Pilkada
dan Daulat Elite
Yunarto Wijaya ;
Direktur
Riset Charta Politika
|
KOMPAS,
11 September 2014
ARGUMENTASI
yang mendukung pelaksanaan pemilihan kepala daerah melalui DPRD (pilkada
tidak langsung) terbantahkan. Jika dirangkum, pendapat akademisi dan pegiat
demokrasi pada intinya menyatakan, pertama, praktik politik uang masih akan
berlangsung; penerimanya saja yang berbeda. Kedua, kekhawatiran meluasnya
konflik sosial tidak didukung fakta-fakta lapangan yang kuat, hanya sebagian
kecil pilkada yang berujung amuk massa; di beberapa pilkada memang ada terasa
ketegangan antarkelompok masyarakat, tetapi langsung tak berbekas begitu
pilkada usai. Ketiga, kerisauan mengenai biaya politik bisa disiasati dengan
berbagai aturan, salah satunya mengenai pembatasan dana kampanye.
Sebaliknya,
argumentasi yang mendukung keberlanjutan gagasan pilkada langsung tidak
tersanggah dengan baik. Yang paling pokok, tentu saja, apa dasar filosofis yang
mengesahkan partisipasi rakyat harus dikebiri, terutama dikaitkan dengan
proses pendewasaan demokrasi di Tanah Air. Terlebih temuan sejumlah lembaga
survei telah menegaskan sikap rakyat yang lebih mendukung pelaksanaan pilkada
langsung. Jika para elite politik mendaku sebagai penyuara suara rakyat,
bagaimana mereka bisa menjelaskan tindakan yang justru mengabaikan kehendak
rakyat?
Manfaat pilkada
langsung
Terlepas
dari berbagai kekurangannya, pilkada langsung telah menghadirkan sosok-sosok
pemimpin baru. Figur-figur seperti Jokowi, Ahok, Ridwan Kamil, Tri
Rismaharini, Nurdin Abdullah, dan belakangan juga Bima Arya—untuk menyebut
beberapa nama—mampu membangkitkan harapan rakyat dan memberikan warna baru
dalam proses pembangunan di wilayahnya masing-masing. Sosok-sosok ini nyaris
mustahil tampil menjadi pemimpin publik jika pilkada dilakukan secara tak
langsung alias melalui DPRD.
Di
beberapa daerah, pilkada langsung memang jadi pintu masuk berkecambahnya
politik dinasti. Fenomena ini untuk sebagian kasus bisa dipahami ketika
mempertimbangkan faktor figur dan konteks sosiologis masyarakatnya. Namun,
secara umum, politik dinasti menerbitkan kekhawatiran, terutama mengenai
kemajuan pembangunan di daerah tersebut. Akan tetapi, melalui pilkada tidak
langsung yang bakal terjadi akan jauh lebih destruktif: politik kronisme yang
bersinergi dengan kebutuhan para cukong. Pilkada tak langsung memudahkan dan
meminimalkan biaya cukong untuk memenangkan calon-calon kepala daerah yang
bersedia menghamba pada kepentingan bisnisnya.
Proses
belajar berdemokrasi langsung selama sembilan tahun terakhir telah makin
mendewasakan proses berdemokrasi. Hiruk-pikuk pilkada tak lagi terlalu
memengaruhi aktivitas rutin ekonomi, budaya, dan sosial masyarakat. Sebagian
besar masyarakat telah menganggap pilkada sebagai aktivitas biasa. Ini harus
dibaca sebagai semakin memudarnya mitos pemilu (baca: pilkada) sebagai
kejadian luar biasa dan memerlukan kewaspadaan serta atensi yang tinggi
dengan segala bumbu proses pengamanannya, sebagaimana dikonstruksi Orde Baru.
Sebagai
pemilih, rakyat telah kian merasakan manfaat praktis pilkada. Sebagaimana
disebut Powell (2000), pemilih melakukan evaluasi atas kinerja petahana.
Ketakpuasan (mungkin juga ketaksukaan) terhadap petahana ditunjukkan dengan
cara memilih penantang meski memahami penantang dimaksud belum teruji
kompetensinya sesuai tantangan pembangunan di daerahnya. Kemenangan Jokowi
dalam Pilgub Jakarta 2012 sebagian bisa dijelaskan menurut pendekatan ini.
Namun,
dalam banyak pilkada lain, rakyat menunjukkan fenomena ”choosing a good type”
(Fearon, 1999). Rakyat melakukan interaksi antara menyeleksi kinerja dan juga
mempertimbangkan integritas dan lebih selaras dengan preferensi publik.
Dengan kata lain, sebagai pemilih, rakyat menyadari sulitnya menemukan
”superhero” atau sang ”satrio piningit”. Fenomena ini sebagian bisa
menjelaskan kemenangan petahana yang kinerjanya sempat diragukan, sebagaimana
dalam kasus kemenangan Aher-Deddy di Pilgub Jabar 2013 misalnya.
Bangkitkan kesadaran
elite?
Pilkada
langsung juga memberikan peluang bagi partai politik untuk mengasah
keterampilan dan melakukan konsolidasi internal hingga tingkat akar rumput.
Momen pilkada jadi momen antara di antara dua pemilu legislatif (dan
presiden). Hanya saja sebagian besar parpol masih memanfaatkannya secara
formal-legalistik melalui proses musyawarah/rapat kerja yang melibatkan
pengurus tingkat bawah dalam menentukan calon kepala daerah yang mau diusung.
Sejauh pengamatan, baru PKS-lah yang memanfaatkan momen pemilu (pilkada)
untuk memperkuat jejaring kerja kadernya ke konstituen.
Dengan
berbagai penjelasan di atas, cukup beralasan
jika perubahan sikap sejumlah parpol yang tiba-tiba kembali mengusung
gagasan pilkada tak langsung menimbulkan spekulasi. Media massa mengasosiasikan
parpol-parpol pengusung gagasan pilkada tak langsung ini dengan Koalisi Merah
Putih. Karena itu, upaya mewujudkan
pilkada tak langsung pun dimaknai sebagai salah satu ”medan pertempuran”
dalam konteks melanjutkan kontestasi Pilpres 2014 secara permanen lima tahun
ke depan. Ini senapas dengan gagasan pembentukan pansus pilpres.
Terlepas
dari spekulasi di atas, adakah pendorong lain yang membuat elite-elite parpol
dari Koalisi Merah Putih merasa penting untuk mengembalikan pilkada secara
tidak langsung, yang notabene menjadi momen mementahkan proses pendewasaan
berdemokrasi di Tanah Air?
Meski
tak terkatakan secara eksplisit, ada kesan kuat pokok gagasan menolak pilkada
langsung merupakan upaya memelihara kesinambungan perkauman para elite lama.
Elite lama dicirikan dari sikap ketakpercayaan terhadap kompetensi rakyat.
Ketidakpercayaan ini bersumber dari pendapat bahwa rakyat adalah kumpulan
orang yang tidak mengerti, tidak memiliki pengetahuan, mudah dipengaruhi,
dimanipulasi, mudah dibujuk/disuap, tak punya visi, dan seterusnya. Intinya,
rakyat seakan dianggap sebagai kumpulan orang ”bodoh” yang butuh arahan dan
pencerahan dari elite. Bagi mereka, rakyat adalah kumpulan domba yang perlu
dituntun dan bukannya yang memimpin. Cara berpikir ini sebangun dengan
pernyataan Prabowo yang sempat berkata, ”singa tidak mungkin dipimpin oleh
kambing”.
Ketidakpercayaan
ini juga diimbuhi keengganan yang luar biasa karena pilkada langsung akan
mengusik hegemoni elite lama. Pilkada dan juga pilpres telah membuka pintu
bagi hadirnya orang-orang baru yang bukan berasal dari kalangan elite.
Penolakan ini memang tak terucap secara eksplisit. Namun, dalam perbincangan
informal, letupan-letupan pernyataan yang mewakili sikap ini mungkin sudah
sering kita dengar. Ungkapan, ”Masak muka begitu jadi presiden” atau ”Dia itu
siapa?” merepresentasikan sikap ini.
Logika parpol
pengusung
Kesadaran
elite yang terusik membangkitkan harga diri dan memori masa lalu di mana
”politik” sudah semestinya menjadi urusan para elite. Kalah-menang dalam
pertarungan politik dianggap tak lebih sebagai pertandingan tenis. Sebab,
pemenang atau yang kalah berasal dari kaum yang sama dan karena itu
diasumsikan semua urusan lainnya, terutama bisnis, tetap bisa berjalan
business as usual.
Dari
enam parpol pendukung kembali gagasan pilkada tidak langsung, tiga di
antaranya bisa dipahami. Golkar dan
PPP yang lama tumbuh di era Orde Baru adalah turunan dari sistem yang
memelihara hegemoni politik melalui MPR (presiden) dan DPRD (kepala daerah). Gerindra,
sebagaimana disebut Prabowo, tak lain merupakan partai yang memang lahir dari
rahim Golkar. Yang sulit dipahami justru sikap PAN, Partai Demokrat, dan PKS.
PAN
menahbiskan dirinya sebagai partai reformis. Sebagai partai reformis, PAN
ingin mengubah politik jadi ruang terbuka dan demokratis sebagai antitesis
demokrasi seolah-olah di era Orde Baru. Kengototan mengusung gagasan pilkada
tidak langsung jelas menimbulkan pertanyaan. Jika dikaitkan dengan konteks
Koalisi Merah Putih, jadi pertanyaan besar apakah mungkin PAN memang hendak
jadi pihak yang berperan dalam memundurkan partisipasi politik rakyat atau
mereka tengah tersandera perjanjian dengan Prabowo?
Demokrat
(dalam hal ini SBY) sudah merasakan betul manfaat pemilu langsung. SBY mampu
memenangi Pilpres 2004 setelah harus menerima kenyataan tersingkir dalam
”kontestasi elite” memperebutkan posisi wakil presiden ketika Megawati
Soekarnoputri jadi presiden menggantikan Gus Dur pada 2001. Bahwa kemudian calon-calon Demokrat kerap
gagal dalam pilkada dalam lima tahun terakhir, mestinya justru jadi evaluasi
internal. Terutama menyangkut pilihan-pilihan kandidat yang mereka sorongkan
dan bukannya justru mengebiri partisipasi politik rakyat. Lagi pula, ini akan
menjadi ”tinta merah” ketika publik mengenang SBY dalam lintasan sejarah
republik ini.
PKS
adalah partai yang sebelumnya ikut mendukung pilkada langsung, tetapi
akhirnya ikut mengubah pilihan menjadi serupa dengan sikap Koalisi Merah
Putih. Sebuah langkah mengejutkan mengingat PKS, selain lahir sebagai partai
Orde Reformasi, juga partai yang dianggap berhasil membangun sistem saksi
dalam pilkada langsung. Orang lalu bisa bertanya, apakah ada kaitan antara
dukungan terhadap sistem pilkada zaman Orde Baru dan ide menjadikan Soeharto
sebagai pahlawan?
Karena
itu, pilihan Koalisi Merah Putih yang bersikeras mengusung pilkada untuk
dikembalikan ke DPRD dapat dibaca sebagai bentuk perlawanan kaum elite.
Itulah contoh momen perjuangan untuk mengembalikan ”daulat elite” dan
sekaligus mengakhiri ”daulat rakyat”. Jika pilkada bisa dikembalikan menjadi
tidak langsung, target selanjutnya bukan tak mungkin mengubah kembali pilpres
menjadi pemilihan di tingkat MPR.
Apakah
Indonesia akan mengalami kemunduran berdemokrasi secara sistematis? Terlalu
dini menjawabnya. Yang sudah pasti, publik harus diingatkan dan digugah
kembali untuk menyatakan sikapnya. Para elite politik memerlukan sebuah
penolakan yang tegas. Ketika mereka membaca rakyat mudah diakali, pilkada tak langsung akan menjadi kenyataan
politik Indonesia dalam tahun-tahun mendatang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar