Politik
Hukum Kasus Anas
Joko Riyanto ; Alumnus Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS)
Surakarta
|
KORAN
TEMPO, 27 September 2014
Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menyatakan mantan Ketua
Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum terbukti melakukan korupsi secara
berlanjut dan pencucian uang secara berulang-ulang. Anas divonis dengan
hukuman 8 tahun penjara dan denda Rp 300 juta subsider 3 bulan kurungan.
Mantan anggota DPR itu juga dijatuhi hukuman membayar uang pengganti Rp 57,59
miliar dan US$ 5,22 juta atau subsider 2 tahun kurungan (Koran Tempo, 25/9/2014).
Bagi Anas, vonis tersebut tidak adil karena tidak sesuai dengan fakta
persidangan. Bahkan, Anas mengajak majelis hakim dan jaksa penuntut umum
untuk melakukan sumpah kutukan (mubahalah).
Menurut Anas, dengan sumpah tersebut, siapa pun yang tidak berlaku adil harus
siap menerima kutukan.
Terlepas dari itu, sisi politik hukum Anas patut dicermati. Selama proses
hukum oleh KPK, Anas menuduh KPK melakukan konspirasi politik jahat dengan
SBY. Anas beranggapan dia adalah korban (dikorbankan) politik jahat tertentu.
Kasus Hambalang yang membelitnya diyakini buah campur tangan SBY. Anas juga
mempertanyakan kenapa KPK memeriksanya namun tidak berani memeriksa Sekjen
Partai Demokrat Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas/putra SBY), selaku ketua
panitia penyelenggara, dan SBY selaku penanggung jawab kongres Partai
Demokrat di Bandung, 2010 lalu. Padahal, KPK selalu menekankan pemberantasan
korupsi tidak tebang pilih dan menyatakan semua orang sama di depan hukum.
Dalam menilai dan menganalisis kasus Anas, kita yakin KPK tidak bekerja
atas dasar pesanan siapa pun atau berada dalam tekanan serta pengaruh
kekuasaan tertentu. KPK tak akan sembarang memanggil seseorang tanpa ada
fakta yang jelas. Kita juga yakin KPK sudah bekerja keras menyidik secara
intensif semua data dan informasi yang masuk. KPK juga telah melakukan uji
silang terhadap semua informasi guna mendapatkan bukti-bukti yang konkret.
KPK juga melakukan kajian lebih mendalam mengenai info, mengkonstruksi, dan
menyimpulkan informasi soal kasus korupsi secara hukum.
Proses hukum Anas didasarkan pada fakta-fakta hukum, seperti kesaksian
dan putusan Pengadilan Tipikor atas terdakwa Muhammad Nazaruddin, keterangan
saksi Neneng Sri Wahyuni soal pembayaran satu unit mobil Harrier, dan dakwaan
Deddy Kusdinar yang menyebut Anas menerima aliran dana dari proyek Hambalang.
Bahkan, Presiden SBY mempersilakan KPK memeriksa Ibas kalau memang ada bukti
kuat keterlibatan dalam proyek Hambalang.
Boleh saja Anas dan barisannya membangun opini publik serta
mengeluarkan argumentasi politik, tapi KPK juga tidak boleh surut dan
terpengaruh oleh semua itu. Bukan hanya yang berkaitan dengan Anas, bahkan
KPK harus membuka banyak kemungkinan lewat sinyal-sinyal yang disampaikan
oleh Anas dan loyalisnya. Langkah banding KPK atas vonis Anas sudah tepat
untuk memaksimalkan hukuman.
Jika Anas memang yakin tidak bersalah, bukalah halaman-halaman berikutnya dari kasus
Hambalang dan proyek-proyek lainnya! Dan forum pengadilanlah tempat untuk
mengungkap semua itu supaya kasus Hambalang menjadi terang-benderang dan
mengungkap aktor utama lainnya yang belum tersentuh hukum. Syaratnya,
halaman-halaman yang akan dibuka Anas harus disertai bukti dan dalil hukum
kuat, bukan ocehan politik balas dendam kepada pihak tertentu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar