Peneguhan
Politik Kebangsaan
Muhammadun ; Analis Studi Politik pada
Program Pascasarjana UIN Yogyakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 02 September 2014
MUKTAMAR Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB) pada 31 Agustus-1 September menyepakati terpilihnya
kembali KH Abdul Aziz Mansyur sebagai Ketua Umum Dewan Syuro dan A Muhaimin
Iskandar sebagai Ketua Umum Dewan Tanfidz periode 2014-2019. Kedua tokoh itu
teruji mampu membawa PKB melewati masa konflik menuju konsolidasi internal
partai. Pemilu 2014 merupakan bukti nyata kedua tokoh tersebut mampu membawa
PKB sebagai partai Islam dengan suara tertinggi dalam pemilu legislatif, 9
April lalu.
Sepanjang berdirinya, PKB diuji sejarah dengan berbagai konflik. Sepanjang konflik itulah, PKB seharusnya mengambil pelajaran untuk merevitalisasi peran politiknya dalam pembangunan demokratisasi di Indonesia.Didirikan sebagai `anak kandung' PBNU, arah politik PKB tidak bisa dilepaskan dari jalan perjuangan NU dalam memperjuangkan Islam di Indonesia. Konstituen PKB paling utama ialah warga NU (nahdliyyin), sehingga suara nahdliyyin selalu menjadi target utama PKB dalam se tiap pemilu.
Karena berbasis
konstituen warga NU inilah, PKB disebut juga sebagai partai Islam walaupun
dalam asasnya, PKB ialah partai inklusif, terbuka bagi siapa saja, termasuk
nonmuslim. Ini berbeda dengan PKS, PPP, dan PBB yang dalam AD/ART menjadikan
Islam sebagai asas utama, di samping Pancasila. Walaupun tidak berasaskan
Islam, PKB merupakan manifestasi strategi politik umat Islam (NU) untuk
merealisasikan nilai-nilai Islam dalam membangun sistem yang islami demi
terwujudnya masyarakat yang berkeadilan.
Jalan politik PKB
dalam memperjuangkan nilai-nilai Islam tidak mengharuskan Islam menjadi aturan
formal dalam bernegara. PKB tidak menghendaki negara Islam karena negara
Pancasila sudah dikatakan sebagai `darul Islam', yakni ajaran Islam bisa
dilaksanakan dan nilainilai Islam bisa diaplikasikan tanpa ada paksaan dan
hambatan. Ini sudah ditegaskan para pendiri NU seperti KH A Wahid Hasyim
ketika menerima Pancasila sebagai dasar negara, juga ditegaskan Muktamar NU
yang ke-27 (1984) di Situbondo.
Tiga prinsip
Sang ideolog PKB, KH Abdurrahman
Wahid (Gus Dur), merupakan sosok paling berpengaruh da lam jejak ideologi
politik yang dibangun PKB. Bagi Gus Dur, nilai funda mental Islam berkisar
pada demokrasi (al syura),
kesetaraan (al-musawah), dan
keadilan (al-adl). Tiga prinsip itulah
yang akan menjadi spirit negara dalam menjalankan roda pemerintahannya.
Ketiga prinsip itu digunakan untuk membangun masyarakat yang berkeadilan. PKB
lahir untuk mewujudkan itu, bukan terjebak dalam formalitas agama dalam
negara.
Prinsip politik Gus
Dur itu sejatinya selaras dengan Muhammad Natsir dalam kapita selekta yang
berpendapat bahwa titel khalifah tidak menjadi syarat mutlak da lam
pemerintahan Islam, bukan conditio sine
qua non. Akan tetapi, orang yang diberi kekuasaan memimpin negara mampu
bertindak secara bijaksana dan menjalankan hukum-hukum Islam sebagaimana
mestinya dalam tatanan kenegaraan, baik secara kaidah maupun praktik. Bagi
beliau, syarat menjadi pemimpin negara Islam ialah agama, sifat, akhlak,
tabiat, dan kecakapannya dalam memegang kekuasaan yang diamanahkan kepadanya.
Ibn Taimiyyah dalam Majmu' Fatawa-nya juga melihat bahwa
pemerintahan yang ideal dalam Islam pada dasarnya dibangun karena ada
cita-cita bersama untuk mencapai kemaslahatan dan menghindarkan kemafsadatan, bukan pemerintahan yang
dibangun atas dasar superioritas dan primordialisme Islam. Atas dasar itu,
bahkan Ibn Taimiyyah mengatakan, “Allah akan menolong negara yang berkeadilan
meskipun (diisi oleh) nonmuslim, dan tidak akan menolong negara yang zalim
meskipun (diisi oleh) muslim.“
Sementara itu, Ibn
Qayyim dalam I'lamul Muwaqqi'in,
yang mengutip pendapat Abu al-Wafa' Ibn Aqil, melihat bahwa dalam wilayah
politik, syariat Islam sebenarnya tidak pernah menentukan bentuk pemerintahan
atau sistem politik tertentu, tetapi hanya memberi landasan moral dan
beberapa etika khusus yang sebenarnya berasal dari nilai universal dalam
berpolitik.
Dari sinilah, aksi
partai Islam dalam jejak sejarah politik Indonesia tak pernah memaksakan
lahirnya negara agama karena politik hanya strategi, tujuannya ialah masyarakat
yang berkeadilan dalam segala hal. Bagi Luthfi Assyaukani (2011), isu negara
Islam hanyalah retorika politik. Itu dibuktikan praktik demokrasi pada Orde
Lama yang justru mencapai puncaknya di tangan perdana menteri perdana menteri
umat Islam seperti Mohammad Natsir, Sukiman, dan Burhanuddin Harahap. Herbert
Feith (1962) menyebut pemerintahan Natsir ialah yang terbaik pada masa
demokrasi konstitusional di era Orde Lama. Pemilihan umum bahkan dilakukan
pertama kali pada masa pemerintah Burhanuddin Harahap.
Peneguhan
Dalam kerangka inilah,
PKB sebagai partai berbasis massa nahdliyyin yang mengusung jargon `politik rahmatan lil'alamin' harus mampu
menjadikan nilai-nilai Islam dalam meneguhkan politik kebangsaan di
Indonesia. Potensi massa Islam harus dijadikan PKB untuk meneguhkan Indonesia
sebagai harapan pemimpin dunia Islam masa depan, yakni dengan mengajak umat
Islam bekerja keras sebagai umat terbaik dari segi prestasi di semua bidang,
ekonomi, pendidikan, politik, peradaban, militer, teknologi, moral, dan perta
hanan keamanan sehingga umat bangsa ini berwibawa di hadapan negara lain.
Jika PKB mampu
merealisasikan mimpi politik kebangsaan umat Islam negeri, jargon `politik
rahmatan lil'alamin' harus diterjemahkan prinsip amanah dan keadilan. Itu
sesuai dengan QS al-Nisa ayat 58. Nilai utama yang mendasari perjuangan ialah
semangat mengemban amanah dan melaksanakan mandat rakyat dengan keadilan.
Amanah dan keadilan itu untuk menggapai tujuan kemaslahatan publik. Kebijakan
politik yang dijalankan PKB harus selalu berorientasi mencapai kemaslahatan
rakyat, bukan kepentingan elite dan kelompok warga NU saja. Ini sesuai dengan
kaidah fikih `kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya harus didasarkan
pada kemaslahatan'.
Kemaslahatan PKB
kepada rakyat harus bertumpu pada kesejahteraan sosial. Bagi Gus Dur, rahmatan lil'alamin ialah
kesejahteraan bagi semesta. Gus Dur melihat kasih (rahmah) mungkin bersifat
abstrak, sedangkan Islam ialah agama hukum yang memiliki kadar politik. Maka,
makna rahmah yang dipilih ialah kesejahteraan yang meniscayakan pemerintahan
demokratis yang mampu menyejahterakan.
Pemerintahan
demokratis pertama-tama diwujudkan dengan kepedulian atas kaum miskin,
selayak titah Al-Baqarah:177. Kepedulian itu lahir, bagi Arif (2013), dari
pemuliaan Islam atas martabat manusia (QS 2:32), sehingga tujuan utama dari
syariat Islam (maqashid alsyari'ah)
sendiri ialah perlindungan terhadap hak-hak dasar manusia (al-kulliyat al-khamsah). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar