Bertempur
Melawan Kemiskinan,
Perbaiki
Dwelling Time
Rhenald Kasali ;
Pendiri
Rumah Perubahan @Rhenald_Kasali
|
KORAN SINDO, 11 September 2014
Untuk
mengetahui gerakan ekonomi suatu negara, tak harus menjelajahi negeri itu ke
pedalaman atau mencari data statistik tentang jumlah penduduk miskin atau
pendapatan per kapitanya. Kita misalnya bisa menilai dari kesibukan
pelabuhannya.
Di
situlah tampak peradaban, perputaran uang, dan kemahiran me-manage perekonomian yang ujungnya
menghasilkan kesejahteraan atau pemborosan. Negara yang pelabuhannya sepi
bisa dikategorikan tertinggal dibandingkan tetangganya. Jika sangat ramai dan
teratur, hampir pasti itu negara maju. Koordinasi berlangsung baik,
perputaran barang lancar, aparaturnya bekerja dengan governance, dan sopir
truknya bisa punya rumah yang layak.
Sebaliknya,
bila pelabuhannya ramai, tetapi semrawut, sulit mengurus dokumen, aparaturnya
bekerja sendiri-sendiri, mungkin kita tengah berada di negara berkembang. Di
negara ini koordinasi menjadi masalah serius, banyak rigidity yang berakibat pemborosan, sopir truknya kumuh, dan
rakyatnya miskin. Melihat tiga perbandingan tadi, kita bisa menilai di mana
posisi Indonesia saat ini. Inilah yang sedang saya kaji dalam penelitian saya
tentang ”Perekonomian Negeri Kepulauan”. Keberhasilan kita menata pelabuhan
menjadi penentu apakah kita akan naik kelas atau tertinggal.
Ini bukan semata-mata tugas Kementerian BUMN atau perusahaan di bawahnya,
melainkan MANAJEMEN BIROKRASI lintas sektoral.
Tumpang Tindih
Isu
krusial yang mesti kita benahi itu bernama dwelling time . Bagi yang belum
familier, begini penjelasannya. Menurut World Bank (2011), ini waktu yang dihitung
sejak saat kontainer (barang) dibongkar dari kapal sampai meninggalkan
pelabuhan. Prosesnya meliputi urusan preclearance, customs , dan post-clearance. Pre-clearance adalah peletakan kontainer di tempat penimbunan
sementara dan penyiapan dokumen Pemberitahuan Impor Barang (PIB). Sedang customs clearance meliputi pemeriksaan
fisik kontainer (khusus jalur merah), verifikasi dokumen oleh Bea Cukai, dan
instansi terkait lain (Karantina, Kementerian Perdagangan, Perindustrian,
BPOM).
Setelah
itu Bea Cukai mengeluarkan Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB). Lalu,
postclearance adalah saat peti kemas diangkut ke luar pelabuhan. Sebenarnya,
kalau mau, sehari saja semua bisa beres, jika clearance dari semua instansi
terkait memiliki standard waktu yang jelas, terintegrasi dan dapat dilakukan
secara online. Dengan adanya kepastian dan kecepatan waktu perolehan clearance, inventory dapat ditekan
sehingga pasti akan menurunkan biaya logistik dan semakin mengundang
pengusaha untuk memakai jalur laut.
Jadi,
secara matematis dwelling time
hasil penjumlahan tiga clearance
tadi. Inilah komponen utama penilaian kinerja layanan, efisiensi birokrasi
dan kualitas aparatur negara dalam logistik. Sampai Juni lalu di Pelabuhan
Tanjung Priok lama dwelling time sudah turun dari 8,34 hari menjadi 6,2 hari.
Namun, masih kalah jauh dengan di Singapura (1,5 hari), Malaysia 3 hari, dan
Thailand 4-5 hari. Potret ini kemudian tercermin pada peringkat Indonesia
dalam Global Competitiveness Index
2013-2014 (World Economic Forum).
Di
situ infrastruktur pelabuhan Indonesia menempati peringkat ke-89 dari 148
negara. Kalah dari Malaysia (ke- 24) dan Thailand (ke-56). Mengapa dwelling
time kita begitu buruk? Sederhana. Persoalannya bukan ada di Pelindo I s/d
IV, melainkan pada instansi-instansi pemerintah yang mengurus izin barang
keluar dan masuk. Memang Bea Cukai telah memperbaiki pelayanannya setahun
belakangan ini. Tetapi, tidak yang lainnya. Semua sibuk urus diri sendiri,
tidak ada koordinasi dan integrasi sehingga tidak tercipta one stop service, dan tidak efisien.
Ini
terjadi baik di lapangan maupun regulasinya. Bayangkan bahan baku yang
diimpor berulangulang oleh perusahaan bereputasi tinggi, perizinannya harus
diurus per shipment dari awal lagi. Ini menjadi kegelisahan pula bagi
pemerintahan daerah yang ingin mengurus sendiri pelabuhannya. Regulasinya
jadi pertempuran ekonomi. Ini misalnya tampak ketika Perda No 1/2001 yang
diterbitkan Pemkot Cilegon dibatalkan Mendagri (ketika itu dijabat Hari
Sabarno), melalui SK No 112/ 2003, lalu sejumlah pemkab mengajukan uji
materiil ke Mahkamah Agung (MA).
MA
mengabulkan judicial review tersebut karena SK Mendagri tersebut tidak
sejalan dengan semangat otonomi daerah. Ada 27 pasal dalam PP No 69/2001 yang
dibatalkan MA. Di lapangan UU No 17/2008 tentang Pelayaran juga memicu
tumpang tindih kewenangan. Misalnya, Syahbandar dengan Otorita Pelabuhan
sama-sama mengatur soal safety dan security di pelabuhan. Ini sudah pasti
memicu saling lempar tanggung jawab.
SLA vs SLG
Dampak
dari overlapping ini sungguh
menyengsarakan. Benar dwelling time
kita telah lebih baik, tetapi itu rata-ratanya. Nah, bahayanya, ada pada
variannya. Walaupun rata-rata bisa keluar enam hari, faktanya ada kontainer
yang clearance-nya bisa keluar dari
pelabuhan hanya satu hari, namun juga bisa 50 hari, bahkan ada yang dua
tahun!! Inilah yang disebut pengusaha sebagai KETIDAKPASTIAN, pemicu high cost economy. Pengusaha, jadi
harus menyediakan buffer stock yang besar, cari alternatif lain, dan memicu
keinginan membayar suap.
Pada
2013 misalnya salah satu bahan baku turunan hewan tertahan di pelabuhan
selama 53 hari. Akibat itu, biaya sewa di tempat penimbunan sementara
meningkat dari Rp8 miliar menjadi Rp15 miliar. Parahnya, bahan baku tersebut
tidak lagi dapat digunakan karena sudah rusak. Produksi dan penjualan
terganggu dan mereka memutuskan memindahkan pabrik ke negeri tetangga,
buruhnya menganggur, pengusaha jadi enggan menyediakan perumahan, apalagi
menaikkan upah bagi buruhnya.
Saya
kira untuk meretas masalah ini, pemerintah harus bersungguh- sungguh
memenggal red tapes ini dengan menetapkan service
level agreement (SLA) dan service
level guarantee (SLG) di antara mereka. Semua aturan clearance dibuat jelas: persyaratannya, biayanya, dan jelas
selesainya. Artinya, masing-masing pihak perlu merumuskan dan menyepakati SLA
dan SLG-nya. Jika semuapersyaratanlengkap, kontainer otomatis bisa
meninggalkan pelabuhan selambat-lambatnya dalam tiga hari.
Ini
akan menciptakan kepastian berusaha, menurunkan biaya logistik sehingga harga
barang dapat menjadi lebih murah dan dapat dinikmati seluruh warga negara
Indonesia dan meningkatkan daya saing Indonesia. Bukan menjadi bancakan
oknum. Siapa yang mesti menangani? Jelas bukan pejabat setingkat menteri.
Pengalaman di negara kita, koordinasi sesama menteri tidak pernah berjalan
dengan baik. Jadi, harus dipimpin pejabat di atasnya. Bisa Menko, bahkan
Presiden atau Wakilnya. Dan, yang penting lagi, harus segera! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar