Peta
Samuel Mulia ;
Penulis Mode dan Gaya Hidup, Penulis Kolom “Parodi” di
Kompas
|
KOMPAS,
31 Agustus 2014
ENTAH
kenapa, belakangan ini kesehatan saya seperti gempa yang meluluhlantakkan.
Setelah kena prostatitis yang tak berkesudahan, serangan alergi pendingin
ruangan yang membuat hidung mampet dan susah bernapas datang menghampiri.
Jangka waktu terjadinya kedua penyakit itu tak membutuhkan waktu lama. Sampai
saya kelelahan.
Terseok
Beberapa
hari lalu, saya bersama lima teman berjalan-jalan ke Kebun Binatang Ragunan
dalam rangka ulang tahun salah satu sahabat kami. Tak lama setelah semangat
saya yang berapi-api menyala karena sudah lama sekali tak mengunjungi area
seluas sekian hektar itu, saya mulai kelelahan berjalan dan napas saya
seperti habis mengikuti lomba lari sekian kilometer.
Melihat
kondisi itu, sahabat kami yang berulang tahun menyarankan saya untuk
beristirahat saja. ”Mas, kamu tu jalannya sudah terseok-seok, istirahat aja,
jangan dipaksain.” Saya kemudian mengikuti sarannya untuk beristirahat. Duduk
di bawah sebuah pohon yang rindang meski udara sore itu panasnya seperti
berdiri di depan kompor.
Terseok-seok.
Itu ungkapan yang merindingkan bulu roma, terutama buat saya yang tak pernah
mencicipi rasanya terseok itu. Sekarang, selain terseok berjalan, saya juga
tak kuat lagi berdiri dari posisi jongkok.
Saya
harus memegang sesuatu atau mencari bantuan untuk berdiri kembali. Menaiki
tangga bahkan yang tak terlalu tinggi saja, saya juga sudah kelelahan. Tentu
saya memutuskan memeriksakannya ke dokter meski ada di antaranya yang salah
mendiagnosis.
Ketika
saya menyaksikan teman-teman saya berjalan tanpa henti di kebun binatang itu,
sambil ditimpali tawa tergelak, yang tak membersitkan kelelahan sedikit pun,
tebersit di hati saya perasaan rindu yang sangat akan kekuatan yang dahulu
pernah saya miliki di masa semuda mereka.
Kalau
dimisalkan siklus hidup sebuah produk, kondisi kesehatan saya telah mencapai
puncak dan akan datang masanya untuk menuruninya. Kalau dalam sebuah produk,
maka akan ada teknik-teknik agar produk itu diharapkan akan selalu tetap di
puncak.
Seandainya
saya sebuah produk, saya akan me-re-branding
atau me-re-positioning diri. Sayang
saya ini bukan produk. Usaha untuk dapat bertahan di puncak adalah dengan
pergi ke dokter, menjaga asupan, berolahraga, dan berdoa. Tetapi usaha itu
telah membuat seorang dokter mengatakan, ”Kenapa ya kamu ini. Jantungnya
bagus, tekanan darahnya bagus. Kok, bisa kayak gini.”
Menang
Beberapa
hari setelah berjalan-jalan di kebun binatang itu, saya kembali ke dokter.
Singkat cerita, saya terkena hydronephrosis. Gempa yang tadinya sudah terasa
meluluhlantakkan, sekarang seperti gempa yang lebih dari tektonik rasanya.
Di
dalam mobil teman yang membawa saya pulang ke rumah, saya terdiam, tak bisa
berpikir apa pun. Melihat Jakarta dalam malam, seperti tak melihat apa-apa.
Bahkan teman yang membawa saya pulang seperti terasa tak berada di dalam
mobil.
Kemudian
beberapa hari setelah itu, saya membaca buku. Dituliskan bahwa untuk sukses,
untuk dapat meraih masa yang gemilang, seseorang harus memiliki peta. Dan,
peta yang digunakan harus up-to-date.
Kita tak bisa meraih kesuksesan hari ini dengan peta buatan tahun 1997.
Sejak
saya diizinkan lahir di dunia ini, saya tak pernah membuat peta kesehatan.
Gobloknya, saya ini berpikir kalau saya bisa sehat senantiasa. Saya itu tak
pernah tahu kalau ginjal saya tumbuh di bawah pusar.
Sayangnya,
beberapa penyakit lebih memilih diam sejuta bahasa, yang tak mau ”berbicara”
di stadium dini, di stadium tanpa gejala, di stadium seorang dokter bisa jadi
mengatakan tak ada apa-apa, dan yang menyebabkan seseorang berpikir bahwa ia
sehat-sehat saja. Penyakit yang menyesatkan sebuah peta.
Maka
terlintas di kepala, apakah ketika saya membuat sebuah peta, seyogianya
diselaraskan dengan peta buatan Yang Maha Kuasa untuk saya? Jadi, hasilnya
bukan dua buah peta yang berbeda. Saya membuat peta ke kiri, Tuhan memilihkan
peta untuk saya ke kanan.
Dua
puluh empat jam sebelum saya mengirimkan tulisan ini ke meja redaksi, saya
memutuskan membuat peta 2014 yang tak akan memiliki masa kedaluwarsa, yang
akan bisa digunakan di sepanjang masa.
Saya
tak memutuskan untuk menyelaraskan peta saya dengan peta yang Tuhan buat
untuk saya. Saya meniadakan peta saya dan hanya mengikuti peta Yang Maha
Kuasa untuk saya saja. Dari manakah saya tahu bahwa itu peta untuk saya?
Anda
tahu ungkapan tak kenal maka tak sayang, bukan? Nah, syarat pertamanya, harus
sayang dengan yang Maha Kuasa. Sayang yang saya maksud adalah memahami dengan
sepenuh hati bahwa Yang Maha Kuasa itu berhak untuk memberi dan Ia berhak
untuk mengambilnya kembali dengan cara apa pun.
Pemahaman
membuahkan sebuah kemenangan dalam perjalanan yang penuh dengan gempa, tanpa
meluluhlantakkan jiwa. Sekarang, saya bisa melihat Jakarta dalam malam
seperti yang sesungguhnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar