Rabu, 24 September 2014

Pilkada dan Lorong Ideologi Alternatif

Pilkada dan Lorong Ideologi Alternatif

Refly Harun ;   Praktisi Hukum Tata Negara dan Pemilu
KOMPAS, 24 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

PEMILIHAN langsung bertentangan dengan sila ke-4 Pancasila.” Pernyataan seperti itu kerap kita dengar dari tokoh-tokoh politik yang partainya menolak pemilihan langsung oleh rakyat, baik pemilihan presiden maupun pemilihan kepala daerah.

Sebelumnya argumentasi itu sering dipakai Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), partai yang paling menolak pemilihan langsung presiden dalam reformasi konstitusi 1999-2002, tetapi sekarang justru paling pro pemilihan langsung untuk kepala daerah. Kini tokoh-tokoh Koalisi Merah Putih kerap mendendangkan lagu lama PDI-P itu menjelang penetapan RUU Pilkada. Setidaknya pernah dilontarkan Aburizal Bakrie, Fadli Zon, dan Khatibul Umam Wiranu.

Pernyataan politisi Gerindra, Ramson Siagian, ini setidaknya mewakili kubu yang melawan pilkada langsung: ”… pemilihan kepala daerah melalui DPRD itu sesuai dengan sila ke-4 dari Pancasila. Sementara pilkada langsung bertentangan dengan ajaran Bung Karno, terutama sila ke-4. Saya heran, kenapa elite-elite PDI-P yang sering mengklaim sebagai pengikut Bung Karno, kok, malah mengkhianati ajarannya.” (Pikiran Rakyat Online, 16/9/2014). Benarkah pemilihan langsung bertentangan dengan sila ke-4 Pancasila?

Dua tafsir

Sila ke-4 Pancasila berbunyi, ”Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.” Presiden Soekarno menyebut sila tersebut sebagai democracy ketika berpidato di depan Kongres AS (1956), pidato yang mengundang tepuk tangan gemuruh dan standing ovation wakil rakyat AS. Dikaitkan dengan ide demokrasi, setidaknya berkembang dua tafsir atas sila itu. Pertama, mereka yang mengaitkan sila ke-4 dengan lembaga politik yang ada: Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Tafsir kedua merujuk pada cara pengambilan keputusan dalam kedua lembaga tersebut khususnya dan praktik demokrasi Indonesia umumnya.

Merujuk pada cara pengambilan keputusan, kata permusyawaratan merepresentasikan upaya untuk musyawarah-mufakat terlebih dulu dalam setiap pengambilan keputusan, dan kata perwakilan menunjukkan pemungutan suara (voting) apabila musyawarah-mufakat tidak tercapai. Inilah kiranya perbedaan paling mendasar antara demokrasi di Indonesia dan demokrasi liberal negara Barat.

Jika kita baca risalah sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) ketika menyiapkan naskah UUD 1945, sangat jelas suasana anti demokrasi liberal tecermin di sana. Misalnya pernyataan Bung Karno pada sidang kedua BPUPKI, 15 Juli 1945, ”Maka oleh karena itu, jikalau kita betul-betul hendak mendasarkan negara kita kepada faham kekeluargaan, faham tolong-menolong, faham gotong royong dan keadilan sosial, enyahkanlah tiap-tiap pikiran, tiap-tiap faham individualisme dan liberalisme daripadanya.”

Itulah sebabnya, demokrasi di Indonesia lebih bercirikan pada konsensus (musyawarah-mufakat) ketimbang pengambilan keputusan dengan suara mayoritas. Namun, bukan berarti pengambilan suara dengan mayoritas tersebut hilang sama sekali. BPUPKI juga menerapkan voting apabila musyawarah-mufakat tidak tercapai. Salah satu yang divoting, misalnya, mengenai bentuk negara, apakah republik atau monarki. Meskipun mayoritas memilih republik, ternyata ada pula aspirasi yang menginginkan bentuk negara monarki.

Di UUD 1945 sendiri, Pasal 6 Ayat (2) UUD 1945 sebelum diamandemen menyatakan bahwa presiden dan wakil presiden dipilih MPR dengan suara yang terbanyak. Tidak disebutkan bahwa pemilihan presiden dan wakil presiden diupayakan untuk musyawarah-mufakat terlebih dulu, walaupun kemudian dalam praktik Orde Baru pasal tersebut tidak pernah dilaksanakan karena Soeharto terpilih sebagai presiden selalu dengan aklamasi dalam enam kali pemilihan oleh MPR (1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998)

Penjelmaan rakyat

Sebagaimana telah disebutkan, sila ke-4 Pancasila dianggap melahirkan MPR dan DPR. Pasal 1 Ayat (2)  UUD 1945 sebelum diamandemen berbunyi, ”Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.” Dalam UUD 1945 sebelum diamandemen, MPR ditempatkan sebagai lembaga tertinggi negara. Penjelasan Pasal 1 UUD 1945 menyatakan bahwa MPR adalah penyelenggara negara tertinggi yang dianggap sebagai penjelmaan rakyat yang memegang kedaulatan negara. Hal yang sama juga dikatakan Bung Karno dan Soepomo dalam sidang-sidang BPUPKI. 

Karena MPR dipersonifikasikan sebagai rakyat, itulah yang kemudian menyebabkan lembaga ini diberikan kekuasaan memilih presiden dan wakil presiden. Pemilihan oleh MPR adalah pemilihan oleh rakyat itu sendiri karena MPR adalah penjelmaan rakyat. Sebagai penjelmaan rakyat, MPR melaksanakan sepenuhnya kedaulatan rakyat, termasuk kedaulatan memilih pemimpin rakyat yang bernama presiden/wakil presiden.

Namun, ketika MPR tidak lagi dijadikan sebagai penjelmaan rakyat sebagai akibat perubahan Pasal 1 Ayat (2), konsekuensinya lembaga ini tidak lagi memiliki kewenangan memilih pemimpin rakyat. Pasal 1 Ayat (2) tersebut berbunyi, ”Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.”

Yang perlu dicatat dari klausul pemilihan presiden oleh MPR adalah MPR dikatakan sebagai penjelmaan rakyat. Jadi, MPR adalah rakyat dan rakyat adalah MPR. Pancasila sebagaimana dipidatokan Bung Karno pada 1 Juni 1945 sama sekali tidak memberikan kewenangan atau kekuasaan memilih pemimpin rakyat kepada wakil rakyat (DPR). Hanya penjelmaan rakyat (MPR) yang dapat memilih pemimpin rakyat.

Jadi adalah keliru mereka yang beranggapan bahwa pemilihan oleh DPRD lebih sesuai dengan sila ke-4 Pancasila. DPRD tidak bisa dianalogikan sebagai MPR di tingkat lokal. DPRD hanya cocok apabila diidentikkan dengan DPR.

Dan DPR dalam tafsir Pancasila versi sebelum perubahan UUD 1945 juga tidak memiliki kewenangan untuk memilih pemimpin rakyat. Hanya MPR sebelum perubahan UUD 1945 yang memiliki kewenangan itu karena MPR dianggap rakyat itu sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar