SBY-Jokowi
Putu Setia ; Pengarang, Wartawan Senior
Tempo
|
TEMPO.CO,
30 Agustus 2014
BALI ibarat kedatangan
dua kepala negara yang mengadakan KTT (Konferensi Tingkat Tinggi) pada Selasa
lalu. Keamanan di kawasan Nusa Dua diperketat. Hotel tempat pertemuan kedua
tokoh itu dijaga berlapis. Wartawan, baik media cetak, televisi, maupun
online, dan wartawan media sosial (jurnalis warga, ehm, keren) sudah menunggu
sejak siang, padahal pertemuan dimulai malam hari.
Siapa kedua petinggi
itu? Yang satu masih menjabat, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, disingkat
SBY. Yang satu lagi, Presiden terpilih Joko Widodo, dipopulerkan Jokowi.
Ealah, kenapa begitu genting?
Karena pertemuan ini,
menurut pengamat, bersejarah. Untuk pertama kali presiden yang akan lengser
bertemu dengan presiden yang akan menggantikan. Sejarah mencatat-begitu kata
pengamat yang belum kehilangan nyinyirnya di televisi-SBY telah menorehkan
tradisi yang bagus dalam pergantian kepemimpinan nasional.
Soeharto menggantikan
Sukarno dengan mengganjar "tahanan" untuk Sang Proklamator.
Soeharto digantikan B.J. Habibie dengan "dipaksa" lewat aksi
mahasiswa yang menduduki gedung DPR/MPR. Habibie diganti Abdurrahman Wahid
dengan menolak pertanggungjawabannya di MPR, dan Abdurrahman Wahid pun
digantikan Megawati dengan "persekongkolan" di MPR juga. Mega
digantikan oleh SBY dengan pemilihan langsung oleh rakyat tetapi hubungan
keduanya beku. Nah, layaklah pertemuan SBY dan Jokowi jadi sejarah.
Rakyat yang lebih
banyak di rumah menonton televisi-sulit keluar karena Premium sudah langka di
sepanjang Aceh sampai Merauke-menunggu siaran langsung pertemuan itu. Jokowi
pun terlihat tergopoh-gopoh menghampiri SBY, mengenakan baju batik, bukan baju
putih yang lengannya digulung. Jokowi sadar ini bukan blusukan, tetapi
pertemuan formal, harus berpakaian rapi sesuai dengan budaya Nusantara. Dia
disambut SBY dengan kedua tangan, sesaat melakukan cipika-cipiki (ini ritual formal yang tak perlu dijelaskan), lalu
menuju meja dengan dua kursi yang sudah disiapkan. Pertemuan empat mata.
Seusai pertemuan,
kedua tokoh diberi mimbar yang bentuknya sama persis, dengan lambang Garuda
Pancasila-bukan garuda yang lain. Keduanya menjelaskan apa yang dibicarakan.
Apa? La, apa, ya? Ini adalah pertemuan awal yang akan dilanjutkan dengan
pertemuan berikutnya, begitu inti penjelasan. Ya, formal banget.
Esoknya, dan esoknya lagi, beredar berita bahwa Jokowi
mengusulkan agar SBY segera menaikkan harga bahan bakar minyak, tetapi SBY
menolak. Berita ini terus digoreng sehingga apa benar hal itu
dibicarakan dalam "empat mata" tak jelas. Atau hanya
dibicarakan dalam "bukan empat mata", juga tak jelas. (Belum ada
komentar dari Tukul Arwana, host Bukan Empat Mata). Tiba-tiba saja Jokowi mengatakan: "Saya siap tidak populer untuk menaikkan harga minyak."
Jika SBY takut (lebih bagus kata itu diganti hati-hati),
tampaknya Jokowi sudah mantap menaikkan harga minyak, kompak dengan Jusuf
Kalla, wakilnya. Tetapi tak sesuai dengan tuit
dari Megawati (@MegawatiSSP) yang intinya lebih baik cari jalan lain,
misalnya Premium bersubsidi dilarang untuk mobil dan sepeda motor di atas 150
cc. Tak sesuai pula dengan pernyataan Faisal Akbar, deputi tim transisi, yang
menyebutkan: ada opsi lain seperti menaikkan pajak sepeda motor dan mobil,
lalu mengoptimalkan pajak tambang. Bahkan tuit
Rieke Diah Pitaloka (@Rieke_RDP) lebih keras: TOLAK KENAIKAN HARGA BBM (huruf
kapital sesuai dengan aslinya).
Minyak mudah membakar
atau membuat orang tergelincir. Sebelum saya tergelincir, lebih baik saya
akhiri tulisan ini. Biarkan SBY dan Jokowi yang menulis sejarah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar