Rute
Rempah Poros Maritim Abad ke-21
(Bagian 1)
Engelina Pattiasina ;
Pendiri
Archipelago Solidarity
|
SINAR
HARAPAN, 15 September 2014
Pasangan
presiden-wakil presiden terpilih, Joko Widodo-Jusuf Kalla, merilis visi dan
misi negara maritim untuk Republik Indonesia (RI) awal abad ke-21.
Negara-negara lain di Asia Pasifik, seperti India, Tiongkok, dan Jepang juga
telah giat mengembangkan berbagai strategi maritim untuk pembangunan
sosial-ekonomi, ekosistem negara, dan keamanan nasional.
Di
Tiongkok, Presiden Xi Jinping mencetuskan konsep dan strategi Maritim Silk
Route (MSR) tahun 2013. (Xinhua, 10/6/2013), Xi Jinping mengajukan gagasan MSR
saat berkunjung ke RI pada Oktober 2013. (Xinhua, 19/7/2014), Silk Route
menghubungkan Tiongkok-Eropa sekitar tahun 100 pra-Masehi untuk jual-beli
sutra, keramik, dan teh ke pasar-pasar global. (Xinhua, 10/6/2014), kini
rute-rute tersebut merupakan situs-situs purbakala.
Di
sisi lain, sejak akhir abad ke-20, kebijakan maritim departemen pertahanan
Amerika Serikat (AS) mulai bergeser dari fokus Eurocentric ke Asia
Pacificcentric. Isunya ialah dampak ekonomi terhadap kehadiran Angkatan Laut
AS di zona strategis Asia Pasifik (Trangedi, 2002:11).
Risiko
konflik pada jalur lintasan rute minyak sepanjang Timur Tengah hingga Asia
Timur mendorong peningkatan peran US Marine Corps dan kekuatan maritim negara
lain. Pertanyaannya, mulai dari mana dan bagaimana strategi maritim RI awal
abad ke-21?
Dinamika Asia Pasifik
Tiongkok
memperkuat basis-basis maritimnya di zona internasional selama 20 tahun ke
depan dan memperluas eksplorasi sumber-sumber lautan dan mengakselerasi riset
dan pembangunan teknologi laut dalam, (Ocean Development Report/Tiongkok,
2013).
Pada
2020, Tiongkok menjadi pasar otomotif terbesar dunia. Kebutuhan energi akan
naik sekitar 40 persen. Ini berdampak pada stabilitas pasar energi fosil
dunia (Barnett, 2002) khususnya keamanan rute-rute maritim.
Kapal-kapal
selam nuklir, satelit orbit bumi, dan jenis aplikasi teknologi laut dalam
lainnya akan memengaruhi lingkungan maritim saat ini dan masa datang.
Kondisi
ini sangat berbeda dengan kondisi paruhan pertama abad ke-20. Khususnya
ketika India dan Tiongkok belum merupakan negara nuklir, (Holland, 2002;
Keegan, 1988: 319-327).
Jalur
maritim Selat Malaka, Selat Hormuz, Selat Sunda, Selat Lombok, Selat
Makassar, dan Laut Tiongkok Selatan sangat strategis. Center for Navals
Analyses tahun 1996 merilis kajian berjudul Chokepoints: Maritime Economic
Concerns in Southeast Asia. Isinya, jika jalur-jalur maritim tersebut ditutup
dan rute dialihkan melalui Australia, terjadi lonjakan biaya sekitar US$ 8
miliar per tahun menurut data perdagangan tahun 1993. Studi lain menyebutkan,
jika pelabuhan Singapura ditutup, terjadi biaya sekitar US$ 200 miliar per
tahun. (Noer et al., 1996)
Meskipun
Selat Malaka, Selat Lombok, Selat Makassar, dan Selat Sunda sangat strategis,
karena kehadiran Angkatan Laut AS di kawasan ini, Asia Tenggara khususnya RI,
Malaysia, dan Brunei “tidak melawan” atau “East Asia has long remained the
dog that did not bark” (Gaffney et al,
2000). AS masih merupakan pemain kunci balance of power pada Ocean
Century dan Asia’s Century awal
abad ke-21.
Secara
umum, Maritime Silk Route (MSR) Tiongkok sulit dijadikan basis poros
maritim abad ke-21. Hal itu karena Tiongkok mengadopsi kebijakan-kebijakan unified land and maritime strategy
yang mengeskalasi ketegangan dengan India, Jepang, Korea Selatan, Vietnam,
Filipina, Malaysia, Brunei, dan bahkan RI.
Tiongkok
mempersenjatai Pakistan dengan tank, kapal perang, pesawat tempur, dan
promosi produksi rudal dan senjata nuklir Pakistan. Tiongkok berupaya meredam
pengaruh India di Nepal, Bhutan, Myanmar, Bangladesh, Sri Lanka, dan
Maladewa. Langkah Tiongkok ini, menurut PM India Narendra Modi, “Everywhrere
around us, we see an 18th century expansionist mindset” saat berada di Jepang
awal September 2014, (Reuters, 1/9/2014).
Tiongkok
berupaya keras melindungi gerbang basis kapal selam nuklir terbesarnya di
sekitar zona udara internasional Pulau Hainan ke zona Laut Tiongkok Selatan.
Penerbangan surveilans pesawat
militer AS rutin memantau zona ini. Presiden Tiongkok Xi Jinping meningkatkan
anggaran militer Tiongkok sebesar 12,2 persen tahun 2014, (Bloomberg,
29/9/2014).
Filipina,
Vietnam, Malaysia, dan Brunei juga mengklaim hak atas perairan Laut Tiongkok
Selatan. Jepang, Sri Lanka, India, dan Australia menjalin kerja sama keamanan
dan maritim miliaran dolar AS. India siap memasok rudal Brahmos antiship cruise ke negara seperti Vietnam, Filipina, dan
RI, (RIS, 2012). AS dan sekutunya menentang upaya Beijing sejak 2013 tentang Air Defense Identification Zone (ADIZ)
di Laut Tiongkok Timur dan klaim teritorial Tiongkok atas zona ekonomi
eksklusif Laut Tiongkok Selatan.
Tiongkok
membangun MSR berupa investasi jalan, kereta-api, pelabuhan, pinjaman murah,
serta kesepakatan dagang di sekitar India, khususnya Gwadar, Pakistan,
Hambantota, Sri Lanka, Chittagong, Bangladesh, dan sekitarnya. Strategi MSR
Tiongkok ini kontra terhadap strategi maritim AS dari Eurocenter ke Asia
Pacific Center. Proposal Trans-Pacific
Partnership (TPP) AS didesain untuk meredam dominasi ekonomi Tiongkok
atau kerja sama mutual-benefit
ekonomi antara Tiongkok, AS, dan mitranya di Asia, (Asia News Network, 11/9/2014).
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar