Urgensi
Revolusi Pembelajaran
Saratri Wilonoyudho ; Anggota Dewan Riset Daerah
(DRD) Jawa Tengah
|
SUARA
MERDEKA, 28 Agustus 2014
"Akibatnya, banyak mahasiswa cenderung mencari ”selamat”
untuk bisa lulus ujian dengan hanya menghafal"
Pekan Ilmiah Mahasiswa
(Pimnas) berlangsung di Universitas Diponegoro Semarang tanggal 25-29 Agustus
2014. ”Tajuk Rencana” harian ini (SM, 26/8/14) mengkritik tentang
kebermanfaatan teori dan hasil penelitian di perguruan tinggi (PT). Sah-sah
saja namun harus ingat bahwa ”ketidakbermanfaatan” hasil penelitian di PT
bukan karena masalah mutu melainkan besar ketergantungan kita pada produk
asing.
Industrialisasi di
negeri ini tidak berakar dari hasil penelitian tapi hasil relokasi MNCs
asing. Namun bukan berarti pimnas tidak bermanfaat. Minimal diharapkan jadi
ujung tombak menumbuhkan kreativitas. Keluhan sudah mengalir deras mengingat
beberapa tahun terakhir tak ada perguruan tinggi Indonesia masuk daftar 500
besar perguruan tinggi di dunia.
Kemelemahan itu
berasal dari berbagai hal, dari keminiman anggaran, sarana, dan prasarana
pendukung, input mahasiswa yang belum baik, hingga sistem pembelajaran
konvensional. Kesibukan dosen mengajar di berbagai perguruan tinggi, ataupun
di lingkungan sendiri, bisa juga
menjadi penyebab.
Pembukaan kelas khusus
semisal ekstensi, reguler, kelas jarak jauh, dan kelas diploma menyebabkan
beban kerja dosen juga tinggi. Kelemahan ini diperparah oleh cara mengajar
yang konvensional, seperti berceramah, memutar LCD, atau memberi catatan
kuliah monoton. Akibatnya, mahasiswa cenderung mencari ”selamat” untuk lulus
ujian dengan cara menghafal.
Setidaknya ada tiga
kecenderungan utama yang terjadi di jagat kita. Pertama; globalisasi dan
perkembangan ekonomi. Kedua; peningkatan kesadaran etnis, kultural, dan
agama; Ketiga; transisi dari rezim otoritarian ke sistem politik demokrasi di
beberapa negara maju. Dari kecenderungan itu, di sisi lain muncul ketegangan,
kekerasan, dan benturan antarperadaban.
Meminjam istilah
Clifford Geertz, dunia pendidikan kita mengalami ”involusi”, yakni perumitan
bentuk dan macamnya, namun tak membawa perubahan berarti di sisi substansi.
Dari luar terlihat berkembang pesat, antara lain ditandai kemerebakan
kemunculan perguruan tinggi dan jurusan.
Keputusan Matang
Sesungguhnya itu
sekadar ”pelarian” dari banyak lulusan perguruan tinggi yang tidak
mendapatkan pekerjaan, kemudian beramai-ramai membikin sekolah. Padahal
mahasiswa harus menghadapi tantangan global yang kuat. Mereka perlu memiliki
satu atau lebih disiplin ilmu.
Konsekuensinya, mereka
harus meramu berbagai informasi untuk dapat mengambil keputusan matang, baik
untuk kehidupan pribadi maupun keprofesionalannya. Itulah yang disebut synthesizing mind. Kemembanjiran
informasi di dunia global hanya bisa ditaklukkan bila seseorang mampu meramu
berbagai informasi untuk mengambil keputusan yang matang.
Pribadi yang memiliki
dua modal tersebut akan mempunyai daya
cipta yang kuat, yang tidak mudah ”dikalahkan” oleh mesin dan komputer.
Ketiga kemampuan itu baru pada tahap kecerdasan intelektual. Realitasnya,
banyak pribadi memiliki IQ tinggi namun lemah dalam emosi dan spiritual.
Mereka mudah putus asa, dan tidak tahan banting ketika berhadapan dengan persoalan
pelik.
Karena itu, seseorang
juga perlu memiliki respectful and ethical mind agar memiliki rasa hormat terhadap individu
lain. Kelima aspek itu diharapkan membangkitkan rasa ingin tahu, kepekaan
terhadap tantangan/ persoalan baru, kepercayaan terhadap diri sendiri,
kesediaan untuk dialog, serta keberanian mengambil risiko. Sikap tersebut
merupakan landasan utama yang harus dimiliki peserta didik.
Bila Kemdikbud
menginginkan pimnas tidak hanya berhenti pada tataran rutinitas seremonial,
harus ada ”revolusi” pembelajaran di perguruan tinggi. Ikhtiar itu dapat
dilakukan dengan tidak hanya memperbaiki pengajaran atau teaching namun juga
memperbaiki kondisi pembelajaran atau condition
of learning. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar