Menjaga
Anak dari Gerakan Radikal
Nur’aeni Ahmad ; Ketua PB Persatuan Wanita
Tarbiyah
Islamiyah (Perwati), Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
|
KORAN
SINDO, 30 Agustus 2014
Apa
yang terjadi di Irak dan Suriah saat ini hendaknya benar-benar menjadi
pelajaran yang berharga bagi kita bangsa Indonesia, terutama dalam menangkis
ideologi Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) masuk ke negara kita. Seluruh
negara di dunia kini mewaspadai penyebaran paham ISIS dengan ideologi dan
cara yang penuh kekerasan ke penjuru bumi.
Umat
Islam mana yang tak khawatir melihat tindakan ISIS yang sudah di luar
perikemanusiaan. Orang tua memiliki peran sentral dalam menghindarkan negeri
ini dari ISIS. Alasan perlunya kewaspadaan orang tua terhadap gerakan ISIS
tentu sangat beralasan, karena kita di Indonesia ingin mengembangkan ajaran
Islam yang rahmatan lil rahmatan lil alamin. Bukanlah wajah Islam yang penuh
dengan kekerasan, menumpahkan darah, bahkan membunuh sesama pemeluk Islam
bila tak mau mengikuti ideologi yang dianut ISIS itu sendiri.
ISIS
tidak hanya memerangi orang berbeda agama atau berbeda paham seperti syiah,
Kristen Yazidi, tetapi mereka juga membunuh orang Islam yang seiman, bahkan ulama
sufi pun mereka bunuh karena beda ideologi dengan mereka. Paham ISIS, paham
Islam yang keras, sadis, dan mengerikan. Ajaran yang dianut ISIS dalam
berjihad adalah diperbolehkan membunuh birokrat, pemerintah, dan bahkan tokoh
agama yang tidak mereka sukai. Mereka juga diperbolehkan merampok dan
menyerang instansi tempat ibadah dan tempat keramaian. (KORAN SINDO, 10/8).
Ketua
Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU) KH Said Aqil Siradj menegaskan,
paham negara ISIS tidak dibenarkan oleh agama Islam. Menurutnya, apa yang
dilakukan ISIS tidak direstui Islam, tidak direstui oleh Alquran. ISIS
dikutuk oleh Allah, dikutuk oleh Islam. Menurut Said, agama Islam tidak
pernah membenarkan perilaku kekerasan, sementara ISIS menghalalkan kekerasan
bagi siapa saja yang bertentangan paham yang mereka anut. Tidak ada agama
dalam kekerasan, tidak ada kekerasan dalam agama. (Antara News, 25/8).
Kita
perlu mengapresiasi terhadap keputusan yang diambil oleh negara kita di mana
negara telah menyatakan “ISIS Organisasi Teroris” sebagaimana yang telah
disampaikan oleh Ansyaad Mbai selaku kepala Badan Nasional Penanggulangan
Terorisme (BNPT) dalam Seminar Nasional “Membahas Fenomena ISIS, NKRI, dan
Islam Rahmatan Lil Alamin” di Kemenag RI, Jumat (22/8). Seminar tersebut melibatkan
para pimpinan ormas-ormas Islam, ulama, dan tokoh-tokoh masyarakat, Kejaksaan
Agung, Polri, dan Badan Intelijen Negara (BIN).
Kesimpulan
ISIS sebagai organisasi teroris diambil berdasarkan fakta bahwa gerakan itu
ditemukan di kantong-kantong teroris dengan pendukung yang “berganti baju”
dari gerakan teroris yang pernah ada, demikian juga modus yang mereka
gunakan. Keberadaan ISIS di Indonesia menurut Mbai belum membuat organisasi
resmi, namun ajaran yang disampaikan dan dilakukan adalah bentuk jaringan
teroris. Maka itu, keberadaan ISIS di Indonesia sebagai bentuk ancaman bagi
masyarakat dan keutuhan negara yang berideologi Pancasila. BNPT
mengidentifikasi ISIS adalah jaringan yang sama dengan jaringan Al-Qaeda.
Gerakan
yang dilakukan dan pemahaman ekstrem dalam berjihad juga sama, karena itu
ISIS bukanlah gerakan yang baru. Kenyataan di beberapa daerah yang sudah
ditemukan penganut dan simpatisan ISIS dan sebagian mereka telah dibaiat
ISIS. Bahkan, sudah ada simpatisan ISIS yang memasang bendera ISIS di
rumahnya, seperti yang terjadi di Depok, walaupun didasarkan pada
ketertarikan mereka pada bendera ISIS semata karena bertuliskan kalimat
tauhid. Mencermati keadaan saat ini, setelah selesai pilpres, Indonesia harus
meningkatkan kehati-kehatiannya dalam segala segi.
Negara
harus bisa berlaku adil, tidak diskriminatif, tidak menzalimi rakyat, dan
membasmi korupsi sampai ke akar-akarnya, memberantas kemiskinan, menciptakan
lapangan kerja, dan sebagainya. Sebagai warga negara, jangan mudah terhasut
dan terpengaruh dengan hal-hal yang mungkin merugikan kita sendiri. Mulyadi
Kartanegara (2014) mengatakan bahwa kita harus peduli dan prihatin atas
perkembangan Islam di negeri kita akhir-akhir ini yang semakin mengarah pada
pemahaman Islam simplistis, dogmatik, dan semakin keras.
Hal
ini menjadi suatu kekhawatiran yang mendasar bagi kita sebagai orang tua,
jangan sampai kita lalai mengawasi anak-anak kita terutama mereka yang masih
usia muda dan berjiwa muda, mereka mudah dipengaruhi oleh informasi-informasi
yang menyesatkan (melalui media informasi yang sangat canggih, kadang kala
orang tua tak mengerti karena keterbatasan pengetahuan mereka) merugikan.
Alangkah sedih dan menyesakkan dada, tanpa sepengetahuan orang tua, tahutahu
anaknya sudah berurusan dengan organisasi teroris, tertangkap, bahkan sudah
meninggal di tangan Densus 88.
Kenyataan
membuktikan selama ini banyak anak-anak muda yang telah dicuci otaknya
sehingga mereka rela menjadi “pengantin” dan kemudian meledakkan bom yang
dipasang di tubuh mereka. Benarkah hal semacam itu syahid? Apakah itu
dianjurkan dalam Islam. Yang pasti, pemahaman mereka terhadap ajaran agama
belum kuat, keimanannya belum terbangun secara baik alias ikutikutan (sebut
saja agama KTP). Kelemahan lainnya mereka belum mengerti dan paham ideologi
negara Pancasila, belum memahami undang-undang negara secara baik. Sebagian
ada dengan sadar mau mengganti dasar negara Indonesia dengan mendirikan
kekhalifahan Islam.
Dalam
konteks ini, ada artikel menarik yang ditulis oleh Political Director of
Huffington Post Inggris Mehdi Hasan berjudul “What the Jihadist Who Bought
What the Jihadist Who Bought Islam for DummiesIslam for Dummies on Amazon
Tells Us About Radicalization“ (Huffington Post, 21/8). Dalam artikelnya itu,
Mehdi bercerita bahwa pemuda Inggris yang mengalami radikalisasi dan
berperang ke Suriah pada Mei tahun ini bernama Yusuf Sarwar dan Mohammed
Ahmed membeli dua buku Islam for
Dummies (Islam untuk Pemula) dan Koran
for Dummies (Alquran untuk Pemula).
Fenomena
ini menurut Hasan sangat menarik karena mengafirmasi beberapa pandangan ahli
selama ini yang mengatakan bahwa pemuda-pemuda yang teradikalisasi dan
terjebak dalam gerakan radikal seperti ISIS umumnya adalah orang-orang yang
pemahaman agamanya cenderung rendah (religious
novices). Lebih lanjut, Hasan mengutip penelitian beberapa ahli yang
tertuang dalam berbagai buku seperti psikolog forensik dan mantan anggota CIA
Marc Sageman, ilmuwan politik Robert Pape, ahli hubungan internasional Rik Coolsaet,
ahli dunia Islam Olivier Roy serta antropolog Scott Atran, yang telah
meneliti kehidupan para teroris dan bersepakat bahwa bukan Islamlah penyebab
dari perilaku radikal tersebut. Bahkan, dia menunjukkan bahwa ada
kecenderungan anak-anak muda yang bergabung dengan gerakan radikal ini karena
merasakan ketidakadilan dalam kehidupannya sehari-hari dan melihat ada
harapan kesetaraan dan kesempatan untuk permulaan baru dalam gerakan teroris
ini.
Orang Tua sebagai
Penanggung Jawab Utama
Orang
tua harus peduli akan masa depan anak-anaknya, karena masa depan anak adalah
masa depan bangsa. Kita harus menjaga dan menjadikan bangsa kita bangsa yang
rukun, damai, dan sejahtera, aman dalam menjalankan kehidupan sehari- hari.
Untuk itu, kita turut mendukung larangan resmi pemerintah yang melarang
gerakan ISIS di Indonesia lantaran bertentangan dengan ideologi Pancasila
sebagai dasar negara Orang tua berperan sebagai penanggung jawab utama dalam
kehidupan anaknya.
Ia
adalah penggembala sesuai dengan hadis yang berbunyi “Kullukum raaKullukum raain wa kullukum mas uulun in wa kullukum mas
uulun an raaan raaiyatikum“ artinya setiap kamu adalah penggembala dan
akan diminta pertanggung jawabannya terhadap apa yang kamu gembalakan. Oleh
karena itu, orang tua harus bersungguh-sungguh menjaga anaknya dari segala
marabahaya baik marabahaya neraka dunia maupun marabahaya neraka akhirat
(azab neraka) dengan jalan menanamkan keimanan yang kemudian berfungsi
sebagai benteng dalam kehidupan anak di masa datang..
Orang
tua berperan sebagai pendidik pertama yang harus bertanggung jawab terhadap
pendidikan anak-anaknya, sesuai dengan Firman Allah yang artinya “Jagalah dirimu dan keluargamu dari azab
neraka“ (QS At-Tahrim ayat 6). Nabi Muhammad SAW juga berpesan “Ajarkanlah kebaikan kepada anak-anak kamu
dan keluarga kamu dan didiklah mereka dengan budi pekerti yang baik.”
Sejatinya tak ada orang tua yang menginginkan anaknya celaka dan mencelakai
dirinya dan memilih jalan yang salah atau jalan kekerasan yang merugikan
dirinya sendiri dan keluarga.
Tidak
satu pun agama yang membenarkan yang nama bunuh diri, walaupun sebesar apa
pun pesan yang hendak disampaikannya. Tak ada agama yang menganjurkan
pemeluknya melakukan bunuh diri, demikian juga membunuh orang-orang yang tak
berdosa, orang yang berbeda agama dengan mereka kecuali kalau mereka
memerangi. Anak itu bagaikan mutiara yang bersih dari kotoran-kotoran. Bila
anak dididik pada kebaikan maka dia akan tumbuh di dunia dan akhirat dalam
keadaan bahagia dan akan dapat mewariskan pahala kepada orang tua dan
gurunya.
Sebaliknya
jika anak itu diajar pada kejahatan maka semua akan celaka. Sebaliknya bila
anak dibesarkan dalam kekerasan, maka di jiwanya akan tertanam kekerasan dan
bahkan balas dendam. Karena itulah, orang tua harus hati-hati, mendidik,
memandu, dan membesarkan anak-anak mereka agar tetap berjalan sesuai dengan
ajaran Islam yang rahmatan lil-alamin
. Kita harus bisa menjaga anak kita agar menjadi orang-orang baik dan bergaul
dengan orang yang baik. Jangan sampai anak-anak dan keluarga kita merugikan
kita bahkan ada yang menjadi musuh bagi kita, bahkan bisa membunuh kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar