RAPBN
2015 dan Transisi Kekuasaan
Ahmad Erani Yustika ; Guru Besar Fakultas Ekonomi dan
Bisnis
Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef
|
KORAN
SINDO, 27 Agustus 2014
Pada
15 Agustus lalu presiden telah membacakan RUU APBN 2015 beserta nota
keuangannya di depan anggota DPR. Postur RAPBN 2015 menyentuh angka Rp2.000
triliun (tepatnya Rp2.020 triliun). Jumlah ini terlihat sangat besar, namun
sebetulnya jika dibandingkan dengan PDB yang sekitar Rp10.500 triliun tahun
depan, anggaran itu kurang dari 20%.
Sungguh
pun begitu, dari sisi penerimaan jumlah yang direncanakan hanya Rp1.762,3
triliun sehingga seperti tahun-tahun sebelumnya anggaran 2015 masih didesain
defisit sebesar Rp257,6 triliun (2,32% terhadap PDB). Demikian pula, anggaran
tahun depan juga mengalami defisit keseimbangan primer (jumlah penerimaan
lebih kecil ketimbang pengeluaran di luar pembayaran utang), jumlahnya
sebesar Rp103,5 triliun. Situasi ini terjadi sejak 2012 dan terus membesar
hingga tahun depan.
Asumsi
Makroekonomi
Data
di atas menunjukkan bahwa pemerintah harus melakukan utang lagi tahun depan
sebesar defisit tersebut, baik yang bersumber dari luar maupun dalam negeri.
Informasi lain yang bisa disampaikan menyangkut porsi belanja pemerintah
pusat sebesar Rp1.379,9 triliun dan transfer ke daerah dan dana desa Rp640
triliun. Dari sisi penerimaan, penerimaan perpajakan diharapkan menyumbang
Rp1.370,8 triliun dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) Rp388 triliun.
Ini
berarti tahun depan rasio pajak terhadap PDB (tax ratio) ditargetkan masih rendah seperti tahun-tahun
sebelumnya yang selalu pada kisaran 12%. Sementara asumsi pertumbuhan ekonomi
adalah 5,6%, inflasi 4,4%, suku bunga SPN 3 bulan 6,2%, nilai tukar
Rp11.900/dolar AS, harga minyak mentah Indonesia (ICP) 105 dolar AS/barel/hari,
dan lifting minyak mentah 845 ribu barel/hari. Titik krusial dalam RAPBN 2015
adalah pos subsidi yang mencapai Rp433 triliun. Subsidi energi memakan porsi
paling besar (Rp363 triliun) dan nonenergi Rp70 triliun.
Subsidi
energi itu dibagi menjadi subsidi minyak (Rp291 triliun) dan listrik (Rp72
triliun). Sebaliknya, pos belanja yang dialokasikan untuk belanja modal
sebesar Rp206 triliun. Hampir pasti pemerintahan baru akan merevisi subsidi
ini, khususnya minyak, sehingga akan memengaruhi pencapaian asumsi
makroekonomi (di samping realokasi belanja). Jika harga minyak dinaikkan,
inflasi 4,4% menjadi tidak realistis. Tiap kenaikan harga minyak Rp1.000/
liter diperkirakan inflasi akan naik 1,0-1,2%. Demikian pula pertumbuhan
ekonomi juga akan tertekan seiring kenaikan tingkat suku bunga yang tentu
saja akan menekan pertumbuhan investasi.
Sementara
asumsi nilai tukar sebetulnya juga rentan berubah bila inflasi meningkat yang
mengakibatkan nilai tukar akan tertekan. Tahun depan rasanya pemerintah
(baru) juga sulit untuk mencapai lifting minyak sebesar itu, paling tinggi
pada kisaran 820 ribu barel/hari. Jika asumsi lifting berubah, jumlah impor
minyak akan bertambah dan menyebabkan kenaikan jumlah subsidi.
Dengan
mengandaikan kenaikan harga minyak Rp1.000/ liter, tahun depan diperkirakan
inflasi akan mencapai 5,5-6%, nilai tukar berpotensi menembus Rp12.000/ USD,
danpertumbuhan ekonomi tertekan ke level 5,3% saja. Apabila harga minyak
dinaikkan Rp2.000/liter, inflasi bisa mencapai 7% dan pertumbuhan ekonomi
tertekan menjadi 5,0%. Pilihan-pilihan sulit ini yang akan diambil pemerintah
dengan manfaat di satu sisi dan ongkos di sisi yang lain.
Program
Strategis
Apa
yang bisa dilakukan pemerintah mendatang agar anggaran lebih sehat dan berdaya?
Isu pokok yang harus dijawab adalah mengembalikan keseimbangan primer. Dengan
begitu, paling tidak dibutuhkan peningkatan penerimaan sebanyak Rp103,5
triliun atau penghematan sebesar itu. Menambah penerimaan sebesar itu rasanya
sulit karena membutuhkan waktu dan upaya yang lebih keras. Demikian pula,
PNBP juga tak mudah ditingkatkan. Jika dilakukan upaya yang sangat serius,
mungkin hanya bisa diperoleh kenaikan penerimaan sebesar Rp90-100 triliun.
Dengan
begitu, penghematan merupakan pilihan yang mesti diambil. Apa yang dapat
dihemat? Beberapa pos yang bisa dikurangi adalah belanja barang, program yang
tumpang tindih dan bukan prioritas, perjalanan dinas, pengurangan fasilitas
pejabat, dan sebagainya. Dari sini bisa dihemat Rp30-40 triliun. Apabila skenario
di atas berjalan, keseimbangan primer akan bisa dicapai sehingga defisit
anggaran tinggal 1,5%. Meskipun belum ideal, defisit itu masih dapat diterima
pada tahun pertama transisi kekuasaan. Persoalannya, kualitas alokasi belanja
masih buruk karena belanja terkait motor pembangunan seperti belanja modal
sangat sedikit.
Apa
yang bisa dilakukan lagi? Tak ada cara lain, kecuali mengurangi subsidi
(meski tak harus menaikkan harga minyak). Jika targetnya subsidi minyak
tinggal Rp150 triliun, dapat ditambahkan ke belanja modal sehingga akan
menjadi Rp300-an triliun. Sebelum kebijakan ini diambil, sebaiknya pemerintah
menangani dulu masalah penyelundupan dan mafia impor minyak. Jika ini sukses,
resistensi rakyat terhadap kebijakan penghematan atau kenaikan harga tidak
akan terlalu besar. Pekerjaan rumah terakhir yang masih dapat dilakukan
adalah merevisi program sesuai janji pemerintahan terpilih.
Isu
yang harus masuk adalah pengarusutamaan pembangunan maritim, alokasi dana
desa sesuai perintah undang-undang, reforma agraria, mitigasi liberalisasi
perdagangan (khususnya Masyarakat Ekonomi ASEAN), dan desain skema jaminan
sosial semesta (termasuk di dalamnya pendalaman subsidi kesehatan,
pendidikan, perumahan, pengangguran, dan lain-lain). Tentu saja program itu
tak akan diselesaikan tahun depan, namun sudah harus dirintis sejak dini
karena menyangkut janji yang telah diikrarkan. Kendala yang dihadapi juga
banyak, terutama desain anggaran sudah dirumuskan oleh pemerintah sebelumnya.
Namun, segala soal itu bisa dikelola selama terdapat komitmen yang utuh dan
ketulusan hati. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar