Simpang
Jalan Golkar
Indra J Piliang ; Direktur Eksekutif Sang Gerilya
Institute
|
KORAN
TEMPO, 30 Agustus 2014
Meski
Partai Golkar belum mengucapkan selamat kepada Jokowi-JK, pasangan ini telah
dikukuhkan Mahkamah Konstitusi sebagai pemenang pemilihan presiden. Golkar
sendiri mengalami gejolak yang hebat sejak lima tahun terakhir. Keadaan ini
terjadi akibat kekalahan dalam pemilu legislatif 2014.
Sebagai
juara kedua dalam pemilihan legislatif 2009-sama dengan pemilihan legislatif
2014-Jusuf Kalla bisa maju sebagai calon presiden 2009 dengan menjadikan
Wiranto sebagai calon wakil presiden. Hal ini berbeda dengan 2014, saat
Golkar tak berhasil memajukan Aburizal Bakrie (ARB) sebagai calon presiden.
Padahal, sejak Rapimnas 2012, ARB adalah satu-satunya calon presiden yang
diusung Golkar.
Keberhasilan
ARB adalah menjadi Ketua Koalisi Merah Putih (KMP) yang bersifat
"permanen" sampai 2019. Komunikasi yang dibangun ARB menempatkan Golkar
sebagai partai penyeimbang. Terdapat sinyalemen ARB akan maju menjadi Ketua
Umum Golkar periode 2015-2020. Kalau tidak, posisi politik Ketua KMP bisa
saja diubah oleh Ketua Umum Golkar yang baru.
Sekalipun
jadwal musyarawah nasional belum jelas, posisi ARB masih kuat dalam
mengendalikan Golkar di daerah-daerah. Bagi penganut paham
konstitusionalitas, jadwal Munas disesuaikan dengan Anggaran Dasar pasal 30:
"Musyawarah nasional adalah pemegang kekuasaan tertinggi partai yang
diadakan sekali dalam 5 (lima) tahun". Munas terakhir terjadi pada
Oktober 2009. Artinya, munas berikutnya berlangsung pada Oktober 2014.
Namun,
terdapat klausul dalam Munas VIII Riau 2009 bahwa masa jabatan kepengurusan
bisa diperpanjang sampai 2015. Klausul itu hanya berupa rekomendasi yang
belum memiliki kekuatan hukum. Idealnya, kalau memang klausul itu diterima
sebagai keputusan Munas VIII, hal itu akan dimasukkan dalam "aturan
peralihan" dalam Anggaran Dasar. Faktanya, klausul itu sama sekali tidak
ditandatangani pimpinan sidang, berbeda dengan dokumen-dokumen lainnya.
Pernyataan politik Partai Golkar saja ikut ditandatangani oleh pimpinan
sidang.
Kalau
hanya sekadar unjuk kekuatan, perbedaan pendapat soal Munas 2014 atau 2015
ini berakibat fatal bagi Golkar. Yang diperebutkan adalah suara DPD I guna
menggelar munas luar biasa. Kalau ini yang terjadi, Golkar bisa saja memiliki
kepengurusan kembar yang masing-masing berpegang pada AD-ART. Padahal, bukan
zamannya lagi untuk memecah Golkar, yang setiap lima tahun "melahirkan"
partai baru.
Munas
2015 lemah secara hukum dan politik. Klausul itu ditujukan untuk menghadapi
pilpres yang diikuti kader yang diusung Golkar, untuk putaran pertama,
apalagi putaran kedua. Dalam pilpres 2009, tokoh-tokoh utama Golkar bukan
berkonsentrasi pada pilpres, melainkan pada penggalangan dukungan suara untuk
menjadi Ketum Golkar dalam Munas 2009. Mesin Golkar tak berjalan maksimal
guna memenangkan JK-Wiranto. Dalam pilpres 2014, kader Golkar yang maju
hanyalah JK dan berlangsung satu putaran.
KMP
sudah menyatakan diri sebagai penyeimbang pemerintah Jokowi-JK. Dengan
diketuai oleh ARB, KMP berarti dipimpin Golkar. ARB akan kehilangan
legitimasinya, begitu juga KMP, apabila dia tidak lagi menjadi ketua umum.
Sasaran pertama KMP tentulah jabatan Ketua DPR, Ketua MPR, dan jabatan
strategis lainnya. Dengan UU MD3 (MPR, DPR, DPD, dan DPRD) yang baru, KMP
dengan mudah bisa mengambil pucuk-pucuk pimpinan di lembaga legislatif.
Soliditas
KMP bisa dicatat sebagai yang terbaik, dibanding pada dua pilpres sebelumnya.
KMP tetap tak goyah dalam mengalihkan dukungan terhadap pemerintah Jokowi-JK,
setelah MK mengetuk palu. Beberapa partai politik disebut bakal bergabung
dengan koalisi yang dipimpin oleh PDI Perjuangan. Tapi hal ini baru sebatas
wacana.
Perkembangan
terakhir ditunjukkan oleh Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang
Yudhoyono. SBY memberi sinyal sebagai poros ketiga. Padahal, dalam sepuluh
tahun terakhir, Golkar-lah yang berada di posisi itu, yakni menjadi partai
tengah guna menyeimbangkan poros kiri (oposisi) dan kanan (pemerintah). Dalam
masalah pengurangan subsidi bahan bakar fosil, terlihat sekali Jokowi-JK
memerlukan dukungan SBY, alih-alih KMP.
Bakal
terjadi "permainan" segitiga politik dalam lima tahun ke depan.
Konsentrasi penuh Jokowi-JK menjalankan pemerintahan dihadapkan dengan tiga
kekuatan politik di DPR. Jangan lupa, MPR juga akan mendapatkan peran lebih
besar. Sinyalemennya sudah tampak, yakni mendelegitimasikan rezim Jokowi-JK.
Walau tidak akan sampai pada tindakan pemakzulan, seperti era Presiden
Abdurrahman Wahid, kekuatan MPR bisa lebih banyak digunakan untuk menekan
Jokowi-JK.
Tinggal
ketangguhan kepemimpinan Jokowi-JK yang ditunggu, dari sisi kekompakan
ataupun dukungan dari partai-partai politik pengusung, relawan, dan
individu-individu yang berkarakter kuat dan sekaligus berani. Pilihan
prioritas kebijakan akan sangat menentukan bagi dukungan publik terhadap
rezim Jokowi-JK. Apabila pilihan-pilihan itu ternyata memunculkan sentimen
negatif, KMP dengan mudah mendapatkan panggung politik dengan segala
armadanya yang sudah dipersiapkan dengan rapi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar