Analisis
Dampak Regulasi
Romli Atmasasmita ; Guru Besar (Emeritus)
Universitas Padjadjaran Bandung
|
KORAN
SINDO, 02 September 2014
Analisis
Dampak Regulasi (ADR) atau Regulatory Impact
Analysis (RIA) telah dipraktikkan pada empat era pemerintahan Amerika
Serikat dan di beberapa negara Eropa, termasuk negara-negara baru di wilayah
Eropa Timur.
Analisis
ini menggunakan pendekatan analisis ekonomi mikro dalam proses penetapan
kebijakan publik yang berpijak pada apa yang seharusnya dilakukan (what ought to do) dan tidak
semata-mata pada apa yang terjadi (what
is) atau apa yang telah terjadi (ex
ante). Evaluasi melalui ADR/RIA merupakan sarana hukum yang bertujuan
menemukan solusi atas perkiraan dampak yang akan terjadi dengan
diberlakukannya suatu undang-undang yang terkait kepentingan publik secara
luas.
Evaluasi
tersebut tidak menggunakan pendekatan abstraksi-logis dan metafisik
sebagaimana lama dianut para ahli hukum, melainkan menggunakan pendekatan ”cost and benefit ratio”.
Pendekatan
kedua ini telah berhasil setidaknya di negaranegara yang telah disebutkan di
atas: mempertemukan penilaian benar (right)
dan salah (wrong) dan penilaian
”risiko (cost) dan untung (benefit)” sehingga jika disandingkan
akan tampak sinkronisasi antara tujuan hukum (Aristoteles) dan
prinsip-prinsip ekonomi (Cooter dan Ullen). Sinkronisasi tersebut ada pada
tiga pasang variabel yaitu prinsip ekonomi keseimbangan dengan tujuan hukum
kepastian hukum; efisiensi dengan keadilan; serta maksimalisasi dengan
kemanfaatan.
Keenam
variabel tersebut merupakan interelasi yang solid dan bersifat interdepensi
satu sama lain. Jika hubungan tersebut dipahami benar oleh ahli hukum dan
ahli ekonomi, dapat membentuk suatu ekosistem peradilan pidana (EKOSPP) yang
sangat produktif dan mendukung keberhasilan sistem peradilan pidana
Indonesia. Karena bekerjanya hukum dalam kenyataan selalu dipertimbangkan
dampak regulasi secara objektif, terukur, dan pasti.
Contohnya
dalam pemberantasan korupsi, biaya perkara sekitar Rp50 juta-100 juta
tidaklah rasional jika kejaksaan atau KPK tetap melanjutkan proses penyidikan
dan pemeriksaan sidang pengadilan jika perkara korupsi telah merugikan
keuangan negara jauh di bawah batas biaya perkara tersebut. Sebaliknya, tentu
masyarakat bertanya-tanya bagaimana dengan efek jera terhadap pelakunya?
Pandangan kita tentang efek jera dari suatu tindakan hukum pidana seharusnya
diartikan dalam konteks pemulihan status hukum pelaku dari orang hukuman
menjadi manusia berguna bagi bangsa dan negara.
Konsep
ini dalam referensi hukum modern dikenal sebagai ”keadilan restoratif”, lawan
dari ”keadilan retributif” dan dampak terhadap kepentingan keuangan negara.
Bukankah dengan penanganan perkara korupsi dengan nilai kerugian keuangan
negara jauh di bawah biaya perkara tersebut hanya akan menghasilkan dua
kerugian negara, yaitu pertama disebabkan biaya perkara akan bertambah besar
dan waktu yang cukup lama, 400 hari sampai putusan PK, dan biaya makan
seorang narapidana dalam waktu minimum empat tahun sebesar Rp15.000 per hari.
Sebab
kedua, negara kehilangan waktu dan fokus pada nilai kerugian keuangan negara
yang sangat signifikan setidaknya di atas biaya perkara tersebut di atas.
Penanganan perkara yang kontra-produktif ini mengakibatkan penambahan
kerugian keuangan negara dua atau tiga kali lipat dari kerugian keuangan
negara yang seharusnya dikembalikan (diselamatkan) kepada negara.
Penelitian
M Jusuf (2013) menemukan nilai kerugian keuangan negara yang berhasil
diselamatkan dalam kurun waktu lima tahun (2007-2012) tidak mencapai 50% dari
total kerugian keuangan negara dari korupsi sebesar Rp180.309.318.403,96
(19,5%), dan USD37.261.549,65 (20,28%). Bahkan dalam laporan ICW, nilai
kerugian keuangan negara dari pengelolaan sumber daya alam, yaitu Rp169,7
triliun dari illegal logging, dan
Rp300 triliun dari illegal fishing,
sampai saat ini belum secara maksimal diselamatkan/dikembalikan kepada
negara.
Merujuk
pada pendekatan ”cost and benefit ratio”
dibandingkan dengan pendekatan ”benar dan salah” serta kenyataan inefisiensi
pengembalian kerugian keuangan negara terbukti bahwa politik hukum pidana
nasional selama kurun waktu dua masa pemerintahan SBY, khususnya dalam
pemberantasan korupsi, telah gagal. Sebaliknya, klaim keberhasilan hanya
tampak dari sejumlah pejabat tinggi telah diseret KPK dan dijebloskan ke
dalam penjara, namun secara riil ternyata tidak tampak efek jera yang
signifikan– dengan semakin banyaknya korupsi dan koruptor–dan tidak jelas
letak keuntungan (benefit) bagi
kepentingan tujuan mencapai kesejahteraan rakyat sebagaimana diamanatkan di
dalam Bab XIV UUD 1945.
Kesejahteraan
rakyat tidak berbanding lurus dan secara linear diklaim sebagai keberhasilan
sebanyak-banyaknya menjebloskan pelaku korupsi ke dalam penjara. Bahkan yang
terjadi, koruptor telah menjadi kelas masyarakat eksklusif di dalam penjara
yang memiliki pengaruh dan kekuatan uang untuk ”mengatur” kehidupan mereka di
dalam penjara.
Solusi
yang bijak adalah pemimpin nasional, eksekutif dan legislatif, serta
masyarakat sipil dan para ahli hukum dan ekonomi harus menyatukan visi dan
misi serta program-program nyata secara rasional (bukan emosional) melalui
penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar