Pembajakan
Demokrasi
Achmad Maulani ;
Kandidat
Doktor di Universitas Indonesia
|
SUARA
MERDEKA, 15 September 2014
TIDAK
dapat dimungkiri bahwa gagasan diadakannya pemilihan umum kepala daerah
(pilkada) secara langsung disemangati oleh realitas empiris seringnya terjadi
pembajakan kekuasaan rakyat oleh sebagian wakilnya di DPRD. Fakta juga
menunjukkan bahwa anggota DPRD kerap melakukan transaksi politik jangka
pendek dengan para calon. Konsekuensinya, calon yang mereka pilih tidak
sesuai dengan kehendak konstituen.
Dalam
konteks itu, kemunculan demokratisasi di daerah, salah satunya melalui
pemilihan kepala daerah secara langsung, diharapkan tak hanya memiliki muara
berupa kebebasan rakyat dalam menentukan pemimpinnya sendiri, tapi diharapkan
bisa melahirkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat di daerah.
Dalam
wacana demokrasi, pilkada langsung berarti memberi kesempatan lebih luas
kepada masyarakat untuk terlibat dalam berbagai proses politik. Lewat cara
itu, rakyat memiliki keleluasaan menentukan pemimpin terbaik bagi mereka.
Pada akhirnya, kepala daerah yang terpilih mampu membuat kebijakan-kebijakan
yang tepat untuk percepatan pembangunan di daerah.
Gagasan
pentingnya pilkada secara langsung didasari argumen bahwa demokrasi pada
dasarnya lebih dari sekadar hitungan kepala, meminjam istilah Saward (2005).
Lebih jauh, demokrasi harus melibatkan perbincangan yang berbasis pada
persamaan dan inklusivitas, adanya kesadaran mengenai kepentingan orang lain,
dan adanya kesempatan untuk bisa berperan aktif di ranah-ranah publik.
Pada
titik itulah sebetulnya pelaksanaan pilkada secara langsung, entah itu berupa
pemilihan gubernur atau bupati/wali kota merupakan bagian dari proses
pelembagaan demokratisasi di Indonesia. Pasalnya, sebagaimana dikatakan Brian
C Smith (1998) bahwa terbangunnya demokrasi di daerah merupakan prasyarat dan
fondasi bagi munculnya demokrasi di tingkat nasional.
Sebagai
eksperimen demokrasi, perjalanan selama ini mencatat bahwa pilkada secara
langsung telah melahirkan berbagai prestasi dan kualitas demokrasi. Misalnya,
di sejumlah daerah pilkada langsung telah melahirkan kepala daerah terbaik.
Ini bisa dilihat dari berkembangnya pelayanan publik dan kemunculan kebijakan
yang benar-benar berpihak pada rakyat, seperti bidang pendidikan dan
kesehatan. Para kepala daerah tersebut mampu membuat kebijakan-kebijakan
kreatif bagi pembangunan daerah.
Dari
fakta itu, akankah kita memutar jarum jam kembali ke belakang dengan mengembalikan
pemilihan lewat DPRD? Baik pemilihan secara langsung maupun lewat DPRD
sesungguhnya sama-sama punya implikasi dan sisi positif-negatif.
Mengembalikan proses pilkada kepada DPRD, atau bahkan melalui penunjukkan
pada dasarnya tak lebih dari pergerakan dari satu titik ekstrem ke titik
ekstrem lainnya.
Argumentasi
yang mengatakan pilkada melalui DPRD adalah demi efisiensi dan mencegah
politik uang, juga kurang tepat. Satu hal harus dipahami bahwa logika
demokrasi memang tidak mudah sejalan dengan logika pasar yang lebih
menekankan efisiensi. Di negara demokrasi mana pun selalu terdapat tiga
paradoks pokok: conflict vs concencus;
representative vs governability; dan consent
vs efficient (Marijan, 2011).
Karenanya, dalam demokrasi, kalaupun efisiensi harus menjadi pertimbangan,
itu bukanlah efisiensi individual melainkan collective efficiency.
Mengingat
diskursus demokrasi belakangan ini menaruh perhatian serius tentang perlunya
keterlibatan langsung rakyat dalam proses politik maka pemilihan kepala daerah
secara langsung merupakan salah satu ikhtiar memperbaiki kualitas demokrasi
di tingkat nasional. Dan pemilu lokal ini adalah merupakan hal pokok bagi
sehatnya demokrasi di daerah.
Pertanggungjawaban
Pemilu
lokal, baik dalam wujud pemilihan gubernur/wali kota/bupati secara langsung,
bisa berfungsi sebagai mekanisme bagi pemilih untuk meminta
pertanggungjawaban kepada pemimpin di daerah. Ia juga berfungsi sebagai
saluran bagi adanya partisipasi politik masyarakat terhadap masalah-masalah
di daerah. Pilkada secara langsung juga untuk meminimalisasi adanya
pembajakan kekuasaan atas nama rakyat.
Karena
itu, ke depan, guna mengatasi berbagai masalah berkait pilkada secara
langsung, ada beberapa hal yang perlu dibenahi. Pertama; menyederhanakan sistem
pemilihan, dari dimungkinkannya lebih dari satu putaran ke hanya satu
putaran. Kedua; meminimalisasi biaya pilkada semisal lewat pembatasan biaya
maksimal yang dikeluarkan para calon. Ketiga; meminimalisasi pelanggaran
administrasi. Upaya ini bisa dimulai dari memperbaiki administrasi sistem
kependudukan guna menghasilkan data pemilih yang baik.
Terlepas
dari masih banyaknya permasalahan di seputar pelaksanaan pilkada secara
langsung, kita tak mungkin kembali memutar arah jarum jam ke belakang.
Pilkada secara langsung tidak mungkin diganti oleh pilkada secara tidak
langsung sebagaimana sebelumnya. Andai itu yang terjadi, sesungguhnya yang
terjadi adalah sebuah pembajakan demokrasi dan perampasan kedaulatan rakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar