Bergabung
atau di Luar Kabinet?
Laode Ida ;
Wakil
Ketua DPD RI
|
MEDIA
INDONESIA, 10 September 2014
JIKA saja tidak
mempertimbangkan faktor etika karena tergabung dalam Koalisi Merah Putih
(KMP), barangkali perkembangkan politik seusai putusan Mahkamah Konstitusi
(MK) akan berbeda. Sebagian parpol yang semula tergabung mendukung pasangan
Prabowo Subianto-Hatta Rajasa akan segera bergabung memperkuat pemerintahan
presiden dan wapres terpilih Joko Widodo-Jusuf Kalla. Namun, karena perasaan
`tak enak' secara politik, tampaknya keinginan itu masih harus tertunda.
Kendati demikian,
sebagian kader parpol dari KMP itu sudah melakukan berbagai pendekatan untuk
direken sebagai calon anggota kabinet Jokowi-JK. Kader-kader seperti ini
tentu akan lebih memilih jabatan menteri ketimbang bertahan di parpol asalnya
berada di luar kekuasaan atau oposisi. Sementara itu, sejumlah kader Golkar,
misalnya, sudah secara terbuka memberi sinyal bahwa posisi politik parpol
beringin itu bisa berubah setelah musyawarah nasional (munas) yang akan
diselenggarakan di 2015-suatu isyarat yang bisa juga dibaca bahwa perlu
melakukan pergantian kepemimpinan di parpol warisan Orde Baru itu.
Mengapa harus
bergabung dalam pemerintahan? Pertanyaan itu niscaya akan dijawab dengan
berbagai argumen retorik yang meyakinkan. Namun, jika jujur diakui, intinya
ialah `agar tak puasa atau jadi penonton saja selama lima tahun (2014-2019)'.
Apalagi sejumlah
parpol yang tak terbiasa berada di luar kekuasaan, sebagaimana posisi PDI
Perjuangan selama sepuluh tahun kepemimpinan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono, niscaya akan merasa `sangat kehilangan sesuatu' jika tak mengelola
kabinet. Terlebih lagi jika sejumlah kader di internal parpol itu bermasalah,
berada di pihak kekuasaan dianggap bisa sebagai `penjinak' dari kemungkinan
gempuran pihak penegak hukum yang selama ini membidiknya dan atau bahkan
sebagian sudah dalam proses.
Redefinisi dukungan
Sebenarnya dukungan
yang diberikan pada Jokowi-JK diletakkan sebagai bagian dari kewajiban
konstitusional warga bangsa yang berada di parpol, bukan karena kepentingan
untuk memperoleh bagian kekuasaan di barisan pemerintahan. Bukankah pasangan
Jawa (Surakarta)-Sulawesi (Selatan) itu sudah dipilih rakyat secara langsung,
sudah juga `diuji' melalui MK atas gugatan pasangan pesaingnya? Ini artinya,
jika para politikus bangsa ini berpikir dan bersikap sebagai negarawan,
harusnya secara legawa memberikan kesempatan kepada pihak pemenang untuk
mengatur pemerintahan, dan sekaligus tak ada perlu berpikir untuk terus
merecoki mereka untuk memimpin bangsa ini selama lima tahun ke depan.
Para elite politik,
singkatnya, harus memberi contoh dan pendidikan politik yang benar pada
rakyat bangsa ini, dengan mendorong, mengawal, dan melakukan kontrol agar
bekerja secara sistematis untuk mewujudkan tujuan bernegara, menjalankan
berbagai program yang sudah dijanjikan pada rakyat saat kampanye. Tugas para
politikuslah, baik yang berada pada kelompok pendukung dalam pilpres maupun
apalagi dari pihak pesaing, untuk secara konsisten terus mengawasi dan
mengingatkan agar semua janji kampanye itu direalisasikan. Itu semua
merupakan bagian dari dukungan substantif.
Jadi, seyogianya tak
boleh lagi ada anggapan bahwa dukungan baru bisa dilakukan kalau dapat jatah
di kabinet. Sebaliknya, jika tak diakomodasi, akan berupaya untuk terus
mengganggu atau merongrong dengan tak memuluskan berbagai agenda strategis
untuk kepentingan rakyat melalui koalisi konspiratif di parlemen. Jika niatnya
yang terakhir ini, berarti 1) telah kian membuktikan rendahnya derajat
kenegarawanan sebagian elite politik yang terlibat langsung dalam
penyelenggaraan negara, 2) telah akan menghilangkan substansi sistem
presidensial, dan 3) merupakan rencana jahat berupa penghalangan hak-hak
rakyat untuk menikmati hasil pembangunan.
Apa yang mau dikatakan
di sini, bahwa konsep dan persepsi tentang `dukungan' terhadap pihak
presiden/wapres harusnya tak boleh lagi dibangun berdasarkan kebiasaan selama
ini, yakni `harus dapat jatah di kabinet' dengan kesan memaksa. Kalau hal itu
terus dilakukan, wajah kepemimpinan transaksional akan terus mapan sebagai
label dalam proses-proses penentuan jabatan strategis di negeri ini, dengan
sejak awal sudah akan mencederai pemerintahan Jokowi-JK.
Dua syarat utama
Kendati demikian,
bukan berarti bahwa pihak parpol yang semula berseberangan politik dengan
Jokowi-JK tidak boleh masuk jajaran anggota kabinet. Pihak Jokowi-JK pun
harus menjauhkan diri dari sikap dendam politik. Soalnya, kecuali
pertimbangan kekuatan di parlemen, juga perlu menunjukkan kepemimpinan
Jokowi-JK haruslah menyimbolkan suasana kebersamaan dalam wajah yang elegan
dengan tetap menunjukkan kepentingan untuk perbaikan negara dan bangsa ini.
Dalam konteks ini,
jika pihak Jokowi-JK mau membangun politik akomodasi dalam kabinetnya,
seharusnya mempertimbangkan dua faktor utama. Pertama, baik kader parpol
maupun basis lainnya harus meletakkan syarat utamanya dengan pertimbangan
kapasitas individu yang siap bekerja untuk menyukseskan tugas di lembaga yang
dipimpinnya. Bukan berdasarkan `usulan paksa' dari parpol tertentu` seperti
kecenderungan terjadi sebelumnya. Dalam konteks ini, tak ada salahnya untuk
mengacu ke apa yang dilakukan Presiden Soeharto, yakni para anggota kabinetnya
umumnya berkapasitas memadai dan kredibel, dan hal itu pun secara relatif
pernah diterapkan Presiden Megawati Soekarnoputri.
Posisi anggota kabinet
bukan sekadar jabatan politik, melainkan juga jabatan profesional di suatu
bidang tertentu. Pihak aparat birokrasi di kementerian pun (yang umumnya
berlatar belakang pendidikan yang sesuai dengan bidangnya) tak akan
menerimanya hanya karena keterpaksaan politik. Para anak bangsa ini pun akan
bangga dan sekaligus akan kian terangsang untuk terus berprestasi karena
menganggap jabatan politik berbasis nilai-nilai profesionalisme. Tentu saja
termasuk memberi contoh kepada para kepala daerah untuk tidak lagi
sembarangan dalam menempatkan para pejabatnya dengan pertimbangan subjek
politik semata seperti yang terjadi sampai sekarang ini.
Kedua, menampilkan
figur yang bersih. Presiden/wapres harus menghindar adanya anggota kabinet
yang berpeluang untuk dipersoalkan secara hukum karena perilaku korupnya di
masa lalu karena pasti akan jadi beban dalam menjalankan tugas-tugasnya.
Caranya sangat tak sulit, yakni 1) telusuri rekam jejak indikasi korupsinya
selama ini, dan 2) lakukan tes kepribadian dan integritas untuk mendapatkan
gambaran motivasi, orientasi, dan perilaku para calon menteri.
Jika hal ini
dilakukan, dari mana pun asal menteri itu, apakah dari parpol atau
basis-basis lain, akan diapresiasi warga bangsa yang sehat pikirannya, suatu
awal yang positif-kondusif bagi Jokowi-JK. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar