Jurus
Pamungkas BBM Bersubsidi
Faisal Basri ; Ekonom
|
KOMPAS,
01 September 2014
PRODUKSI minyak nasional pada Juli 2014 tinggal
788.000 barrel per hari, hanya separuh dari tingkat produksi 34 tahun lalu
(1980). Sebaliknya, konsumsi minyak naik dua kali lipat hanya dalam waktu 20
tahun, dari sekitar 807.000 barrel per hari tahun 1994 menjadi sekitar
1.650.000 barrel per hari tahun 2014.
Tak
pelak lagi, kesenjangan antara konsumsi minyak dan produksi minyak kian
menganga. Dalam 12 tahun terakhir saja, selisih antara konsumsi dan produksi
minyak naik berlipat ganda, dari hanya 46.000 barrel per hari menjadi sekitar
750.000 barrel per hari, atau lebih dari 16 kali lipat.
Devisa
yang terkuras untuk impor minyak tahun 2013 mencapai 42,2 miliar dollar AS,
sedangkan ekspor minyak hanya 14,5 miliar dollar AS sehingga defisit minyak
tahun 2013 mencapai 27,7 miliar dollar AS. Selama semester pertama tahun ini,
defisit minyak sudah mencapai 13,7 miliar dollar AS.
Defisit
minyak pertama kali terjadi pada awal pemerintahan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono tahun 2004. Kala itu defisitnya masih 3,8 miliar dollar AS.
Berarti, selama dua periode pemerintahan Yudhoyono, defisit minyak meroket
lebih dari tujuh kali lipat.
Mekanisme
paling ampuh untuk menemukan keseimbangan baru yang berkelanjutan agar kita
berdaulat di bidang energi dan terhindar dari krisis minyak adalah
penyesuaian harga. Tanpa penyesuaian harga, pemerintah tidak bakal mampu
mengelola kebijakan energi nasional karena terlalu banyak variabel yang tidak
bisa dikendalikan oleh pemerintah untuk menjaga harmoni permintaan dan
penawaran minyak.
Kalau
pemerintah bersikukuh mempertahankan harga bahan bakar minyak (BBM)
bersubsidi pada level sekarang, subsidi BBM bakal terus menggelembung. Kuota
BBM bersubsidi harus senantiasa dinaikkan, impor minyak kian menggila, serta
defisit perdagangan barang (trade
account) dan defisit akun lancar (current
account) bakal terus menghantui sehingga menekan nilai rupiah.
Selama
empat tahun terakhir, harga minyak ekspor Indonesia selalu di atas 100 dollar
AS per barrel. Gejolak di kawasan kaya minyak tampaknya akan berkepanjangan
sehingga harga minyak tetap tinggi. Penjualan mobil dalam enam tahun ini naik
3,5 kali lipat dan penjualan sepeda motor naik 1,65 kali lipat. Sementara
itu, nilai tukar rupiah selama tiga tahun terakhir merosot 27,8 persen dari
tingkat terkuatnya pada 2 Agustus 2011.
Antrean
panjang di stasiun pengisian bahan bakar untuk umum (SPBU) di sejumlah daerah
merupakan konsekuensi logis dari inkonsistensi pemerintah mengelola BBM.
Mempertahankan kuota BBM bersubsidi sebesar 46 juta kiloliter tahun ini yang
sama dengan tahun lalu merupakan kemustahilan. Menghadapi gelagat kuota BBM bersubsidi
bakal terlampaui, pemerintah lewat Pertamina membatasi pasokan. Dengan
menggunakan mekanisme nonharga ini, niscaya terjadi kelebihan permintaan (excess demand) sehingga menimbulkan
kelangkaan (shortage). Mahasiswa
fakultas ekonomi semester pertama pun sangat paham soal itu.
Ketimbang
berkutat dengan segala jurus nonharga mengendalikan permintaan BBM
bersubsidi, alangkah arif jika pemerintah menohok ke akar masalah agar kanker
BBM tidak menjalar ke tubuh perekonomian.
Setahun
setelah kenaikan harga BBM memang bakal menekan perekonomian, membebani
hampir seluruh segmen masyarakat, terutama penduduk miskin dan nyaris miskin
(near poor). Adalah tugas utama
pemerintah melindungi kelompok masyarakat yang paling rentan gejolak. Namun,
kita pun ingin tidak hidup di bawah bayang-bayang mitos.
Penduduk
yang hidup di bawah garis kemiskinan pada Maret 2014 berjumlah 28,28 juta,
hampir dua pertiga tinggal di pedesaan. Harga beraslah yang paling sensitif
bagi orang miskin dan nyaris miskin di pedesaan karena belanja untuk beras
menghabiskan sepertiga dari belanja total mereka.
Selama
lima tahun terakhir, harga beras naik 75,8 persen dari Rp 6.441 per kilogram
(kg) pada November 2008 menjadi Rp 11.321 per kg pada Juli 2014. Cukup banyak
keluarga tani yang menjadi pembeli neto, artinya produksi beras lebih kecil
ketimbang konsumsi beras mereka. Selain itu, kenaikan harga eceran beras juga
tidak proporsional dengan harga yang petani peroleh. Pada periode yang sama,
harga padi dengan kadar air di bawah 14 persen di tingkat petani hanya naik
58 persen, dari Rp 2.909,18 per kg pada November 2008 menjadi Rp 4.597,59 per
kg pada Juli 2014.
Sementara
itu, selama November 2008 hingga Juli 2014, harga bensin bersubsidi hanya
naik 8,3 persen, dari Rp 6.000 per liter menjadi Rp 6.500 per liter. Orang
miskin di pedesaan hanya mengeluarkan 2,46 persen dari pengeluaran totalnya
untuk bensin. Pengeluaran terbesar kedua yang menentukan garis kemiskinan di
pedesaan adalah untuk rokok kretek filter, yaitu 8,64 persen.
Jadi,
cara paling ampuh menurunkan angka kemiskinan bukanlah dengan mempertahankan
harga BBM bersubsidi yang nyata-nyata menambah kenikmatan kelas menengah ke
atas, melainkan dengan menjaga kestabilan harga beras di tingkat eceran
seraya mendorong pendapatan petani dengan mereformasi mata rantai setelah
panen. Selain itu, juga dengan menaikkan cukai rokok agar petani kian menjauh
dari barang yang merusak kesehatan dan kantong petani.
Dampak
inflatoar dari kenaikan harga BBM bisa ditekan dengan memilih momentum kenaikan
yang tepat. Dari perilaku inflasi bulanan pada 10 tahun terakhir, waktu
paling pas menaikkan harga BBM adalah bulan September. Semoga Presiden
Yudhoyono berbesar hati melakukannya, mengakhiri pemerintahannya dengan tinta
emas, paling tidak kenaikan Rp 1.500, sehingga bisa menghemat anggaran
tahunan Rp 69 triliun. Lalu, pemerintah baru nanti menaikkan lagi sebesar Rp
1.500 pada Februari atau selambat-lambatnya April 2015.
Dana
tambahan di APBN sebesar Rp 138 triliun dialokasikan untuk membangun sektor pertanian
guna melumatkan kemiskinan di desa. Selain itu, sebagian dana juga untuk
membenahi angkutan umum dan membangun perumahan terjangkau di kota besar guna
membasmi kemiskinan di perkotaan.
Dengan
begitu, mulai tahun 2016 kita bisa keluar dari perangkap dan mitos BBM, lalu
melaju dengan kecepatan penuh. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar