Rabu, 24 September 2014

Aborsi, Ketika Sains dan Politik Bertemu

Aborsi, Ketika Sains dan Politik Bertemu

Nurul Inayah ;   Seorang Dokter
SINAR HARAPAN, 23 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Dalam ilmu kedokteran, aborsi didefinisikan sebagai berhentinya kehamilan sebelum usia kehamilan 20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram, disengaja ataupun tidak.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita biasa menggunakan istilah “aborsi” untuk satu jenis dari aborsi, yang dalam kedokteran diistilahkan sebagai induced abortion. Ada jenis aborsi lain, yaitu spontaneous abortion, terbiasa disebut masyarakat sebagai keguguran. Jadi, menggugurkan secara sengaja inilah yang dimaksud aborsi dalam bahasa Indonesia.

Dalam catatan sejarah, praktik aborsi telah dikenal sejak ribuan tahun silam dengan berbagai teknik dan cara. Sayangnya, perkembangan sains kedokteran hingga abad ke-19 belum mampu memberi pelayanan yang memadai bagi para perempuan yang “perlu” menggugurkan kandungannya.

Tingginya angka kematian perempuan korban aborsi menjadi catatan sejarah yang menyeramkan. Karena itulah, di Eropa atau Amerika Serikat (AS), kelompok yang menamakan dirinya kaum feminis angkat bicara. Mereka menyuarakan gerakan antiaborsi karena dinilai merugikan dan membahayakan jiwa kaum perempuan.

Hingga abad ke-20—saat dunia kedokteran memasuki era antibiotik—sejarah kedokteran berubah amat drastis, termasuk di dalamnya soal aborsi. Angka kematian perempuan oleh praktik aborsi tidak steril menurun pula.

Bukan hanya soal penemuan antibiotik, hal ini didukung dengan perkembangan kedokteran obstetri dan ginekologi. Aborsi menjadi tindakan medis yang “aman”. Ia tidak lagi menjadi suatu tindakan yang ditakuti dampak serta akibat lanjutannya.

Itulah perkembangan sains kedokteran. Namun, masalah tidak otomatis tuntas, khususnya dalam kemasyarakatan yang terkait cara perkembangan sains tersebut digunakan. Hal ini melibatkan aspek legalitas dari negara yang di dalamnya menggambarkan cara pandang suatu masyarakat atau cara pandang yang diadopsi guna membentuk suatu masyarakat.

Selama ini, bagi Indonesia, sebagaimana yang tertuang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 299, 341-343, 346-349; aborsi dikategorikan sebagai tindakan kriminal.

Pelaku dan pihak yang terlibat dalam “pembunuhan” secara sengaja akan dihukum. Selain itu, bagi profesi dokter di Indonesia, membantu aborsi berarti melanggar sumpahnya sendiri. "Saya akan menghormati setiap hidup insani mulai saat pembuahan," demikian salah satu lafal sumpah Hippocrates.

Sekalipun terlarang, selama ini praktik ilegal tersebut kian marak terjadi. Ini seiring bertambahnya kehamilan yang tak diinginkan.

Menurut Kepala Perkumpulan Keluarga Berencana Nasional Jawa Tengah, dr Hartono Hadisaputro, di Indonesia diperkirakan ada 2,5 juta kasus aborsi tiap tahun. Artinya, ada 6.944-7000 perempuan yang melakukan aborsi setiap hari (Kompas, 20 September 2013).

Tetapi, ini bukan “prestasi” Indonesia. Kondisi serupa jauh hari sebelumnya telah menjadi masalah bagi masyarakat Eropa, seperti Inggris dan AS. Keadaan tersebut telah membalikkan hati kaum feminis. Aborsi yang sebelumnya ditentang, sekarang balik diperjuangkan dalam judul “aborsi legal dan aman”.

Ini diperjuangkan oleh mereka dan dipandang sebagai sebuah kebutuhan dan hak setiap perempuan. Kaum perempuan, menurut mereka, berhak memilih (pro-choice) melanjutkan atau mengurungkan kehamilan. Untuk menjalani kehamilan mereka berhak mendapatkan rasa aman, demikian pula aborsi.

Mereka memandang negara wajib memberikan layanan aborsi secara terbuka, dengan tenaga yang terlatih dan anggaran dari kas negara. Inilah “hak aborsi” yang kaum feminis perjuangkan sekarang.

Di AS misalnya, menurut situs femist.com, tuntutan hak aborsi bagi perempuan feminis di atas melewati perjalanan yang panjang dan terus berkembang. Undang-undang (UU) tahun 1820-an yang semula melarang aborsi setelah bulan keempat kehamilan, kini menjadi legal dengan hampir 84 persen “kabupaten” di perkotaan menyediakan layanan aborsi legal.

Legalitas aborsi menjadi tren di dunia. Sebanyak 40 persen populasi dunia saat ini bisa mengakses layanan aborsi secara legal, terutama di Eropa, bekas Uni Soviet, dan Amerika Utara. Itu “tanpa syarat” atau persyaratan ketat, seperti kehamilan akibat pemerkosaan, inses, dan usia, selain indikasi medis baik pada sang ibu maupun janin.

Kelahiran Peraturan Pemerintah (PP) No 64/2014 tentang Kesehatan Reproduksi atau yang sering disebut legalisasi aborsi bersyarat di Indonesia tampaknya adalah buah dari tren global tersebut. Kehadiran teknologi sains kedokteran tentu saja diperuntukkan bagi kebaikan setiap insan, menolong yang lemah dan dirundung nasib malang.

Namun, kebijakan politik yang terkait dengannya dan dianggap sebagian pihak menolong nasib perempuan, hemat kami, bagai dua sisi mata uang atau jalan terbuka untuk dua keadaan: kebaikan dan keburukan.

Di satu sisi, mungkin ini bisa membantu “meringankan beban” korban pemerkosaan hingga hamil (yang usia kehamilannya kurang dari 40 hari). Di sisi lain, para pelaku pemerkosaan bisa lebih “sadis”, merasa sudah ada “bantuan” dari pemerintah untuk meringankan beban korban.

Di samping itu, melihat praktik penegakan hukum di Indonesia, bisa saja PP ini menjadi jalan damai bagi pelaku tindakan seks bebas yang terkadang berbuah janin. Dalam arti, PP ini bukan menyelesaikan masalah, melainkan sekadar mengambil tindakan atas gejala-gejala yang ternyata bukan gejala tersebut yang menjadi masalah sebenarnya, Mungkin ini kekhawatiran yang berlebihan dari penulis, tetapi mestinya kita belajar dari yang sudah-sudah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar