Realokasi
Anggaran BBM
Sugiyono Madelan ; Peneliti Indef dan Dosen
Universitas Mercu Buana
|
REPUBLIKA,
01 September 2014
Meskipun
produk domestik bruto (PDB) nominal per kapita di Indonesia telah meningkat
sebesar 3,4 kali lipat dari Rp 10,4 juta menjadi Rp 34,19 juta selama periode
2004-2012, kebijakan pengendalian volume konsumsi BBM kembali terbukti masih
tidak efektif diimplementasikan pada bulan Agustus 2014. Pada tahun 2014,
Bank Dunia pun mengumumkan bahwa Indonesia termasuk dalam 10 besar ekonomi
dunia berdasarkan metode perhitungan Purchasing
Power Parity.
Upaya
PT Pertamina memindahkan konsumsi BBM bersubsidi jenis Premium dan solar ke
BBM nonsubsidi jenis Pertamax Plus, Pertamax, Bio Pertamax, dan Pertamina Dex
yang harganya dijual lebih tinggi itu kembali mengalami kegagalan. Dukungan
amanat kuota BBM bersubsidi berkurang dari 48 juta kiloliter menjadi 46 juta
kiloliter dalam Undang-Undang APBNP 2014 ternyata juga kurang mempunyai
legitimasi untuk dijadikan sebagai dasar hukum berpolitik ekonomi dalam
mengimplementasikan konsep realokasi anggaran BBM bersubsidi.
Konsumen
ternyata kembali memilih berkeras tetap mengantre panjang selama berjam-jam
untuk mendapatkan BBM bersubsidi di SPBU, atau konsumen memilih berburu
mencari SPBU yang masih mempunyai stok penjualan BBM bersubsidi. Demikian
pula konsumen yang akan masuk ke jalan tol memilih untuk mengisi BBM sebelum atau
di luar jalan tol.
Kegagalan
memindahkan konsumsi BBM bersubsidi ke nonsubsidi yang memberlakukan harga
keekonomian juga terjadi pada SPBU yang didirikan oleh perusahaan asing di
Indonesia. SPBU tersebut masih sangat sepi pembeli selama PT Pertamina masih
menjual BBM bersubsidi.
Hingga
saat ini, pemerintah dan DPR masih juga bersikukuh menggunakan argumentasi
subsidi BBM tidak tepat sasaran, yang menggunakan latar belakang pembedaan
harga jual BBM atas dasar kaya dan miskin. Kenyataan peningkatan PDB nominal
per kapita di atas menunjukkan bahwa BBM jenis Premium dan solar belum cukup
kuat untuk berhasil diubah sudut pandangnya oleh pemerintah menjadi barang
inferior, ketika konsumen masih peka terhadap harga BBM nonsubsidi.
Pada
barang inferior, ketika pendapatan konsumen meningkat, maka jumlah konsumsi
pada barang tertentu (BBM bersubsidi) akan berkurang, tetapi BBM bersubsidi
ternyata masih dianggap sebagai barang normal. Meskipun konsumen mempunyai
pendapatan yang meningkat, perilaku untuk mengonsumsi barang yang harga
jualnya lebih murah sering kali masih sangat kuat. Perilaku ekonomi tersebut
mengalahkan berbagai argumentasi sebagai usaha untuk mengurangi alokasi kuota
BBM bersubsidi.
Memang
seolah terjadi keberhasilan dalam merasionalkan konsumsi harga jual BBM,
namun hal itu ternyata bukanlah sepenuhnya karena dampak faktor peningkatan
PDB nominal per kapita di atas. Konsumen BBM jenis Pertamax Plus, Pertamax,
Bio Pertamax, dan Pertamina Dex memang terlihat loyal. Namun, loyalitas
tersebut disebabkan oleh kecocokan antara spesifikasi teknis kendaraan dan
jenis BBM yang sesungguhnya mengharuskan mereka secara loyal dan stabil untuk
mengonsumsi BBM nonsubsidi.
Akan
tetapi, apabila spesifikasi teknis kendaraan mempunyai celah yang longgar
untuk dapat berpindah ke BBM bersubsidi yang dijual dengan harga yang lebih
murah, maka sebagian dari mereka ternyata lebih memilih untuk mencari dan
kemudian mengonsumsi BBM jenis Premium dan solar. Keyakinan tersebut semakin
kuat ketika kendaraan yang mengonsumsi BBM jenis Premium tidak berpindah ke
BBM jenis solar, meskipun harga BBM jenis solar dijual lebih murah
dibandingkan harga BBM jenis Premium.
Sebab,
kendaraan yang menggunakan BBM jenis Premium dipastikan mogok apabila diisi
dengan BBM jenis solar. Berbeda halnya dengan mesin diesel penyedot air yang
semula menggunakan BBM bersubsidi jenis solar, kemudian dapat dilakukan
modifikasi perubahan pada mesin sehingga mesin diesel tersebut dapat
digantikan oleh elpiji tiga kg bersubsidi yang lebih murah.
Kendala
lain realokasi besaran anggaran BBM bersubsidi adalah PDB per kapita masih
kurang bagus menjadi indikator ketika kesenjangan pendapatan masih tinggi dan
semua sektor lapangan usaha menggunakan output BBM sebagai input pada sektor
mereka. Misalnya, asosiasi pengusaha lebih setuju kebijakan menaikkan harga
BBM dibandingkan kebijakan pengendalian volume BBM bersubsidi.
Namun,
para pekerja di sektor industri biasanya relatif paling kencang dalam
menyuarakan keberatan terhadap kebijakan pengurangan subsidi BBM. Sementara
itu, para pekerja sektor perhotelan, perdagangan, pertanian, peternakan, dan
perikanan yang mempunyai upah riil lebih rendah terkesan mengandalkan hasil
demonstrasi dari pekerja di sektor industri meskipun pekerja sektor industri
mempunyai upah riil lebih tinggi.
Mengetahui
kenyataan di atas, maka strategi pengendalian volume kuota BBM sebagai suatu
langkah realokasi anggaran BBM bersubsidi sesungguhnya merupakan suatu
pemanasan untuk meningkatkan kesadaran bersama seperti tahun 2013.
Pembentukan kesadaran sebagai syarat jangka pendek untuk mendapat pembenaran
menuju penerimaan atas penaikan harga jual BBM bersubsidi eceran, baik
melalui dialektika kenaikan kecil-kecil secara bertahap dan tekanan isu
keberlanjutan anggaran.
Namun,
pemerintah diharapkan perlu semakin menekuni optimalisasi opsi penggunaan
berbagai energi alternatif untuk mengurangi tekanan harga atas kandungan BBM
bersumber impor. Energi alternatif itu antara lain mencakup energi nuklir,
bahan bakar nabati, baterai, biomasa, batu bara, panas bumi, tenaga angin,
surya, dan air dalam mencari solusi terhadap krisis energi.
Di
samping itu, pemerintah juga perlu membangun kilang minyak modern dalam
negeri dan mengefisienkan perdagangan BBM. Langkah itu penting ketika upaya untuk
meningkatkan investasi eksplorasi untuk cadangan minyak mentah yang
berpotensi masih tersisa 49 persen dibandingkan cadangan gas bumi sebesar 31
persen tidak mengalami kemajuan secara radikal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar