Rekonsiliasi
Pascapilpres
Agust Riewanto ; Program Pascasarjana Ilmu Hukum
Universitas
Sebelas Maret (UNS) Surakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 27 Agustus 2014
MAHKAMAH Konstitusi
(MK) telah melakukan proses persidangan gugatan hukum sengketa hasil Pilpres
2014 yang diajukan oleh kubu pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dengan
putusan menolak seluruh permohonan dan mengukuhkan kemenangan Joko Widodo-HM
Jusuf Kalla sebagai presiden terpilih RI dalam Pilpres 2014. Putusan hukum MK
bersifat final dan mengikat sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 10 ayat (1)
dan Pasal 47 UU No 24/2003 sebagaimana diubah dengan UU No 8/2011 Tentang
Perubahan UU No 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Proses persidangan MK
ini telah berlangsung secara transparan dan akuntabel. Ini memperlihatkan
bahwa MK memiliki konsistensi untuk menyelesaikan sengketa pilpres lewat
jalan demokrasi yang semakin dilembagakan melalui mekanisme supremasi hukum.
Ini juga menunjukkan manifestasi akan kematangan dan pelembagaan demokrasi di
Indonesia.
Seluruh rakyat
Indonesia harus mendukung sepenuhnya pada presiden dan wakil presiden
terpilih sebagai pemimpin politik. Dukungan rakyat ini memiliki arti penting
untuk memperkuat basis legitimasi sosiologis bagi keberhasilan pemerintahan
Jokowi-JK dalam memajukan dan memakmurkan bangsa lima tahun ke depan.
Momentum rekonsiliasi nasional
Saat ini adalah
momentum tepat untuk melakukan rekonsiliasi nasional antara pemenang dan yang
kalah dalam Pilpres 2014. Sebagai pemenang Pilpres 2014 Jokowi memiliki
otoritas yang kuat untuk merangkul yang kalah. Sebaliknya, kubu yang kalah
pun seharusnya memiliki jiwa besar untuk dapat menerima kekalahan dan
bersedia mengakhiri semua proses politik dan hukum pascaputusan MK.
Karena itu, komunikasi
dan dialog demokrasi perlu diintensifkan untuk mencairkan ketegangan yang mengarah
pada potensi konflik yang sempat muncul selama proses Pilpres 2014. Di
sinilah relevansi gagasan Paul Lederach (2003) dalam The Little Book of Conflict Transformation yang memaparkan
model rekonsiliasi dalam mengakhiri konflik. Dalam konteks rekonsiliasi
pasca-Pilpres 2014 dapat dilakukan model rekonsiliasi melalui tiga lapis;
lapis atas, menengah, dan bawah dengan pendekatan rekonsiliasi yang
berbeda-beda.
Rekonsiliasi elite
Pertama, rekonsiliasi
pada lapis atas atau model negosiasi tingkat tinggi. Dilakukan dengan cara
melakukan dialog antara elite politik dan masing-masing parpol penyokong
capres untuk menemukan jalan damai guna mengakhiri semua konflik dan potensi
konflik melalui aneka model perilaku politik yang dapat disepakati bersama.
Ini dapat ditempuh melalui jalur negosiasi, kompromi, dan kerja sama
(koalisi) yang elegan dalam membawa perubahan haluan bangsa menuju cita-cita
besar kesejahteraan, kemakmuran, dan keadilan rakyat.
Merajut relasi dan
rekonsiliasi antarelite ini dapat dimulai dengan memanfaatkan momentum
pembentukan dua blok koalisi antarparpol di DPR antara parpol propemerintah
Jokowi dan parpol oposisi, serta pembentukan struktur dan postur kabinet
kementerian yang sedang dilakukan oleh Jokowi. Kejelasan sikap berpolitik di
DPR RI antarparpol penyokong setiap capres dalam koalisi pemerintah atau
koalisi oposisi ini sangat penting dilakukan sebagai manifestasi bagi
jalannya sistem pemerintahan presidensial efektif ke depan. Sebab, seperti
diingatkan oleh Juan J Linz (1992) dalan The
Perils of Presidensialism, bahwa seorang pemimpin politik dalam sistem
pemerintahan presidensial akan berpotensi menjadi otoriter bila tidak
dimbangi dengan hadirnya partai oposisi yang kuat.
Karena itu, justru
pemerintahan Jokowi akan kuat jika disokong pula oleh partai oposisi yang
kuat.Partai oposisi diperlukan untuk melakukan kontrol dan koreksi atas
jalannya pemerintahan agar selalu berada dalam jalur yang tepat, sesuai
konstitusi. Sebaliknya bagi pemerintah, hadirnya partai oposisi menjadi
penting bagi mitra bestari dalam adu gagasan dan program untuk mewujudkan
visi dan misinya sebagai presiden terpilih.
Rekonsiliasi menengah
Kedua, rekonsiliasi
dan dialog lapis tengah dapat dilalukan melalui aneka model ajakan untuk
menyatukan ide dan gagasan membangun bangsa sebagai tanggung jawab bersama
terutama antarlapisan menengah masyarakat Indonesia. Kategori lapisan
masyarakat menengah ini dapat dinisbahkan pada aneka organisasi kelompok
kepentingan mulai media cetak dan elektronik, organisasi profesi, organisasi
sosial politik, organisasi lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang
berseberangan dalam pilihan politik capres yang berbeda untuk saling mencari titik-titik
temu untuk menegosiasikan dan mendialogkan aneka perbedaan kepentingan selama
proses Pilpres 2014. Guna bergerak menuju pilihan politik yang tepat
pascapilpres, apakah akan tetap menyokong kubu Prabowo Subianto sebagai manifestasi
kelompok oposisi atau berpihak pada kubu Jokowi dalam gerbong penguasa
politik atau sebaliknya berada dalam posisi tidak berpihak pada keduanya
(netral).
Pilihan model dan
sikap politik ini perlu dilakukan untuk memperjelas aksentuasi dan pilihan
cara untuk mengartikulasikan aneka kepentingan sejumlah kelompok ini. Sebab,
dalam politik semua kelompok kepentingan memiliki model dan cara tersendiri
dalam melakukan kerja-kerja ideal dalam bersumbangsih membangun bangsa. Karena
itu, rekonsiliasi lapisan kelompok menegah terutama media (cetak dan
elektronik) ini menjadi penting, karena bukan saja akan memiliki tingkat
pengaruh yang besar terhadap kinerja jalannya pemerintah, melainkan juga
berpengaruh terhadap kinerja semua komponen bangsa.
Rekonsiliasi akar rumput
Ketiga, rekonsiliasi
antara lapisan bawah dan akar rumput dari pendukung kedua capres. Kelompok
masyarakat yang dapat dikategorikan lapis bawah ini ialah para relawan
penyokong yang jumlahnya relatif banyak dan rata-rata berada dalam lapis
masyarakat yang tak terorganisasi secara rapi, tetapi memiliki pengaruh yang
cukup kuat terhadap preferensi pilihan rakyat pada kedua capres ini.
Model rekonsiliasi
yang dapat dibangun ialah membangun komunitas dialogis antarkelompok relawan
untuk menegosiasikan aneka perbedaan pilihan politik dalam bentuk kerja sama
menyampaikan informasi, ide, dan gagasan presiden terpilih atau sebaliknya
ide dan gagasan kelompok oposisi pada masyarakat akar rumput. Ini dimaksudkan
untuk memperkuat hadirnya civil society yang kuat untuk peduli terhadap
persoalan bangsa dan negara sebagai manifestasi pendidikan politik.
Untuk mewujudkan
rekonsilasi nasional pascapilpres ini Jokowi sebagai pemenang Pilpres 2014
perlu menempatkan dirinya sebagai negarawan sejati. Pemimpin politik dapat
dikatakan telah sampai pada derajat negarawan ketika memiliki rasa
nasionalisme dan cinta bangsa dan negaranya melebihi dirinya, kelompok,
golongan, dan partainya. Seperti dinyatakan oleh Manuel L Quezon, Presiden
Persemakmuran Filipina (1935-1944), “Loyalty
to my party ends when loyalty to my country begins.“ (Loyalitas pada partai politik saya
berakhir saat loyalitas pada negara dimulai). Artinya Jokowi harus
menegaskan kepada tiga lapis masyarakat itu bahwa ia bukan lagi miliki partai
politik penyokongnya. Kini ia milik bangsa.
Untuk mewujudkan mimpi
rekonsiliasi nasional dan mengakhiri ketegangan karena perbedaan pilihan
politik pasca-Pilpres 2014, prakarsa kultural sederhana dan merakyat Jokowi
dengan memopulerkan ‘salam tiga jari’ dan pelarangan penggunaan simbol baju
kotak-kotak pada konstituen politiknya perlu dikembangkan ke dalam struktural
dan sistematis, berupa komitmen untuk mencintai, melindungi, dan mengayomi
semua warga bangsa tanpa kecuali dalam wujud nyata. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar