Prasyarat
Pembangunan
Sistem
Moda Kereta Cepat yang Berkelanjutan
Abdur Rohim Boy Berawi ;
Penasihat AusAID
untuk Kementerian Perhubungan. Menamatkan studi Doktoral pada program Massachusetts
Institute of Technology (MIT) – Portugal dengan spesialisasi Kereta Cepat
(High Speed Train)
|
DETIKNEWS,
01 September 2014
Pemerintah
berencana membangun kereta cepat atau High Speed Train (HST) dengan rute
Jakarta-Surabaya sepanjang 750 kilometer. Kereta ini mampu melesat hingga 300
kilometer per jam dengan waktu tempuh 3 jam dari yang biasanya memakan waktu
seharian penuh.
Dalam
perkembangannya, rencana proyek kereta cepat menimbulkan pro-kontra di
kalangan masyarakat. Meskipun proyek kereta ini akan mengusung konsep
‘Kerjasama Pemerintah Swasta' (KPS) dengan mayoritas pembiayaan ditanggung
pihak swasta, tetap saja ada kemungkinan munculnya risiko-risiko fiskal yang
mesti ditanggung pemerintah. Tak heran, karena modal investasi besar
menyebabkan resiko gagal usaha menjadi semakin tinggi.
Bila
di rata-rata, konstruksi jalur kereta cepat membutuhkan biaya sekitar Rp
200-300 milliar per kilometernya, jauh dari ongkos pembuatan jalur kereta
konvensional yang hanya Rp 2-4 milliar. Akibatnya banyak proyek kereta cepat
yang mengalami kesulitan dari sisi pengembalian investasi.
Pada
beberapa jalur kereta cepat di China, misalnya, pendapatan dari penjualan
tiket tidak mampu menutupi ongkos operasional dan investasi yang telah
dikeluarkan. Di Taiwan, perusahaan investor kereta cepat THSRC mengalami
kepailitan finansial menyusul tingkat keterisian penumpang yang hanya
sepertiga dari prediksi semula. Pemerintah Taiwan akhirnya mengambil alih
pengelolaan sistem transportasi ini sekaligus harus menanggung beban hutang
sebanyak Rp 116 triliun.
Tentu
saja tidak semua proyek kereta cepat berakhir kurang mulus. Banyak juga
success story di berbagai negara lain, seperti Prancis yang berhasil menutup
biaya investasi kereta cepat rute Paris–Lyon hanya dalam kurun waktu 12
tahun. JR Central selaku operator sistem kereta cepat di Jepang melaporkan
keuntungan bersih sebesar Rp 52 triliun hanya pada rute Tokyo-Osaka di tahun
2012. Kereta cepat juga memiliki efek ekonomi regional. Kota-kota di Jerman
yang dilalui rute kereta ini mengalami kenaikan GDP sebesar 2,7% lebih tinggi
daripada kota yang tidak dilewati.
Oleh
karena itu, keputusan untuk membangun kereta cepat hendaknya melalui
pertimbangan yang cermat agar proyek tersebut dapat berjalan sukses dan
bermanfaat sesuai peruntukannya. Berdasarkan best practices dari berbagai
negara, setidaknya terdapat 3 prasyarat utama yang perlu dilakukan pemerintah
guna menjamin kesuksesan implementasi kereta cepat di Indonesia.
Prasyarat
pertama adalah reformasi struktur kelembagaan perkeretaapian Indonesia.
Sesuai UU no 23 tahun 2007, proses reformasi sebenarnya sudah dilakukan
melalui pemisahan fungsi regulator (Kemenhub) dan fungsi operator (PT KAI).
Tujuannya guna meningkatkan kualitas layanan kereta dan menarik minat pihak
swasta terlibat dalam bisnis perkeretaaapian. Namun pada kenyataannya sampai
7 tahun UU ini berlaku, keterlambatan dan kecelakaan di jalur perlintasan
kereta masih sering terjadi. Ditambah lagi belum ada pihak swasta yang berani
masuk dan berkompetisi dengan PT KAI, yang saat ini berfungsi ganda yakni
sebagai penyedia infrastruktur dan sekaligus operator.
Dengan
kondisi demikian pemerintah tidak hanya berkewajiban memberikan subsidi
kepada PT KAI namun juga berpotensi kehilangan pendapatan misalnya dari biaya
penggunaan jalur kereta (track access charge) yang harusnya dibayar oleh PT
KAI maupun hilangnya potensial operator swasta. Jika pemerintah serius ingin
menjadikan kereta sebagai tulang punggung transportasi, maka diperlukan
pemisahan fungsi yang tegas dari lembaga-lembaga terkait.
Manajemen
kereta api di Indonesia dapat mencontoh Inggris Raya yang kepengelolaannya
dilakukan secara tripartit; Pemerintah, Infrastruktur Manager (IM’s) dan
Operator. Dalam konsep yang ditawarkan penulis untuk diterapkan di Indonesia,
Kemenhub tetap berperan sebagai regulator sesuai tupoksinya selama ini. Namun
kewenangan pembangunan dan pemeliharaan jaringan kereta dialihkan kepada
pihak IM’s, yang dalam hal ini diberikan kepada PT KAI.
Sebagai
regulator, pemerintah diharapkan dapat memastikan adanya kesempatan yang luas
bagi swasta yang ingin berpartisipasi dalam bisnis perkeretaapian serta
memastikan agar kompetisi antar operator berjalan dengan kondusif. Sedangkan
PT KAI sebagai penyedia infrastruktur bertanggung jawab dalam membangun
sistem jaringan kereta berkualitas dan penyelenggaran manajemen bisnis yang
menguntungkan. Dengan pengalamannya sebagai operator, tentu PT KAI memahami
kebutuhan dan pasokan service apa yang diperlukan guna membawa pihak swasta
ke dalam bisnis ini. Sebagai pemantik, PT KAI dapat menyewakan asset mereka
seperti gerbong kereta kepada potensial operator swasta. Dengan lingkungan
bisnis yang sehat dan menguntungkan tentu akan secara otomatis menarik minat
investor.
Prasyarat
kedua adalah penambahan fungsi nilai dari konsep desain sistem kereta
konvensional. Dengan kebutuhan capital cost yang besar dan dengan tingkat
pengembalian investasi yang minimum, maka justifikasi kelayakan finansial
proyek kereta cepat seringkali tidak dapat dipenuhi. Oleh karenanya,
diperlukan penggunaan kajian rekayasa nilai yang meliputi aspek penerapan
inovasi desain dan aspek penambahan berbagai fungsi baru.
Pada
aspek pertama, penulis mendorong penggunaan teknologi terkini seperti yang
sudah banyak diimplementasikan di berbagai negara. Sudah seharusnya proyek
kereta api cepat tidak dibangun berdasarkan harga penawaran terendah semata,
tetapi juga mempertimbangkan unsur ekonomis selama project life cycle
berlangsung. Aplikasi teknologi terkini memang mahal pada initial cost namun
akan dikompensasi dengan rendahnya biaya perawatan dan operasional kereta.
Jepang dan Itali, misalnya, telah menerapkan desain inovatif track yang dapat
memperlambat penurunan kualitas struktur rel hingga 50%.
Pada
aspek kedua, dilakukan penambahan fungsi baru dari proyek kereta cepat yang
akan dibangun. Konsep kereta cepat yang akan datang nantinya diharapkan tidak
hanya memiliki fungsi transportasi semata namun juga menghasilkan keluaran
berbagai fungsi baru. Seperti pada jalur kereta cepat Leuven-Liege di Belgia,
yang mendapatkan pasokan listrik dari penambahan fungsi 25 wind power yang
ditanam di sepanjang jalurnya. Di jalur kereta cepat Spanyol, dilakukan
penambahan fungsi berupa pengembangan kawasan industri di daerah Lleida,
sehingga menarik investasi dari Microsoft dan perusahaan teknologi lainnya.
Prasyarat
ketiga adalah memastikan jumlah penumpang yang mencukupi bagi keberlanjutan
bisnis kereta api cepat. Tokyo dan Paris adalah contoh dua kota besar dunia
yang memiliki tingkat keterisian penumpang cukup tinggi yakni sebesar 60% dan
25%. Penerapan sistem transportasi yang terpadu satu sama lain merupakan
kunci sukses penerapan implementasi kereta api cepat di dua kota ini.
Penumpang dapat langsung melanjutkan perjalanannya dari stasiun kedatangan
dengan berbagai pilihan moda transportasi yang ada. Pengalaman juga
membuktikan kesuksesan sistem kereta api cepat terutama di daerah-daerah yang
memiliki kepadatan penduduk. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar