Paradoks
Pilkada Langsung atau Tak Langsung
Moch Nurhasim ;
Peneliti
Pusat Penelitian Politik-LIPI
|
KORAN
SINDO, 13 September 2014
Ihwal
pro-kontra pilkada langsung atau dipilih DPRD bukan hanya wilayah
“pertarungan politik”. Isu pilkada langsung atau tak langsung secara
substansial adalah refleksi dua perspektif utama pemilihan (elektoral).
Dalam
perkembangan demokrasi suatu negara, termasuk di Indonesia, demokrasi dalam
konteks elektoral mengalami pasang surut. Sejak era pascakemerdekaan hingga
Orde Baru, perspektif yang menonjol adalah demokrasi perwakilan, bukan
demokrasi langsung. Demokrasi model ini di antaranya dicirikan oleh proses
pemilihan yang sifatnya terbatas. Partisipasi politik bukan sesuatu yang
inklusif.
Di
era transisi demokrasikonsolidasi demokrasi, khususnya era reformasi,
perspektif lama demokrasi perwakilan mulai ditinggalkan. Sebagai gantinya,
muncul suatu keyakinan baru bahwa demokrasi perwakilan menisbikan partisipasi
rakyat yang memiliki kedaulatan, suara rakyat adalah suara tuhan (vox populi, vox dei). Bandul penentu
kekuasaan akhirnya diubah, dikembalikan kepada rakyat yang memiliki
kedaulatan atau hak suara yang menentukan.
Perdebatan
mana yang lebih baik, pilkada langsungkah atau pilkada melalui DPRD?
Perdebatan yang muncul ke publik akhir-akhir ini di media terasa kurang
berimbang. Secara teoritik, kedua praktik demokrasi itu, baik pemilihan
langsung maupun melalui perwakilan, menyimpan kecenderungan yang hampir
mirip. Kedua-duanya memiliki kekuatan sekaligus menyumbang kelemahan.
Demokrasi
langsung dan tidak langsung (perwakilan), kedua-duanya tidak dapat
menghindarkan dirinya dari politik transaksional. Politik uang (money politics) tetap saja terjadi
pada kedua jenis pilkada. Pada pilkada langsung, politik uang misalnya,
terjadi saat proses penentuan calon kepala daerah agar memperoleh direstui
partai dan politik uang juga terjadi pada saat pelaksanaan pilkada.
Sudah
jamak atau menjadi rahasia umum, biaya politik para kandidat gubernur,
bupati, dan wali kota muncul mulai dari proses pencalonan internal partai
hingga akan dilantik. Dari sifatnya itu, proses internal partai juga tidak
bisa menghindari politik dinasti dan/atau oligarki partai. Partai sebagai
salah satu pihak yang dapat mencalonkan calon kepala daerah juga tidak dapat
terhindar dari hukum besi oligarki.
Pada
beberapa kasus, perjuangan untuk berkuasa akhirnya dimulai dari penguasaan partai
yang kemudian berlanjut pada proses penentuan pencalonan gubernur, bupati dan
wali kota. Pada jenis kedua pilkada, baik pilkada langsung maupun melalui
perwakilan, kedua-duanya tidak mungkin bisa memberikan jaminan dapat
mengatasi watak asli keduanya, oligarki partai dalam penentuan calon dan
transaksi politik lainnya.
Perbedaan
yang mencolok pada kedua jenis pilkada itu hanya terletak pada beberapa sisi.
Pada pilkada langsung, pertama, ada alternatif calon lain dari jalur
independen. Sehingga, muncul tokoh-tokoh baru yang tidak memiliki kendaraan
partai politik. Kedua, penentu kemenangan adalah rakyat sebagai pemilik
suara. Partisipasi politik meluas, rakyat menentukan siapa yang akan menjadi
pemenangnya. Namun, dari penyelenggaraan pilkada langsung sejak Juni 2005
harus diakui, perilaku pemilih juga tidak menceritakan suat kemajuan yang
berarti.
Transaksi
politik antara calon kepala daerah dengan pemilih juga sering terjadi.
Mobilisasi melalui jalur-jalur “agama, kesukuan, etnik, kekerabatan”, dan pembelian
suara nyaris pula tidak terhindarkan. Memilih kucing dalam karung juga sering
tak dapat dihindari. Lebih dari itu, beberapa pengalaman pilkada dan pemilu
legislatif juga memperlihatkan adanya gejala transformasi perilaku pemilih
yang pada beberapa wilayah tertentu tidak pula dapat menghindarkan diri dari
pengaruh patron-klien dan orang kuat di daerah.
Fakta
lain yang juga menjadi penting, argumentasi dari demokrasi partisipatif yang
hendak dipertahankan dari pilkada langsung, tapi bukankah ada gejala bahwa
pilkada langsung makin tidak menarik pemilih untuk mencoblos. Pada beberapa
pilkada langsung partisipasi pemilih jauh lebih rendah, di bawah 50%. Gejala
seperti itu juga tidak dapat dinafikkan, bahwaada yang tidak beres dari
pelaksanaan pilkada langsung selama ini.
Sementara
pada pilkada perwakilan, dapat saja ada alternatif calon dari jalur
independen, tetapi, komposisi DPRD akan menentukan siapa yang terpilih.
Publik pun dapat dengan mudah membaca siapa calon yang akan direstui oleh
DPRD. Ditimbang dari segi biaya, seperti yang pernah dikeluhkan oleh Jusuf
Kalla, pilkada langsung lebih menyedot dana APBN dan APBD ketimbang pilkada
melalui perwakilan. Itulah paradoks pilkada, baik langsung maupun pilkada
perwakilan.
Kedua-duanya
juga menyimpan potensi rente dan korupsi. Para kepala daerah yang langsung
dipilih oleh rakyat juga tidak terhindar dari korupsi. Data Kementerian Dalam
Negeri hingga Januari 2014 menunjukkan kurang lebih 318 (60%) dari 524 kepala
daerah terjerat kasus korupsi. Kedua-duanya juga tak terhindar dari sifat
oligarki partai, kecuali kalau partai-partai politik itu dikubur.
Tetapi
itu tidak mungkin dilakukan, karena partai adalah instrumen utama demokrasi
pemilihan. Lebih dari itu semua, pertimbangan dalam memutuskan pilkada
langsung dan tidak langsung–yang kedua-duanya juga konstitusional, jangan
terjebak pada mikropik politik yang sifatnya sesaat. Menurut hemat penulis,
kedua jenis pilkada harus dapat menjawab beberapa tantangan, antara lain
pertama, apakah pilkada (baik langsung atau tidak langsung) berdampak pada
kualitas demokrasi yang substantif di tingkat lokal.
Kedua,
apakah pilkada (baik langsung atau tidak langsung) menjamin terselenggaranya
pemerintahan daerah yang dapat memerintah. Selama ini hasil pilkada langsung
hanya sedikit yang menunjukkan pemerintahannya bekerja atau dapat memerintah.
Ketiga, apakah pilkada (baik langsung atau tidak langsung) akan melahirkan
kesejahteraan rakyat, menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi oleh
rakyat.
Keempat,
apakah pilkada (baik langsung atau tidak langsung) melahirkan kepala daerah
yang benarbenar “merakyat,” dekat dengan rakyat, mengerti rakyat, dan
menyelesaikan masalah mereka. Kelima, apakah pilkada (baik langsung atau
tidak langsung) akan membawa kemajuan bagi daerah.
Refleksi
atas kelima pertanyaan itu pesannya tegas, bahwa desain pemilihan kepala
daerah (gubernur, bupati dan wali kota) bukan semata-mata untuk mencapai
tujuan demokrasi pemilihan, tetapi harus dapat membawa manfaat bagi rakyat
yang memiliki kedaulatan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar