Agar
Aset Rp 30 Triliun Tidak Mubazir
Dahlan Iskan ; Menteri BUMN
|
JAWA
POS, 01 September 2014
”Tempeeeeeeeee...!!!”
Teriak puluhan karyawan di depan pabrik saat mereka berfoto bersama saya.
Pada foto itu nanti pasti terlihat wajah mereka yang ceria dengan bentuk
mulut yang lucu.
Saya
mengunjungi PT Kertas Kraft Aceh (KKA) di Arun pekan lalu. Para karyawan
menyambut dengan penuh kegembiraan. Minta foto bersama. Hari itu upaya mereka
menghidupkan kembali PT KKA menampakkan hasil awalnya.
Dua
turbin yang sudah lebih 15 tahun mangkrak bisa hidup kembali. Listrik 16
megawatt bisa dijual ke PLN. Perusahaan mulai mendapat penghasilan. PLN
mendapat tambahan listrik.
Kondisi
KKA sudah sedikit berbeda dibanding saat saya mengunjunginya dua tahun lalu.
Waktu itu suasananya senyap. Tidak ada kehidupan. Di mana-mana terlihat
bagian-bagian pabrik yang reyot dan tidak terpelihara. Kini pabrik kertasnya
memang belum hidup, tapi pembangkit listriknya sudah mulai memberi hasil.
”Pabrik ini sudah mulai bersuara,” ujar Andriano, Dirut KKA.
Untuk
menghidupkan pabriknya sendiri, masih perlu waktu. Menunggu penyelesaian
hutan tanaman industri (HTI) yang juga sudah lebih 15 tahun berhenti
produksi. Hutan itu dimiliki bersama antara perusahaan milik Pak Prabowo
Subianto (60 persen) dan BUMN PT Inhutani IV (40 persen).
Kami
masih harus merundingkannya agar bisa dikelola lebih baik. Untuk bisa menjadi
sumber bahan baku bagi KKA.
Kertas
kraft (kertas khusus untuk kantong semen) memang memerlukan bahan baku
khusus, yakni pohon pinus. Tidak bisa dibuat dari serat pohon lain. Selama
ini industri semen masih impor kertas jenis kraft.
Hari
itu saya bermalam di Idi Rayeuk, ibu kota kabupaten baru Aceh Timur. Menikmati
martabak durian yang hanya bisa didapat di Aceh. Nyam-nyam sekali. Semalam
suntuk saya harus mengucapkan terima kasih kepada Bupati Aceh Timur Hasballah
M. Thaib.
Bupati
ini masih sangat muda, aktif, blusukannya masya Allah, celananya jins, panggilannya
Rocky. Tanyalah kepada sepuluh orang Aceh Timur: siapa nama bupati mereka.
Sebelas orang akan menjawab: Rocky. Nama Hasballah hanya ada di surat-surat
resmi.
Hasballah,
eh Rocky,-lah yang banyak membantu sehingga pembangunan pipa gas dari Arun
menuju Medan sepanjang 345 km sudah mencapai 95 persen. Hanya dalam waktu 14
bulan. Dulu banyak yang menyangsikan proyek ini bisa jalan. Apalagi harus
melalui wilayah Aceh.
”Kini
yang belum selesai justru di wilayah Medan,” gurau Rocky.
Saya
pun cium tangannya. Pikiran Rocky memang sangat maju. Dengan dilewati pipa
gas, dia bisa mengundang investor untuk datang dan memajukan Aceh Timur. PT
Pertagas, anak usaha Pertamina yang membangun proyek ini, memang menyediakan
keran-keran di sepanjang wilayah Aceh.
Di
Aceh Timur saja ada tiga keran. Kapan saja bisa dibuka. Kalau ada pabrik yang
perlu gas di sana.
Saya
memang dag-dig-dug menghadapi proyek ini: harus menggelar pipa sepanjang 345
km! Tanpa APBN. Harus cepat selesai. Ini karena dua tahun lalu saya membatalkan
proyek penerima LNG terapung di Medan. Harus ada gantinya.
Waktu
itu saya berpikir untuk apa investasi penerima LNG terapung senilai Rp 5
triliun. Padahal, sudah ada aset negara yang fungsinya sama. Hanya letaknya
di Lhokseumawe, Aceh. Aset ini berupa instalasi pembuat LNG yang nilainya
sekitar Rp 30 triliun.
Kalau
proyek penerima LNG terapung itu jadi dibangun, aset di Aceh yang besarnya
tiga kali LNG Tangguh ini akan menganggur. Mubazir Rp 30 triliun. Ekonomi
Aceh pun terganggu. Saya tidak bisa membayangkan kalau sampai instalasi LNG
Arun ini dibiarkan jadi besi tua.
Dia
memang sudah mengabdi selama 40 tahun. Tapi, kondisinya masih sangat jreng.
Pemeliharaannya sangat prima dan bagus. Gedung-gedungnya, stadionnya,
perumahannya, sekolah-sekolahnya masih yang terbaik di Aceh.
Dan
pelabuhannya? Bikin air liur menetes! Dermaganya dua buah. Di dua sisi yang
berseberangan. Dalamnya 18 meter. Dan pelabuhan ini berada di dalam teluk
yang sengaja dibuat sempurna.
Kalau
pipa ke Medan itu tidak dibangun enam minggu lagi, semua itu sudah tidak ada
gunanya. Tanggal 15 Oktober depan adalah pengapalan terakhir LNG dari Arun ke
Jepang. Sumur gas di Arun sudah terkuras habis selama 40 tahun lebih.
Maka
instalasi itu kami putuskan untuk difungsikan sebaliknya: dari pengubah gas
menjadi LNG untuk dikirim keluar Aceh menjadi penerima LNG dari luar untuk
dijadikan gas. LNG-nya bisa datang dari Tangguh, Bontang, atau dari luar
negeri.
Setelah
LNG diubah menjadi gas, gasnya dialirkan lewat pipa tadi. Untuk PLN dan industri
di Aceh dan Medan. Di Lhokseumawe, misalnya, kini sedang dibangun pembangkit
listrik 200 megawatt yang akan memanfaatkan gas LNG ini.
PT
PGN sendiri yang semula ingin membangun penerima LNG terapung di Medan
mengalihkannya ke Teluk Lampung. Proyek PGN ini juga sudah hampir jadi. Bulan
depan sudah beroperasi. Maka dua tahun terakhir ini kita menjadi memiliki dua
penerima LNG terapung (yang satu lagi di Teluk Jakarta), satu penerima LNG
eks Arun, dan kita punya pipa sepanjang 345 km. Semuanya non-APBN.
Program
Pak Zaini Abdullah, gubernur Aceh, pun berjalan cepat. Saya memang sering
bertemu beliau untuk minta dukungan. Kadang dengan kesungkanan yang tinggi.
Pak Gubernur ini orangnya sangat baik, tutur katanya sangat halus, dan
pembawaannya luar biasa santun.
Rupanya
profesi beliau sebagai dokter dan kealimannya sebagai ulama (dokter yang
ulama) tetap terbawa ketika beliau jadi gubernur. Sering sekali, sebagai
orang Jawa, saya merasa terlalu kasar di hadapan beliau. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar