Politik
Pembaruan PKB
Fathorrahman Hasbul ; Peneliti pada Media Literacy
Circle (MLC) Prodi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora, UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta
|
REPUBLIKA,
29 Agustus 2014
Pada tanggal 30 Agustus - 1 September ini, Partai Kebangkitan
Bangsa (PKB) akan menggelar muktamar di Surabaya. Bagi pertai besutan Cak
Imin ini, muktamar adalah agenda besar yang tidak saja berbicara relasi
kekuasaan, tetapi agenda untuk merumuskan platform pembaruan politik. Politik
rahmatan lil alamin adalah pilihan politik yang akan dirumuskan secara
strategis. Entah dalam kerangka apa tema tersebut diambil, namun yang pasti
naiknya suara PKB dan menangnya pasangan Jokowi-JK adalah contoh nyata
bagaimana strategi politik PKB benar-benar tidak bisa dipandang sebelah mata.
PKB adalah salah satu partai Islam yang memiliki napas
nasionalisme, pluralitas, dan semangat kebhinekaan yang kuat. Di dalamnya
termanifestasikan dimensi keislaman dan keindonesiaan yang berjumpa dalam
satu gugus limaslahatil ummah (kebaikan bersama) dalam bingkai negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Terbukti meskipun PKB acap kali diempas
gelombang berupa resentasi dan intimidasi tetapi, tetap lihai memberikan
afirmasi positif dan tampil sebagai partai dewasa.
Namun, barang tentu keberhasilan tersebut bukan tanpa masalah.
Peningkatan jumlah suara hendaknya tidak membuat PKB jemawa. Karakter politik
Indonesia adalah politik instrumental yang acap kali mengaburkan sebuah nilai
demi kepentingan parsial. Relasi politik PKB dengan seluruh konstituen pada
Pemilu 2014 tidak sebatas dipahami sebagai murni konstituen tradisional NU, tetapi juga tidak menutup
kemungkinan adanya pemilih pragmatis yang
tidak didasarkan pada rasionalitas sebuah ideologi dari partai politik
tertentu. Model pemilih sejenis ini bisa berubah sesuai arah politik yang
berkembang.
Robert Kennedy (1976) mengatakan, dalam sistem politik negara
berkembang, politik adalah utopia tentang peremajaan kekuasaan yang tidak
akan pernah berakhir. Kekuasaan jenis inilah yang akan melahirkan kebijakan utopis di republik
ini. Sehingga, tak pelak mayoritas partai politik akan menisbatkan dirinya
dalam lingkaran politik yang hanya mengejar keuntungan pragmatis. Imajinasi
semacam ini pada titik tertentu akan menciptakan paradoks politik yang tidak
sehat. PKB sebagai partai berbasis Islam dan tradisi khas Indonesia dengan
logika politik tradisional NU semestinya menjadi pelopor politik yang
bermartabat. Naluri politik yang telah
dibangun PKB dengan asas religius dan nasionalis dengan branding politik
"membela yang benar"' harus membumi menjadi kerangka kerja
kepartaian.
Persolan mutakhir
Dari sinilah tanggung jawab PKB benar-benar dipertaruhkan.
Euforia dan posisi Gus Dur yang pada Pemilu 1999 dan 2004 semata-mata membuat
PKB jemawa tidak lagi melambung tinggi. Konflik Gus Dur versus Cak Imin telah
membuat haluan PKB berubah drastis. Tidak mengandalkan Gus Dur sebagai tokoh
mungkin bukan perkara mudah bagi PKB, tetapi setidaknya PKB tanpa Gus Dur
telah menunjukkan kebangkitan gemilang. Reformasi struktur, gagasan
kebangsaan, dan gerakan nyata merupakan deretan pembaruan yang mesti
dilakukan. Sebab, hari ini PKB tengah dihadapkan pada beberapa persoalan krusial.
PKB masih dipersepsikan sebagai partai kaum Nahdliyin yang jauh
dari jangkauan kaum elite dan kelas menengah ke atas. Representasi sebagai
partai berbasis warga NU sedikit memicu ketegangan politik sektarian dalam
imajinasi kolektif masyarakat Indonesia yang majemuk. Imajinasi dan persepsi
ini muncul karena platform PKB selama ini kurang mencerminkan sikap
akomodatif di luar internal konstituen NU.
Pada konteks yang sama, dalam peta segmentasi politik nasional,
posisi PKB masih berada pada ruang ideologis yang masih sempit, yakni Islam
tradisionalis. Sehingga, persepsi keislaman yang dibangun masih Islam kaum
sarungan, sedangkan lintas kelompok Islam yang lain masih kurang tersentuh
oleh PKB secara holistik. Sehingga, berpotensi memicu kecemburuan dari
aliran-aliran Islam yang ada.
Komunikasi pluralitas
Dinamika politik PKB harus tampil ke permukaan dengan semangat
yang benar-benar nyata. Semangat Islam
dan politik yang rahmatan lil alamin. Meningkatnya suara PKB pada Pemilu 2014
menjadi starting point dalam berbenah dan kemudian melakukan agenda strategis
yang taktis.
Pertama, revitalisasi ideologi pluralisme. Melalui jalan ini PKB
harus selalu menjaga dan meneguhkan kembali nilai dan prinsip ideologi yang
majemuk, inklusif, dan merangkul semua golongan sesuai dengan setting
kebhinekaan Indonesia. Kemajemukan dan perbedaan tersebut kemudian dikukuhkan
dalam satu visi, cita-cita hidup, semangat demokrasi, untuk membangun
Indonesia yang bermartabat, berkeadilan, dan berkeadaban lahir dan batin.
Kedua, menajamkan komunikasi, sosialisasi, dan internalisasi
ideologi pluralisme menjadi condition sine qua non. Upaya-upaya ini patut dilakukan oleh PKB dan ditransmisikan
kepada seluruh kader, konstituen, dan masyarakat luas. Komunikasi dan
sosialisasi ideologi tersebut dilakukan dalam desain pendidikan politik untuk
menciptakan partisipasi dan kesadaran publik.
Ketiga, intensifikasi komunikasi ke arus bawah. Sebagai partai
yang menjunjung semangat pluralitas, PKB semestinya melakukan langkah yang
riil dalam mendorong implementasi pluralitas di tengah-tengah kehidupan
masyarakat arus bawah, masyarakat yang mudah digesek dan diprovokasi.
Semangat untuk terus membangun komunikasi pluralitas yang
intensif menjadi salah satu tolok ukur politik pembaruan PKB. Politik yang
menjunjung semangat advokasi dan tradisi dalam kerangka mendorong martabat
politik Indonesia lebih bersemi. Sebab, kemenangan politik yang hakiki tidak
dapat diukur dari sejauh mana peningkatan jumlah pemilih dalam setiap pemilu,
melainkan oleh berhasilnya membangun kebhinekaan, keadaban, dan kemajemukan
dalam bingkai NKRI secara berkesinambungan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar