Gagasan
Pilkada DPRD dan Makna UUD 1945
Sulardi ;
Dosen
Hukum Tata Negara Fakultas Hukum
Universitas Muhammadiyah, Malang
|
SINAR
HARAPAN, 12 September 2014
“Pilkada
oleh DPRD kangkangi kedaulatan rakyat”. Demikian judul berita yang diwartakan
Sinar Harapan edisi Sabtu/Minggu 6-7 September 2014.
Judul
berita itu menarik perhatian. Ini karena sebelum terselenggaranya pemilihan
presiden 9 Juli 2014, RUU Pilkada mengarah kepada keinginan untuk
mempertahankan pilkada kabupaten/kota dipilih secara langsung. Namun, kini
yang berkembang di DPR periode 2009-2014 pada masa akhir jabatannya adalah
pilkada di kota/kabupaten dilakukan DPRD.
Perubahan
arah ini tentu saja sangat mengejutkan bagi penggiat demokrasi dan bagi
perkembangan demokrasi di Tanah Air. Mesti dipahami, penyelenggaraan pilkada
berdasar pada Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 yang berbunyi, “Gubernur, bupati,
wali kota dipilih secara demokratis”.
Terhadap
ketentuan ini, kemudian di-breakdown ke dalam Undang-Undang Nomor 22/1999
tentang pemerintah daerah menjadi “pemilihan kepala daerah yang kemudian
disebut gubernur, bupati, dan wali kota sepenuhnya menjadi kewenangan DPRD.
Pemerintah pusat hanya melantik dan mengesahkan hasil pemilihan kepala daerah
yang sepenuhnya dilakukan DPRD.
Berdasar
UU Nomor 22/1999, sesungguhnya telah terjadi kemajuan berarti dalam hal
pemilihan kepala daerah, yang semula sentralistik menjadi desentralisasi oleh
DPRD. Namun, pergeseran dari sentralistik ke desentralisasi ini belum
memberikan jaminan pelaksanaan pemilihan kepala daerah akan berjalan lebih
baik.
Justru
berdasar UU ini, pelaksanaan pemilihan kepala daerah banyak terjadi masalah
serius; antara lain terjadinya distorsi antara siapa yang diinginkan rakyat,
dengan apa yang menjadi pilihan anggota-anggota DPRD. Hal tersebut terjadi
karena masih kuatnya dominasi pemimpin partai politik (DPP), yang memberikan
restu kepada calon yang boleh diajukan dalam arena pemilihan kepala daerah.
Dalam
hal ini, DPP partai politik dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah turut
menentukan siapa yang akan dicalonkan dan yang akan dipilih. Sayangnya,
anggota DPRD lebih mendengarkan suara elite politik di partainya, ketimbang
suara rakyat yang diwakilinya. Juga terjadi politik uang, pada proses
pendaftaran hingga pemilihan kepala daerah oleh anggota DPRD, mengingat yang
menentukan siapa yang diterima dan tidak sebagai bakal calon adalah
fraksi-fraksi di DPRD.
Beberapa
masalah itulah, kemudian digagas pemilihan kepala daerah secara langsung oleh
rakyat. Ini dikonkretkan dengan terbitnya UU Nomor 32/2004 tentang Pemerintah
Daerah.
Perubahan
hukum pilkada terjadi pada cara memilih kepala daerah. Semula pilkada
dilakukan atas dasar pencalonan fraksi-fraksi di DPRD dan dipilih
anggota-anggota DPRD, menjadi dicalonkan partai politik yang memperoleh suara
15 persen dari jumlah kursi DPRD, kemudian dipilih secara langsung rakyat.
Dominasi
pemerintah pusat memang berkurang, namun semangat sentralistik masih terasa.
Hal itu masih dirasakan melalui cara cara partai politik mengajukan calon
gubenur, bupati, atau wali kota, yang menggunakan cara restu-restuan dari DPP
partai politik yang berkantor di Jakarta.
Harus
dipahami juga, jika gagasan ini disetujiui DPR dan disahkan presiden, akan
terjadi perubahan konsekuensi pertanggungjawaban. Jika bupati/wali kota
dipilih rakyat, bupati/wali kota bertanggung Jawab kepada rakyat. Jika dipilih
DPRD, bupati/wali kota bertanggung jawab kepada DPRD.
Pengalaman
tahun tahun lalu, ketika bupati/wali kota dipilih dan bertanggung jawab
kepada DPRD, mereka cukup repot menghadapi manuver politik dari anggota DPRD
saat menyampakain laporan pertanggungjawaban per tahunnya. Tentu saja hal ini
cukup mengganggu jalannya pemerintahan.
Selain
itu, pemilihan pilkada oleh DPRD mengandung beberapa kelemahan, terjadi
ketidakseimbangan dan ketidaksetaraan antara kepala daerah selaku
penyelenggara kekuasaan eksekutif dan DPRD sebagai lembaga legislatif.
Dapat
dipastikan akan terjadi model pemerintahan yang berbentuk legislative heavy,
karena kepala daerah bertanggung jawab kepada pemilihnya, yakni DPRD. Jika
ini yang terjadi, justru bertolak belakang dengan gagasan demokratisasi yang
menghendaki adanya check and balances berbasis trias politica.
Kepala
daerah akan diperlakukan sebagai “bawahan” dan dipermainkan DPRD, jika tidak
mengakomodasi kepentingan politik dari anggota Dewan Perwakilan Daerah.
Kondisi ini akan mempersempit kebebasan kepala daerah dalam berinovasi
membangun daerahnya.
Makna
Pasal 18 (4)
Merujuk
dua ketentuan yang termuat dalam Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 dan Pasal 56 Ayat
(1) UU Nomor 32/2004 tentang Pemerintah Daerah, tidak ditemukan satu kata pun
bahwa pilkada diselenggarakan secara langsung. Hal yang diketemukan adalah
kata dipilih secara demokratis.
Dengan
demikian, perlu dikupas lebih jauh makna kata demokratis. Demokratis bisa
dimaknai demokrasi secara langsung, demokrasi secara perwakilan, atau bahkan
secara progresif. Dapat diartikan disetujui seluruh rakyat secara aklamasi
pun merupakan cara yang tidak kurang nilai demokratisnya.
Secara
demikian, pemilihan gubernur/wali kota dan bupati, yang sejak berlakunya UU
Nomor 32/2004 diselenggarakan secara langsung saja, bisa dilakukan dengan
tiga cara; demokrasi perwakilan oleh DPRD, demokrasi secara langsung oleh
rakyat, atau secara aklamasi. Khusus untuk pemilihan gubernur bisa dengan
alternatif gubernur dipilih anggota DPRD Provinsi dan oleh anggota anggota
DPRD Kota/Kabupaten dalam wilayah Provinsi, namun pertanggungjawaban tetap
pada rakyat.
Dengan
demikian, gagasan ini bisa dijadikan jalan lain antara pemilihan gubernur
oleh DPRD dan secara langsung oleh rakyat atau secara penetapan oleh DPRD,
(contoh gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta). Cara-cara tersebut tidak
melampaui makna dipilih secara demokratis. Ini tidak melanggar ketentuan yang
termuat dalam UUD 1945.
Untuk
menentukan pilihan apakah dilakukan secara langsung, dipilih DPRD atau
penetapan DPRD dikembalikan kepada kemauan dan kesiapan daerah masing-masing.
Selama ini pilkada yang diselenggarakan langsung sudah berjalan baik. Hal
yang masih berujung konflik masif, perlu dipikirkan pemilihan kepala daerah
oleh DPRD.
Pemerintah
daerah bersama DPRD dan segenap komponen masyarakat, diberi kebebasan penuh
untuk menentukan apakah penyelenggaraan pilkada dilakukan secara langsung,
perwakilan atau penetapan oleh DPRD. Pemilihan gubernur bisa dilakukan dengan
cara alternatif, yaitu dipilih anggota DPRD Provinsi dan anggota DPRD
kota/kabupaten dalam wilayah provinsi setempat.
Penyelenggaraan
pemilihan kepala daerah yang berdasar pada kemauan dan kesiapan masing-masing
daerah, dapat dipastikan penyelenggaraan pilkada akan dapat berlangsung lebih
khidmat dan tidak kehilangan nilai nilai demokrasinya. Sekarang tinggal
daerah mana yang mencoba pilkada sesuai kodisi masyarakat setempat. Pada
hakikatnya, rakyat Indonesia menghormati dan menghargai keanekaragaman,
termasuk dalam hal berdemokrasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar