Tingkatkan
Pelayanan Kesehatan Dasar
MG Retno Setyowati, Yan
Syahrial, Gianie ; Wartawan/Litbang
Kompas
|
KOMPAS,
29 Agustus 2014
PELAYANAN
kesehatan adalah hak dasar masyarakat. Setiap orang berhak mendapatkan
pelayanan dan perawatan kesehatan. Untuk itu, tugas pemerintah adalah
menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap individu hidup sehat alias
tersedianya pelayanan kesehatan yang memadai dan terjangkau untuk semua
anggota masyarakat.
Tantangan
utama untuk mewujudkan hal itu adalah menyediakan pelayanan kesehatan dasar
atau primary health care. Layanan dengan ujung tombak puskesmas ini adalah
penyediaan pelayanan terdepan kesehatan dasar, yakni pelayanan kesehatan yang
menjamin pelayanan kesehatan minimal masyarakat.
Dengan
fungsi memberikan layanan kesehatan dasar yang bersifat preventif,
berkesinambungan, dan dapat diakses oleh masyarakat luas, primary health care
menjadi dasar untuk membangun sistem kesehatan nasional yang memayungi semua
upaya kesehatan.
Dalam
bentuk layanan ini, puskesmas berperan memberikan pertolongan pertama kepada
masyarakat sesuai dengan standar pelayanan kesehatan. Warga didorong untuk
tidak langsung berobat ke rumah sakit, tetapi ke puskesmas terlebih dahulu.
Ini karena tidak semua penyakit harus ditangani dan dirujuk ke rumah sakit.
Dengan
demikian, setiap penyakit yang dikeluhkan pasien akan ditangani terlebih
dahulu secara komprehensif dari tingkat yang paling dasar sehingga
penghamburan pembiayaan kesehatan di tingkat pelayanan sekunder dan tersier
bisa ditekan. Akhirnya, penguatan pelayanan kesehatan di tingkat dasar
berkorelasi erat dengan peningkatan kualitas kesehatan masyarakat dan
efisiensi.
Bangunan
fisik puskesmas memang ada hampir di setiap kecamatan di Indonesia. Namun,
tak semua dalam kondisi layak untuk melayani masyarakat. Dari 9.599 puskesmas
di seluruh Indonesia, hanya 6.115 yang dalam keadaan baik. Selebihnya dalam
kondisi rusak ringan, rusak berat, hingga sama sekali tidak bisa digunakan.
Banyak puskesmas yang tidak memadai karena keterbatasan sarana, tenaga medis,
dan anggaran untuk menunjang kegiatan.
Selain
terbatasnya puskesmas yang layak, masalah dalam sistem rujukan pengobatan
berjenjang juga terkait dengan aspek wilayah. Selama ini, wilayah pengobatan
diklasifikasikan menjadi tiga daerah, yakni daerah perkotaan, pedesaan, serta
daerah terpencil atau sangat terpencil. Problemnya, koordinasi antarinstansi
kesehatan di daerah serta antara pusat dan daerah masih belum dibenahi hingga
ada peluang pasien telantar atau ditolak untuk berobat.
Problem desentralisasi
Para
peserta forum diskusi menilai, sulitnya koordinasi antara pemerintah yang
berbeda level antara lain diakibatkan oleh produk perundang-undangan.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dinilai telah
membatasi kewenangan pemerintah pusat melaksanakan pembangunan kesehatan
berbasis sistem secara nasional.
Jumlah
anggaran yang minim ikut merunyamkan sektor kesehatan. Anggaran kesehatan
yang belum mencapai 5 persen dalam APBN dan 10 persen dalam APBD belum
memadai untuk pembangunan fasilitas kesehatan di daerah, terutama rumah sakit
daerah dan puskesmas. Pada 2014, proporsi anggaran kesehatan di APBN hanya
3,8 persen. Realisasi alokasi anggaran kesehatan sesuai amanat Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan sebesar 5 persen sulit terwujud jika
melihat peningkatan anggaran kesehatan cenderung rendah. Anggaran yang sudah
minim ini pun disinyalir rentan dikorupsi.
Forum
diskusi juga menyoroti ketersediaan tenaga kesehatan setingkat dokter.
Persebaran dokter belum mengikuti persebaran rumah sakit. Saat ini ada
106.370 dokter umum. Dari jumlah itu, hanya 17.507 yang bekerja di puskesmas,
dibantu oleh 144 dokter spesialis. Sebagian besar dokter umum tidak berstatus
pegawai negeri sipil, yang artinya tidak bekerja di puskesmas ataupun di
rumah sakit. Para dokter pun kini cenderung memilih ”berkumpul” di rumah
sakit yang besar seiring kian menyusutnya minat untuk mengabdi di puskesmas.
Masalah
lain adalah harga obat yang mahal. Struktur industri farmasi di Indonesia
masih lemah. Pengolahan obat masih terfokus pada produksi formulasi dan belum
mampu memproduksi bahan kimia dasar yang menjadi bahan baku obat. Akibatnya,
bahan baku obat sering diimpor dari negara-negara maju. Industri farmasi
negeri ini sangat bergantung pada pemegang paten asing. Harga obat yang
tinggi juga disebabkan oleh belum berkembangnya riset farmasi sehingga tidak
dapat membantu munculnya penemuan obat-obatan baru, ditambah pula dengan
ongkos distribusi yang mahal.
Perbaikan
Untuk
mengatasi berbagai persoalan kesehatan dasar tersebut, forum diskusi
merekomendasikan sejumlah langkah. Pertama adalah pemberdayaan dan perbaikan
mutu layanan puskesmas. Tenaga kesehatan dan berbagai alat kesehatan
disediakan dalam jumlah yang memadai di puskesmas.
Mekanisme
rujukan yang terintegrasi secara nasional juga harus dibenahi. Perlu dibangun
atau ditetapkan rumah sakit rujukan regional sebelum akhirnya dilimpahkan ke
rumah sakit umum rujukan pusat yang kebetulan juga hanya ada satu di
Indonesia, yaitu Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.
Upaya
lain yang bisa dilakukan adalah menaikkan anggaran kesehatan pemerintah pusat
menjadi minimal 5 persen dari APBN. Pemerintah daerah juga didorong menganggarkan
dana untuk sektor kesehatan hingga 10 persen. Anggaran itu harus difokuskan
untuk pelayanan kesehatan dasar, terutama penguatan puskesmas sebagai penentu
nasib Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Data
dan sistem administrasi kependudukan harus menjadi acuan basis untuk
mendukung sistem JKN yang mulai diterapkan pemerintah awal tahun ini. Data
juga perlu untuk memperkirakan seberapa besar anggaran kesehatan yang efektif
bagi seluruh masyarakat.
Program
JKN harus dipastikan bisa terlaksana secara berkesinambungan. Jumlah
masyarakat penerima jaminan kesehatan harus terus ditingkatkan. Cakupannya
harus diperluas hingga ke tingkat desa, bahkan wilayah terpencil. Dengan
strategi ini, peningkatan akses kesehatan masyarakat akan terwujud dalam
pemerintahan periode mendatang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar