Politik
Ruang Fiskal dan Subsidi BBM
Mohamad Ikhsan Modjo ; Ekonom Senior, Ketua DPP Partai
Demokrat
|
KORAN
SINDO, 29 Agustus 2014
Persoalan
ruang fiskal dan beban subsidi bahan bakar minyak (BBM) kembali menjadi
perdebatan hangat di Tanah Air, sebagai akibat munculnya kelangkaan dan
antrean BBM di beberapa daerah.
Bila
dirunut dari perjalanannya, kelangkaan BBM bersubsidi di beberapa kota,
terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur, terjadi karena diambilnya langkah
pengendalian konsumsi BBM bersubsidi oleh Pertamina berupa pengurangan jatah
BBM bersubsidi di setiap SPBU sebesar 5%. Langkah pengendalian ini sendiri
merupakan antisipasi dari realisasi konsumsi BBM bersubsidi yang mencapai
22,9 juta kiloliter selama semester I/2014. Dari realisasi semester satu ini
diprediksikan angka konsumsi BBM bersubsidi hingga akhir tahun bisa mencapai
47,261 juta kiloliter.
Yang
berarti, melebihi kuota Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan
(APBN-P) 2014 yang ditetapkan sebesar 46 juta kiloliter. Pada saat yang sama,
kelangkaan akibat langkah pengendalian PT Pertamina ini juga diperparah oleh
desakan dari Rumah Transisi Presiden dan Wakil Presiden terpilih Joko Widodo
(Jokowi) dan Jusuf Kalla (JK) ke pemerintah SBY-Boediono untuk menaikkan
harga BBM secepatnya. Desakan ini menimbulkan spekulasi di masyarakat bahwa
harga BBM bersubsidi akan dinaikkan secepatnya, yang menimbulkan panic buying dan penimbunan BBM
bersubsidi di masyarakat.
Maka
tidak mengherankan di banyak tempat muncul antrean panjang, bahkan disinyalir
hilangkan BBM bersubsidi dari SPBU. Seruan menaikkan harga BBM bersubsidi
dari Rumah Transisi, sebagaimana dijelaskan Presiden terpilih Joko Widodo,
didasarkan kebutuhan atas satu ruang fiskal yang besar bagi pemerintah
terpilih nanti untuk menjalankan program-programnya. Lebih lanjut, ruang
fiskal ini dirasakan menyempit akibat adanya peningkatan jumlah subsidi BBM
dalam RAPBN 2015 sebesar Rp 44,6 triliun, hingga mencapai Rp363,53 triliun.
Jadi
sebenarnya seruan Rumah Transisi ini lebih menyorot RAPBN 2015, yang kini
tengah dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat, bukan terhadap APBN-P 2014. Namun
merujuk pada hasil pertemuan kedua pemimpin di Bali (27/8), desakan untuk
menaikkan harga BBM ini tidak digubris. Pemerintahan Susilo Bambang
Yudhoyono-Boediono bertekad untuk tidak menaikkan lagi harga BBM bersubsidi
hingga akhir masa pemerintahannya pada 20 Oktober 2014 nanti. Beberapa alasan
kuat yang dimiliki Presiden SBY adalah sebagai berikut: Pertama, harga BBM
bersubsidi sudah dinaikkan oleh pemerintah pada Juni 2013.
Dampak
dari kenaikan ini adalah lonjakan inflasi dan jumlah penduduk yang hidup di
dalam kemiskinan (lonjakan 0,72% dari perkiraan). Maka bila dipaksakan adanya
kenaikan lagi pada 2014, sudah hampir bisa dipastikan hal yang sama akan
terulang: inflasi akan meningkat begitu juga angka kemiskinan, yang berujung
pada tambahan penderitaan rakyat. Kedua, pemerintahan SBY juga sudah
menaikkan harga tarif dasar listrik (TDL) dan berencana menaikkan harga LPG
12 kilo dalam waktu dekat pada tahun ini.
Kedua
hal ini dipastikan akan memicu tingkat kenaikan harga-harga dan menambah
beban kehidupan rakyat. Karena itu, pemerintah tidak sampai hati untuk
menambahnya dengan menaikkan harga BBM bersubsidi. Ketiga, sejatinya dari
kedua hal ini saja, kenaikan TDL, dan harga LPG 12 kilo, sudah terdapat ruang
fiskal yang lebih dari cukup hingga akhir tahun. Sehingga tidak semestinya
menggunakan alasan ini sebagai argumen menaikkan harga BBM bersubsidi pada
APBN-P 2014.
Keempat,
terkait dengan APBN-P 2014, keputusan mengurangi kuota BBM bersubsidi dari 48
juta ke 46 juta kiloliter merupakan keputusan yang diambil bersama oleh
pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat, yang di dalamnya juga terdapat
fraksifraksi pendukung Jokowi-JK. Maka sebelum mendesakkan kenaikan harga BBM
pada pemerintah SBY, ada baiknya Jokowi menanyakan terlebih dahulu ke
partai-partai pendukungnya, termasuk ke Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
yang dahulu selalu menolak kenaikan harga BBM, apakah setuju dengan usulan
kenaikan ini?
Kelima,
dalam APBN-P 2014 juga sesungguhnya terdapat catatan resmi yang memungkinkan
pemerintah memasok BBM bersubsidi ke masyarakat lebih dari kuota yang
ditetapkan sebesar 46 juta kiloliter. Akibatnya, lonjakan kuota seharusnya
permasalahan yang harus dibesar-besarkan. Sementara kekurangan anggaran yang
disebabkan lonjakan kuota ini, yang diperkirakan di dalam kisaran Rp35-38
triliun bisa ditutupi dari sisa anggaran lebih (SAL) APBN yang setiap
tahunnya di kisaran Rp40-50 triliun, atau mengurangi lebih lanjut
anggaran-anggaran kementerian/lembaga yang ada. Keenam, dalam hal RAPBN 2015.
Pemerintahan
SBY sudah mengalokasikan kuota BBM bersubsidi yang lebih dari cukup sebesar
48 juta kiloliter pada 2015. Di mana alokasi ini seharusnya cukup sampai
dengan akhir 2015 tanpa perlu melakukan menaikkan harga. Dengan kata lain,
pemerintah SBY tidak meninggalkan bom waktu kebutuhan menaikkan harga subsidi
BBM dengan memberikan pilihan opsi yang luas pada pemerintahan mendatang.
Tentu saja pilihan yang diambil nanti tergantung pada pertimbangan politik
Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla kelak.
Ketujuh,
dengan momentum dan dukungan politik yang masih hangat dari rakyat, sungguh
sangat disayangkan bila presiden dan wakil presiden terpilih mereduksi
pilihan kebijakan yang akan diambil semata-mata menjadi menaikkan harga BBM
atau tidak. Ada banyak pilihan dan alternatif kebijakan yang bisa diambil,
baik dalam jangka pendek maupun menengah untuk mengatasi lonjakan subsidi
tanpa menaikkan harga. Apalagi dalam visi dan misinya, saya tidak mengingat
pasangan terpilih ada menyebutkan akan menaikkan harga BBM.
Yang
saya ingat mereka akan melakukan konversi ke gas dan pembangunan
infrastruktur, sebagai satu alternatif mengurangi subsidi BBM. Tentu saja
menjadi hal yang patut dipertanyakan mengapa sekonyong-konyong terjadi
perubahan pemikiran? Alhasil, bisa disimpulkan bahwa pemerintahan
SBY-Boediono memiliki alasan yang sangat kuat untuk mempertahankan harga BBM
bersubsidi hingga pengujung masa baktinya pada 20 Oktober 2014.
Desakan
untuk menaikkan harga BBM bersubsidi dari presiden terpilih hanya meningkatkan
tensi suhu politik yang bukan pada tempatnya, dan malah bisa menjadi bumerang
dalam perjalanan mereka selanjutnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar