuskan budaya
kebangsaan-kenegaraan (civic-state
culture). Kita harus merumuskan beberapa mentalitas inti bangsa ini yang
harus diubah dan diperkuat dalam kerangka transformasi budaya bangsa.
Dengan
mempertimbangkan realitas hambatan mental yang ada serta idealitas
nilai-nilai budaya keindonesiaan, gagasan revolusi mental Jokowi-JK bisa
berfokus pada tiga mentalitas inti sebagai sasaran utama. Ketiganya berkisar pada cita penguatan
mentalitas-budaya kemandirian, mentalitas-budaya gotong royong, dan
mentalitas-budaya pelayanan. Untuk memudahkan pengingatan, ketiganya kita
sebut sebagai ”Tricita Revolusi
Mental”.
Pentingnya
mentalitas-budaya ”kemandirian” berangkat dari asumsi bahwa—secara kultural—sebab
utama yang membuat manusia-bangsa Indonesia tidak berdikari dalam ekonomi,
berdaulat dalam politik, dan berkepribadian dalam kebudayaan adalah karena
manusia-bangsa Indonesia secara umum tidak bisa menghargai dirinya sendiri,
kurang percaya diri, kurang aktualisasi diri, lemah pendirian, dan lemah
kepribadian. Jika disederhanakan, manusia-bangsa Indonesia tidak memiliki
mentalitas kemandirian.
Karena
tak memiliki mentalitas kemandirian,
perilaku manusia-bangsa Indonesia cenderung terperangkap dalam dua
pilihan ekstrem: melakukan yang orang (bangsa) lain lakukan, yang mendorong
mentalitas konformis, atau melakukan yang diinginkan orang (bangsa) lain,
yang menyuburkan mentalitas pecundang dan totalitarian. Revolusi mental harus
menumbuhkan mentalitas kemandirian yang membuat manusia-bangsa Indonesia
dapat menghargai dirinya sendiri untuk mengembangkan potensi diri dan
mengambil pilihan menurut pendiriannya dalam rangka mencapai yang terbaik.
Pentingnya
mentalitas-budaya ”gotong royong” berangkat dari asumsi: nilai penting
kualitas dan kepercayaan diri hanya menemukan kepenuhan maknanya dalam
jaringan kerja sama dengan yang lain. Tiap huruf alfabet, dari A sampai Z,
merupakan satu karakter yang masing-masing sama penting. Meski demikian,
betapapun pentingnya keberadaan setiap karakter (huruf) itu, tidaklah
bermakna apa-apa tanpa bersekutu dengan huruf-huruf lain dalam membentuk kata
dan kalimat.
Dalam
kemajemukan karakter masyarakat Indonesia, gotong royong adalah nilai
fundamental bangsa ini. Menurut pandangan Bung Karno, gotong royong adalah
intisari Pancasila sebagai sistem nilai, sistem pengetahuan, dan sistem
perilaku bersama. Dalam pandangannya, ”Gotong
royong adalah paham yang dinamis, lebih dinamis dari ’kekeluargaan’. Gotong
royong menggambarkan satu usaha, satu amal, satu pekerjaan. Gotong royong
adalah pembanting tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan
bantu-membantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua
buat kebahagiaan semua. Holopis-kuntul-baris buat kepentingan bersama! Itulah
gotong royong!”
Revolusi
mental harus merestorasi warisan budaya gotong royong yang mulai pudar dengan
mengembangkannya dalam pengertian yang lebih luas. Restorasi dan transformasi
budaya gotong royong bisa mencakup pengembangan budaya silih asih, silih
asah, dan silih asuh; berat sama
dipikul, ringan sama dijinjing; tolong-menolong dengan semangat koperasi;
saling menghargai dalam perbedaan seraya aktif meningkatkan pemahaman dan
titik temu dalam perbedaan (active
engagement); mampu menghargai dan mengapresiasi karya dan prestasi orang
lain; serta mampu menjalin sinergi antarpotensi, antaragensi, antarsektor,
dan antarwilayah.
Pentingnya
mentalitas-budaya ”pelayanan” berangkat dari asumsi: pemupukan kemandirian
dan penguatan welas asih kegotongroyongan itu harus bermuara pada pelayanan.
Bunda Teresa mengatakan, ”Buah dari
kecintaan adalah pelayanan.” Dalam realitas hidup bangsa Indonesia, apa
pun yang dikerjakan Tuhan sebagai pelayanan kepada bangsa ini serba elok,
fantastis, subur, dan makmur. Namun, apa pun yang dikerjakan manusia sebagai
pelayanan kepada nusa-bangsanya serba amburadul, asal-asalan, mandul, dan
miskin.
Dalam
realitas politik hari ini, praktik gotong royong masih berjalan, tetapi dalam
konotasi toleransi negatif, ”tolong-menolong
dalam kejahatan dan perusakan”.
Gerakan revolusi mental harus menempatkan gotong royong itu dalam
konteks toleransi positif, ”tolong menolong
dalam kebaikan dan pembangunan”.
Semangat toleransi yang memadukan kemandirian dan kerja sama dalam
menunaikan pelayanan publik dan kemanusiaan dengan penuh tanggung jawab dan
bermutu untuk kebaikan dan kemuliaan hidup bersama.
Pendekatan horizontal
Perubahan
pada ketiga mentalitas-budaya inti tersebut bisa menurunkan
mentalitas-mentalitas ikutan. Kreativitas dan inovasi, misalnya, akan lahir
kalau tersedia ekosistem kreativitas yang merupakan perpaduan dari ketiga
unsur tadi. Dalam pandangan Richard Florida (2002), kreativitas = f
(talenta+toleransi+ teknologi).
Dengan kata lain, kreativitas merupakan fungsi dari pemupukan talenta
(unsur kemandirian), yang dikungkung adanya ruang toleransi untuk saling
mengapresiasi (unsur gotong royong), dan tersedianya sarana teknologis
(peralatan teknis, perangkat informasi, organisasi, fasilitator) yang
merupakan unsur pelayanan.
Tricita
revolusi mental itu harus menjadi landasan ideologi kerja bagi penyusunan platform dengan segala turunan program
dan kebijakannya di semua lini dan sektor pemerintahan. Keberadaan ideologi
kerja memberikan framework (panduan
dan haluan) yang memudahkan perumusan prioritas pembangunan, pencanangan
program kerja, serta pilihan kebijakan yang diperlukan.
Dalam
implementasinya, gerakan revolusi mental ini tidak boleh dilakukan dengan
pendekatan vertikal: negara yang ambil inisiatif, negara yang menafsir,
negara yang melakukan. Cara terbaik mesti dilakukan dengan pendekatan
horizontal dalam bingkai semangat gotong royong yang melibatkan partisipasi
berbagai agen sosial dari kalangan masyarakat sipil, masyarakat media,
pekerja budaya, dunia pendidikan, dan dunia usaha.
Dengan
prioritas dan pendekatan seperti itu, gerakan revolusi mental secara sinergis
dan simultan bisa membawa perubahan mendasar pada struktur mental dan
keyakinan bangsa. Dengan perubahan mendasar itu, suatu pemutusan dengan
mentalitas-budaya dan tatanan dekaden bisa dilakukan sehingga bisa menciptakan suasana kejiwaan
yang lebih siap berdikari dalam ekonomi, berdaulat dalam politik, dan
berkepribadian dalam kebudayaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar