Rabu, 24 September 2014

Poros Budaya Maritim Dunia

Poros Budaya Maritim Dunia

Radhar Panca Dahana ;   Budayawan
SINAR HARAPAN, 24 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Lepas dari segala macam produk intelektual-spekulatif, atau semacam pseudo-ilmiah, yang menyatakan adanya semacam kejayaan peradaban, atau kerajaan agung dengan magnitude global masa purba negeri ini.

Ini seperti yang antara lain ditulis dalam buku-buku karya Arysio Santos, atau Stephen Oppenheimer, atau temuan-temuan dari riset dan eskavasi Gunung Padang yang dibiayai Istana Presiden.

Namun, mesti diterima sebuah kenyataan faktual, bahwa secara historis maupun arkeologis, Indonesia adalah negeri yang realitas geografis hingga kulturalnya adalah negara bahari yang besar, bahkan terbesar, di Bumi ini.

Dalam sejarah panjang negeri bahari atau maritim ini, terdapat beberapa milestone atau titik waktu ketika peradaban atau kebudayaan itu mencapai puncak-puncak pencapaian tertingginya.

Sebenarnya kita dan dunia tahu, sekurangnya pada masa Masehi, ada beberapa periode ketika negeri ini diisi pencapaian luar biasa dalam produk-produk kultural positifnya, baik bidang tata pemerintahan, ekonomi, codex hukum, kemasyarakatan, kehidupan spiritual (agama), ilmu pengetahuan (pendirian akademi dan universitas pertama di dunia), hingga karya-karya artistiknya.

Dua kerajaan maritim terbesar di masa lalu negeri ini, seperti Sriwijaya dan Majapahit adalah kenyataan historis dan arkeologis yang tak terbantahkan. Tentu saja, di luar perhitungan begitu banyak kerajaan pesisir besar ternama lainnya, mulai Tarumanagara, Samudera Pasai, Bantan, hingga Ternate, Tidore, Gowa, dan sebagainya.

Menurut penjelasan yang didapat dari kitab Negarakrtagama, Kerajaan Majapahit memiliki luas wilayah lebih besar dari negara Indonesia saat ini, yang sekitar 5,1 juta km, terdiri atas daratan sekitar 2 juta km dan perairan sekitar 3 juta km lebih. Namun ganjilnya, kerajaan seperti itu dicatat dan ditulis dengan minornya dalam sejarah dunia, bahkan jauh di bawah kekaisaran/kerajaan seperti Jerman, Armenia, Uighur, bahkan Tibet.

Entah dengan alasan “akademik” apa, hingga sejarah-sejarah agung yang dicapai bangsa kita, yang bahkan sebenarnya dalam banyak hal menjadi pionir dalam kebudayaan dunia, tidak masuk dalam rangkaian sejarah dunia.

Saya hampir sampai pada satu kesimpulan naif, bahkan konspiratif, melihat fakta itu sebagai sebuah “kesengajaan” yang dimulai sejak abad pertengahan, ketika Eropa Barat mulai mampu membuat kartografi global, setelah peta-peta klasik dari kartografer-kartografer besar zaman antik, seperti Anaximander atau Posidonius.

Kritik pada Sejarah

“Kesengajaan akademik” di atas memang perlu dijelaskan dalam tulisan tersendiri. Namun, di sini kita bisa menegaskan bagaimana memang dalam riwayat penulisan sejarah dunia, terdapat semacam jalur logika atau alur pemikiran (rationalism atau logocentrism) tertentu, yang menurut saya tidak adil, tidak imbang, tidak fair, atau menafikan riwayat faktual dari sejarah kebudayaan bangsa Indonesia.

Hal yang saya maksud dengan alur atau sistem pemikiran ini adalah ilmu sejarah (historiologi) itu sendiri. Sebuah cabang ilmu sosial yang menetapkan “tulisan” atau abstraksi simbolik-linguistik, adalah penanda utama terjadi atau terdapatnya sebuah sejarah.

Semua yang tidak meninggalkan monumen inskriptural, dianggap sebagai bukan sejarah atau prasejarah alias antik, kuno bahkan purba, bahkan dalam pengertian lebih sempit primitif, dalam terminologi kasarnya: biadab.

Cara berpikir ini sungguh tidak bisa diterima. Inilah cara berpikir kontinental, yang sangat tidak fit-in dengan sejarah kebudayaan dan proses pemberadaban maritim di negeri ini. Sejarah pemberadaban yang ternyata bukan hanya tidak menggunakan medium-medium skriptural, melainkan juga menganggap medium ekspresional semacam itu tidak dibutuhkan, dalam pemahaman yang lebih khusus lagi bahkan dianggap merusak atau membahayakan. Bagaimana itu bisa terjadi? Jawabannya membutuhkan lembar-lembar kertas tersendiri.

Pastinya, ide atau konsep tentang “poros maritim” saya kira dapat dibangun dengan latar sejarah sebagaimana tergambar di atas. Sekurangnya, ide ambisius itu bukanlah sekadar pengertian sederhana dalam wilayah politik, ekonomi, militer, atau bahkan sekadar teknologi kelautan atau kemampuan pelayaran kita.

Terus terang, kita harus jujur mengakui, dalam wilayah-wilayah di atas, kemampuan atau kapasitas kita jauh berada di bawah negeri-negeri besar macam Amerika Serikat, Rusia, Jepang, bahkan Tiongkok atau India. Negeri-negeri modern yang justru dahulu belajar dari negeri ini bagaimana untuk mengarungi laut lebih dari 60 mil misalnya.

Kita tahu, Amerika Serikat sebenarnya adalah negeri kontinental yang memiliki kesadaran maritim paling awal—dibanding negara-negara kontinental lainnya, karena sekurangnya sejak awal 1950-an sudah membangun bukan hanya armada perang di laut (termasuk kesatuan marinir) canggih dan high-tech, melainkan juga basis ekonomi kelautan tangguh sepanjang batas pantainya yang memang cukup panjang.

Sebagai negeri emigran yang pernah di bawah protektorat dan sangat dipengaruhi kebudayaan anglo-saxonian dari negeri maritim besar Eropa, Inggris—yang selama satu milenium bersemboyan “matahari tak pernah tenggelam di Inggris Raya”—menyadari laut bukan hanya kejayaan masa lalu, melainkan juga basis kejayaan masa depan.

Karena itu, seorang pemikir muda maritim dan juga penggerak nelayan, Dr Riza Damanik, merasakan dengan sangat bagaimana dalam forum-forum ekonomi APEC, kekuatan-kekuatan besar yang dikomando Amerika Serikat, seperti mencegah dengan sengaja dan sistemik agar pemikir dan pelaku ekonomi Indonesia tidak menyadari potensi-potensi besar yang dimilikinya di tengah lautan, yang merupakan dua pertiga jati dirinya.

Kita pun tahu bagaimana Tiongkok belakangan mengembangkan bukan hanya teknologi perkapalan dan kelautannya saja, melainkan juga armada perang laut, termasuk produksi kapal selam dan induk mereka yang pertama; hingga gerak politik ekspansifnya dalam berbagai konflik maritim, seperti dalam seterunya dengan Jepang, Korsel, hingga negara-negara di Asia Tenggara.

Begitu pun kita mafhum, mengapa Rusia misalnya begitu ngotot bahkan berani menahan embargo Baratm hanya untuk merebut dan mempertahankan pelabuhan kecil di Krimea, Ukraina. Itu karena ternyata pelabuhan itu adalah pintu dominasi atau bargaining position Rusia dalam lalu lintas ekonomi, militer, juga politik di Timur Tengah, serta dunia pada akhirnya.

Upaya bangsa ini untuk menjadi “poros maritim” dunia bisa jadi hanya menjadi kelakar internasional. Ini karena belum juga kita teguh memahami ide tersebut.

Presiden Tiongkok, Xi Jinping, sudah berkeliling ke berbagai negara Selatan untuk mempromosikan apa yang ia sebut dengan “Jalan Sutra Maritim”, gagasan yang hendak menciptakan monumen modern dari poros daratan “Jalan Sutra” di Tiongkok Daratan. Bahkan, mungkin kita pun bisa dipermalukan negara kontinental kecil dengan riwayat pelayaran minim, namun kini memiliki galangan dan pabrik kapal selam termasuk terbesar dunia, Korsel.

Kabinet yang Congkak

Ketertinggalan kita dalam pengembangan kapasitas di wilayah-wilayah keras (hard core) di atas memang sebagian adalah kesalahan kita sendiri. Walau tentu saja kita juga bisa melempar kesalahan itu pada kolonialisme 2.000 tahun bangsa kontinental atas negeri maritim kita ini, sehingga kultur dan adab kontinental begitu menguasai diri kita, hingga pada tingkat eksistensial-individual masing-masing anggota bangsa, sampai hari ini. Sebuah realitas yang secara faktual membuat kekuatan-kekuatan primordial kita yang berbasis adab bahari/maritim tertindih atau ter-cover adab modern yang kontinental itu.

Bahwa semua itu dapat terjadi, seperti ketika kolonialisme klasik belum tuntas berlalu, imperialisme/kolonialisme berbentuk baru (modern) ternyata sudah bercokol kuat dalam (negeri/diri) kita, sebenarnya—jujur saja—adalah kesalahan kita sendiri juga. Kejujuran yang berdimensi mental, juga spiritual ini, sesungguhnya memiliki alasan atau argumentasi (akal) intelektualnya.

Argumentasi yang akan memberi kita sebuah penjelasan, bagaimana sebenarnya kelemahan kita sendirilah yang telah membungkus potensi-potensi kemaritiman kita, dalam kotak-kotak dan artefak atau arkofak, yang kini hanya menjadi pajangan dalam etalase-etalase kebudayaan kita; dalam situs-situs arkeologis, museum, ritual, dan seni tradisi yang kita lap dan poles setiap hari, sebagai gincu yang memamerkan kecantikan artifisial kebudayaan kita.

Bukannya kultur primordial kita periksa seksama, analisis, lalu kita olah, kembangkan, atau hasilkan produk-produk kreatif terbaiknya.

Hal yang terjadi malah di tingkat penyelenggara negara, bila tidak melakukan penghinaan (humiliasi) bahkan asasinasi kebudayaan, ia menafikan, memperiferi, atau menyudutkan kebudayaan sebagai kerjaan yang oleh beberapa menteri di kabinet Indonesia Bersatu II disebut sebagai “hal yang memboroskan keuangan negara”, bahkan disusul pra-anggapan yang menggelikan saat wakil dari Mensetneg dengan congkak mempertanyakan, “apa sumbangsih kebudayaan bagi bangsa ini?”.

Sikap pemerintah pusat yang mendapat amanah sejarah dan obligasi konstitusional, serta disediakan fasilitas-fasilitas dengan dana yang dikumpulkan dari rakyat ini, juga terjadi di banyak daerah, termasuk di Ibu Kota yang—konon—memiliki pemimpin penuh visi belakangan ini. Sebuah gejala kebebalan-budaya yang kian akut, sekurangnya sejak masa Orde Baru, yang akan menjadi penghalang bahkan pembunuh terbesar dari cita-cita bangsa ini menuju kejayaan yang berbasis adab maritim, menjadi poros maritim dunia.

Poros yang harus dipahami sebagai sebuah kekuatan (potensi) kebudayaan maritim, yang dalam banyak segi atau manifestasinya tidak dapat disamakan, bahkan tidak pernah atau bisa dicapai bangsa-banga mana pun di dunia.

Uraian argumentatif untuk soal ini sayangnya membutuhkan banyak lembaran kertas lain lagi. Namun, saya setidaknya dapat menegaskan, bila kita ingin bicara di tingkat global, sekurangnya sebagai sebuah poros dalam dunia kemaritiman (sebagai dunia masa depan umat manusia), semestinya hal itu berfondasi dan berproses dalam kekuatan terbesarnya: kebudayaan.

Kekuatan yang merangkum seluruh parsialitas yang bila dicerai-berai akan justru meruntuhkan kita. Di sinilah makna Bhinneka Tunggal Ika juga mendapat signifikansi dan implementasinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar