Senin, 22 September 2014

Miskin vs Sejahtera

Miskin vs Sejahtera

Ali Khomsan  ;   Guru Besar Departemen Gizi Masyarakat, FEMA IPB
KORAN SINDO, 20 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Apakah Indonesia termasuk negara miskin atau negara sejahtera? Ini bisa dinilai dari GNP per kapita, persentase penduduk miskin, angka melek huruf, prevalensi gizi kurang, dan sebagainya. Secara kualitatif, kemiskinan di negara kita teramati dengan baik ketika kita melihat masyarakat berebut daging korban saat Idul Adha, antre menunggu zakat yang dibagikan orang kaya menjelang Lebaran, atau berdesakan kala pembagian Raskin/BLSM.

Kalau jumlah orang miskin di Indonesia “hanya” sekitar 28 juta dan pembagian Raskin ditujukan kepada hampir 80 juta penduduk kita, muncul pertanyaan: berapa sebenarnya jumlah orang miskin di negeri yang subur makmur gemah ribah loh jinawi ini? Jawaban yang pasti adalah orang miskin di sekitar kita banyak. Sebab itu, pekerjaan rumah (PR) untuk mewujudkan bangsa yang sejahtera bukan pekerjaan mudah. Ada beberapa bangsa di dunia yang termasuk tua dalam usia, namun tetap belum dikatakan sejahtera hingga saat ini. Mesir dan India adalah bangsa tua. Ribuan tahun lalu dua bangsa ini telah melahirkan peradaban yang lebih maju dibandingkan bangsa-bangsa lain.

Namun, dalam perjalanan waktu hingga memasuki abad milenium, dua bangsa ini masih bergelut dengan persoalan bagaimana mengentaskan bangsanya dari keterpurukan. Sementara ada bangsabangsa yang dapat dikatakan muda dalam usia, tetapi kini menjadi panglima ekonomi dalam percaturan hubungan antar bangsa. Kanada, Australia, atau Selandia Baru adalah negara-negara maju. Pembangunan di negara-negara tersebut baru diawali 150 tahun lalu. Amerika Serikat adalah negara melting pot yang kini berusia sekitar 200 tahun dibangun oleh bangsabangsa aneka ras yang tentu saja awalnya memiliki beragam budaya.

Kini ras-ras di Amerika bersatu padu mewujudkan the American Dream, menjadi bangsa yang disegani dan rakyatnya hidup sejahtera. Negara-negara tersebut dengan kemampuan iptek, budaya, dan karakter bangsanya mampu menjadikan dirinya menjadi negara maju. Rakyat miskin di negara tersebut masih ada, namun jumlahnya relatif sedikit dan orang-orang miskin di negeri maju ini mendapat tunjangan kesejahteraan untuk menopang kebutuhan hidup minimalnya. Bangsa Indonesia baru merdeka 68 tahun.

Kalau ada yang menyebutkan kita belum sejahtera, tidak apa-apa. Kita bangga menjadi negara bahari, negara agraris, negara subur dengan kekayaan alam yang luar biasa termasuk sumber daya pertambangan yang tersebar di berbagai pulau. Namun, apakah sebutan-sebutan tersebut menjadikan kita lebih mudah untuk menjelma menjadi bangsa yang makmur? Ternyata, aset alam yang kita miliki tidak berkorelasi dengan kesejahteraan rakyatnya. Jumlah petani atau nelayan miskin masih sangat banyak. Mereka turun-temurun terklasifikasi sebagai gurem yang tetap harus bekerja keras bermandikan lumpur dan tertimpa terik matahari di laut lepas, sekadar untuk bertahan hidup memenuhi kebutuhan biologisnya yang paling mendasar yaitu pangan.

Jepang adalah contoh konkret negara maju meski miskin sumber daya alam. Sekitar 80% daratannya bergunung-gunung, tidak dapat untuk menopang pertanian atau peternakannya. Lahan pertanian di Jepang berkurang 20% selama 45 tahun. Selain itu, pemanfaatannya juga menurun secara signifikan. Namun, kita tidak pernah melihat orang Jepang antre beras dalam operasi pasar. Negara Matahari Terbit ini seolah tenang-tenang saja meski ketersediaan pangan hasil produksi dalam negeri senantiasa kurang cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya. Jepang adalah negara dengan penduduk lebih dari 100 juta.

Kesembadaan pangannya hanya sekitar 40% berdasarkan basis kalori dan untuk biji-bijian sekitar28%. Kesembadaanbiji-bijian ini jauh lebih rendah dibandingkan Indonesia (85%), India (91%), dan Bangladesh (97%). Jepang mengimpor bahanbahan mentah dari berbagai negara dan kemudian menyulapnya melalui iptek canggih menjadi barang jadi. Ekspor barang jadi made in Japanmembanjiri pasar dunia dan mendatangkan devisa untuk kemakmuran bangsanya. Jepang laksana negara industri terapung yang besar sekali. Padahal, pada 1945 negeri ini porak-poranda akibat kalah dalam Perang Dunia II. Swiss adalah negeri kecil yang daratannya hanya 11% yang bisa ditanami. Namun, dari Swiss inilah kita bisa merasakan cokelat yang paling lezat.

Industri cokelat, susu, dan perbankan di Swiss pantas untuk disebut berkelas dunia. Lalu, apa yang kurang dari negeri kita tercinta? SDM (Sumber daya manusia) berlimpah, upah tenaga kerja sama murahnya dengan China yang kini menjadi kekuatan ekonomi dunia, alamnya hijau subur, dan lautnya biru membentang luas. Ternyata Indonesia dinilai masih kalah dibandingkan negara-negara tetangga. Thailand dan Vietnam menjadi eksportir penting produk- produk serealia dan hortikultura. Singapura, Filipina, dan Malaysia menawarkan kualitas pendidikan yang lebih bermutu dan menjaring lulusan-lulusan SMA (sekolah menengah atas) kita.

Kita sampai kini masih sibuk bersilat lidah tentang bagaimana memberikan perlindungan jutaan TKI (tenaga kerja Indonesia) yang mencari nafkah di negeri jiran. Kecerdasan orang-orang Indonesia tentu tidak kalah dibandingkan orang-orang di negara maju. Kita mempunyai tokoh sekaliber Habibie. Banyak mahasiswa-mahasiswa kita di luar negeri berprestasi baik dalam pencapaian akademisnya, bahkan memunculkan kekhawatiran terjadi brain drain. Mungkin ada yang berpandangan orang Indonesia kurang disiplin, tidak menghargai waktu, atau malas.

Ternyata, ketika mereka menjadi karyawan yang bekerja di sektor industri di negara maju, mereka menjelma menjadi SDM yang sangat dapat diandalkan. Jadi, tidak sejahteranya suatu negara sebenarnya ditentukan oleh karakter budaya, pendidikan, dan sikap hidup yang ditunjukkan warganya yang mungkin telah berurat-berakar puluhan tahun. Karakter bangsa-bangsa yang maju adalah: beretika, jujur, bertanggung jawab, taat aturan dan hukum, cinta pada pekerjaan, mau bekerja keras, dan disiplin menghargai waktu. Kalau birokrasi kita diisi oleh orang-orang yang tidak cinta pada pekerjaan, pegawai-pegawai yang tidak disiplin, tidak jujur, dan hanya berorientasi proyek untuk mendapatkan keuntungan yang tidak legal, serta cenderung melanggar aturan, jangan pernah berharap untuk menjadi bangsa yang sejahtera.

Mau berubah atau masih ingin miskin? Mengentaskan kemiskinan bukan persoalan mudah. Berbagai program telah dilaksanakan seperti PNPM Mandiri, Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM), subsidi Raskin, BPJS, Kartu Pintar, dan sebagainya. Kemiskinan memang bukan melulu persoalan kita akan memberi ikan atau kail. Rantai kemiskinan akan terputus apabila rakyat Indonesia mampu mengakses pendidikan dengan baik. Pendidikan akan membekali masyarakat untuk menjadi SDM yang kreatif dan mandiri. Sebab itu, wajib belajar tidak cukup hanya sembilan tahun, tetapi harus ditingkatkan menjadi 12 tahun. Jangan ada lagi perbedaan akses pendidikan antara rakyat yang tinggal di wilayah timur dan barat Indonesia. Pendidikan untuk semua harus menjadi tekad pemerintah baru mewujudkan bangsa yang lebih sejahtera. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar