Pemilukada
yang Konstitusional, Demokratis dan Efisien
Ahmad Yani ;
Wakil
Ketua Fraksi PPP DPR RI
|
KORAN
SINDO, 12 September 2014
Pro-kontra
pemilihan kepala daerah oleh DPRD atau langsung oleh rakyat menunjukkan
proses berdemokrasi yang sehat. Perbedaan pendapat tersebut bukan merupakan
langkah mundur, tetapi menjadi musyawarah untuk perbaikan kehidupan
berdemokrasi yang efektif dan efisien, serta bebas dari korupsi, kolusi, nepotisme
dan politik dinasti. Selain itu, konstitusi tidak pernah mengharuskan adanya
pemilukada langsung.
Di
dalam Pasal 18 ayat 4 Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan, “Gubernur, bupati, dan wali kota
masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota
dipilih secara demokratis." Pemilihan norma dasar berbentuk frase “dipilih secara demokratis” ini
berbeda dengan sistem pemilihan anggota DPRD, yang disebut konstitusi “dipilih melalui pemilihan umum”.
Pasal
18 Ayat 3 berbunyi, “Pemerintah daerah
provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki dewan perwakilan rakyat daerah
yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.”
Dua
ayat dalam konstitusi tersebut membuktikan sistem pemilihan kepala daerah dan
DPRD bersifat asimetris. Norma dasar untuk pemilihan kepala daerah dan DPRD
berbeda, sehingga sistem pemilukada dan pemilihan anggota DPRD juga
seharusnya berbeda.
Bila
pemilukada dijalankan dengan metode seperti pemilihan umum, yang langsung
dilakukan oleh rakyat, norma untuk pemilukada dan pemilihan anggota DPRD
dalam UUD akan diatur dalam satu ayat yang sama. Ayat tersebut berbunyi
misalnya, “Gubernur, bupati, dan wali kota masing-masing sebagai kepala
pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota, serta anggota dewan perwakilan
rakyat daerah dipilih melalui pemilihan umum.”
Pemilukada
juga seharusnya sejak dulu tidak dimasukkan dalam rezim pemilu karena batasan
pemilu yang konstitusional telah dirumuskan dalam UUD 1945 Pasal 22E ayat 2
bahwa, “Pemilihan umum diselenggarakan
untuk memilih anggota dewan perwakilan rakyat, dewan perwakilan daerah,
presiden dan wakil presiden, dan dewan perwakilan rakyat daerah.”
Konstitusi tidak memasukkan kepala daerah sebagai objek pemilihan umum, yang
dipilih langsung oleh rakyat.
Dapat
dinyatakan pemilukada langsung selama ini bertentangan atau
sekurang-kurangnya tidak sejalan dengan konstitusi. Pemilukada langsung tentu
membawa manfaat, tetapi juga mengandung mudarat. Manfaatnya adalah rakyat
berkesempatan memberikan suara secara langsung. Tetapi, manfaat ini menjadi
kabur karena sesudah pemilukada berlangsung, rakyat tidak berkesempatan
mengoreksi dan memperbaiki pemda secara langsung.
Pada
sebagian daerah, partisipasi politik pasca pemilukada memang dihargai dan
diberi ruang yang luas. Beberapa kepala daerah melakukan blusukan, mencari
tahu suara hati rakyat dan situasi kehidupan mereka. Beberapa yang lain
membuka ruang di radio dan televisi daerah, membuat ajang urun rembuk setiap
pekan, bahkan memanfaatkan jaringan seluler dan internet untuk menjalankan
komunikasi publik.
Mereka
berhasil menyapa rakyatnya dan dipuji karena kinerjanya memenuhi harapan
publik. Akan tetapi, mereka bagus berkomunikasi bukan karena sistemnya yang
baik, melainkan karena orangnya yang terdidik, berintegritas tinggi dan mau
berbagi dengan rakyat. Padahal, suatu sistem yang baik akan dapat
melestarikan yang baik-baik, sementara jika pemimpinnya saja yang baik maka
belum tentu kebaikan itu berlanjut setelah dia tidak menjabat.
Pada
sebagian besar daerah, hubungan langsung antara kepala daerah dan rakyat
pascapilkada baru sebatas mimpi. Kepala-kepala daerah justru menjadi
raja-raja kecil, yang begitu berkuasa dan susah dijangkau oleh rakyatnya.
Bahkan, mereka pun susah untuk berkomunikasi dengan partai-partai yang
mengusungnya, sehingga di banyak kasus terjadi pecah kongsi. Ini indikasi
lain dari adanya mudarat pemilukada langsung.
Hal
yang lebih memusingkan kepala adalah sekali mereka terpilih, dinasti baru
tercipta. Mereka dapat berkuasa dua periode, tetapi mereka dapat
melanjutkannya lagi melalui istrinya, anaknya, atau dirinya menjadi wakil
kepala daerah. Mereka pun dapat berbagi ruang kekuasaan publik bagi
keluarganya di beberapa kabupaten/kota di suatu provinsi. Ini bukan hanya
terjadi di Provinsi Banten, tetapi juga daerah-daerah lain.
Dapat
dinyatakan bahwa pemilukada langsung memberikan kesempatan tumbuhnya kembali
nepotisme dan politik dinasti, yang justru ingin dikubur oleh reformasi dan
demokrasi. Produk pemilukada lewat DPRD juga
bagus, meski seperti produk pemilukada langsung, tidak semuanya bagus.
Contohnya adalah Bang Ali Sadikin, produk pemilihan DPRD.
Pertimbangan strategis lain untuk
melakukan perubahan sistem pemilukada adalah efisiensi. Bayangkan, jika
diasumsikan biaya pemilukada sembilan provinsi besar (Jatim, Jabar, Jateng,
Sumut, Sulsel, Banten, Sumsel, Lampung, dan DKI Jakarta) rata-rata Rp750
miliar, sedangkan 25 provinsi lainnya rata-rata Rp500 miliar, lalu ditambah
sekitar 500 kabupaten/kota dengan biaya rata-rata Rp50 miliar, maka total
biaya pilkada langsung itu mencapai Rp44,25 triliun!
Ini
merupakan penghematan APBN dan APBD yang sangat besar sehingga kita dapat
mengurangi beban fiskal tanpa menaikkan harga BBM, elpiji, dan tarif listrik
secara rutin. Penghematan akan semakin besar jika dihitung biaya kampanye
dari setiap pasangan calon. Bila setiap pasangan menghabiskan Rp10 miliar,
dan ada tiga pasangan calon pada setiap pemilukada langsung, maka
sekurang-kurangnya ada biaya tambahan lebih dari Rp16 triliun.
Dengan
demikian, pemilukada langsung seluruh Indonesia menelan biaya lebih dari Rp60
triliun! Bahkan, jika pemilukada berlanjut ke Mahkamah Konstitusi,
biaya-biaya itu membengkak, baik anggaran APBN untuk MK, pembiayaan perkara
oleh masing-masing pihak, dan besarnya kemungkinan biaya sosial, seperti
kerusuhan.
Jika
pemilukada dilakukan oleh DPRD, biayanya diperkirakan tidak sampai
sepersepuluhnya, sehingga anggaran yang dapat dihemat dapat disalurkan ke
bidang kesejahteraan rakyat. Bila ada kekhawatiran praktik suap-menyuap dalam
pemilukada melalui DPRD, maka KPK, Kepolisian RI dan Kejaksaan RI tinggal
menjalankan praktik penyelidikan mendalam, termasuk penyadapan bila ada
indikasi tersebut.
Lagi
pula, PPATK dapat membantu fungsi pencegahan. Lembaga-lembaga tersebut dapat
menjalankan tugasnya secara efektif karena yang diawasi hanya puluhan orang
anggota DPRD dan pimpinan partai. Di sisi lain, mayoritas produk pemilukada
langsung bermasalah secara hukum. Sekitar 60 persen dari kepala daerah
diproses hukum oleh Polri, Kejaksaan RI dan KPK.
Banyaknya
kepala daerah yang tersangkut hukum karena mereka harus menanggung beban
kampanye yang sangat besar, yang harus dikembalikan pada masa
kepemimpinannya. Bagi Partai
Persatuan Pembangunan (PPP), pengembalian sistem pemilukada ke jalur yang benar dan
konstitusional sudah dipikirkan
sejak Mukernas PPP 2010 di Medan. Mukernas merekomendasikan pemilukada
dilakukan oleh DPRD.
Karena
itu, tudingan perubahan
sistem pemilukada menjadi konstitusional ini karena kepentingan politik jelas
berlebihan. Jauh sebelum terbetik di dalam
pikiran adanya Koalisi Merah Putih, koalisi permanen dan Pilpres 2014, PPP
sudah mengusulkannya demi kemaslahatan bangsa Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar