Perebutan
Ruang Kota
dalam
Bisnis Transportasi Publik di Jakarta
Fariz Panghegar ; Alumni FISIP Universitas
Indonesia, Depok
|
INDOPROGRESS,
22 Agustus 2014
SEJATINYA, sejak tahun 2004 Pemerintah DKI
Jakarta telah berupaya membenahi sistem transportasi publik yang beroperasi
di jalan. Jalan yang ditempuh adalah modernisasi moda transportasi publik
dengan menghadirkan bus transjakarta, angkutan perbatasan terintegrasi busway
(APTB), bus kota terintegrasi Busway (BKTB). Namun upaya pemerintah untuk
memodernisasi layanan transportasi publik tidak berjalan dengan mulus karena
adanya penolakan dari pelaku usaha moda transportasi lama, seperti pengusaha
angkutan kota (angkot).
Sepanjang tahun 2012 hingga awal tahun 2014
saja, telah terjadi tiga insiden penolakan keberadaan moda transportasi APTB
dan BKTB di Jakarta dan kota sekitarnya. Tahun 2012 dan 2013, awak angkutan
di kota Bekasi dan Bogor menolak keberadaan APTB jurusan Bekasi-Pulogadung
dan Bogor-Rawamangun (Kompas, 2012; 2013). Pada awal tahun 2014, giliran awak
perusahaan angkutan Koperasi Wahana Kalpika (KWK) menolak keberadaan BKTB
jurusan Pantai Indah Kapuk-Monas (Kompas, 2014).
Alasan penolakannya adalah trayek (rute
perjalanan) moda transportasi baru bersinggungan di banyak titik lokasi
dengan trayek angkutan lama. Para awak angkutan khawatir penghasilan mereka
akan berkurang karena masalah persinggungan trayek. Konflik karena masalah
persinggungan trayek angkutan menandai adanya konflik perebutan ruang kota
dalam bisnis transportasi publik.
Aspek Penguasaan Ruang
Kota dalam Bisnis Transportasi
Dalam bisnis transportasi, trayek merupakan
ruang produksi yang menjadi lahan untuk menjalankan bisnis. Mobil memang
merupakan aset penting dalam bisnis angkutan, namun trayek merupakan aset
terpenting. Karena trayek adalah ruang dimana mobil-mobil angkutan itu boleh
beroperasi mengantarkan penumpang. Bisnis transportasi bekerja dengan cara
penguasaan ruang. Ada dua model penguasaan ruang trayek di dunia bisnis
transportasi Jakarta.
Pertama, penguasaan ruang moda transportasi
lama. Model ini meliputi moda transportasi publik lawas yang telah lama
mendominasi jalanan ibukota seperti angkot. Trayek-trayek moda transportasi
lama dikuasai oleh para elite pengusaha angkutan. Mereka dapat menguasai
trayek-trayek tersebut karena merekalah yang merancang dan membiayai proses
pembuatan trayek tersebut (Panghegar, 2013). Pemerintah DKI Jakarta berperan
sebagai regulator yang memeriksa kelayakan rancangan trayek dan
mengesahkannya sebagai trayek baru. Ketika sebuah trayek baru disahkan,
pemerintah akan menetapkan kuota mobil angkutan yang boleh beroperasi di
sana.
Dalam model ini, para elite pengusaha angkot,
yang memiliki modal dan pengetahuan tentang birokrasi Pemerintah DKI Jakarta
yang mengurus transportrasi publik, mencari ruang-ruang perkotaan strategis
yang padat penumpang. Ruang-ruang strategis tersebut berupa pusat aktivitas
warga seperti sekolah, area perkantoran, kawasan industri, pasar, dan tempat
hiburan. Mereka merancang trayek melewati daerah strategis tersebut dan
mengajukannya ke Dinas Perhubungan DKI Jakarta agar trayek mereka bisa
disahkan (Panghegar 2013).
Setelah trayek tersebut disahkan, elite
pengusaha tersebut menjadi pemegang hak pengelolaan layanan transportasi di
trayek tersebut. Ada dua pilihan yang dapat dia lakukan, dia mengelola
layanan angkutan di trayek tersebut seutuhnya atau dia menyewakan trayek
tersebut kepada para pengusaha angkutan lain. Umumnya, para elite pemilik
trayek lebih memilih pilihan kedua. Mereka berperan sebagai tuan tanah trayek
tersebut dan menyewakan seluruh atau sebagian jatah kuota mobil dalam trayek
ke para pengusaha angkutan lain (Panghegar 2013).
Misalkan sebuah trayek memiliki jatah kuota 100
mobil, para tuan tanah biasanya menyewakan sebagian dari kuota mobil tersebut
ke pengusaha angkutan lain. Para tuan tanah trayek menarik fee kepada
pengusaha angkutan lain yang menyewa lahan di trayek mereka. Para pengusaha
angkot juga menjalin relasi kerja dengan supir yang berperan sebagai penyewa
mobil dengan sistem setoran. Inilah relasi kerja dalam bisnis transportasi
publik lawas seperti angkot, metromini, dan kopaja.
Model kedua adalah penguasaan ruang moda
transportasi baru seperti bus transjakarta, APTB dan BKTB. Dalam model ini,
pemerintah merupakan perancang dan pemilik trayek angkutan. Mereka
mentenderkan hak pengelolaan layanan transportasi di trayek tersebut kepada
BUMN atau perusahaan swasta dalam jangka waktu tertentu (Peraturan Gubernur DKI
Jakarta Nomor 173/2010). Dalam model ini, hak pengelolaan layanan
transportasi dapat berganti ke perusahaan-perusahaan lain, tidak seperti
model pertama dimana trayek dikuasai oleh elit pemilik trayek. Karena pada
model pertama, perancangan dan pembuatan trayek dilakukan oleh pengusaha
angkutan.
Kedua model penguasaan ruang ini berdiri
bersama-sama dalam dunia bisnis transportasi Jakarta. Penolakan keberadaan
moda transportasi baru (transjakarta, APTB, BKTB) oleh para pelaku usaha moda
transportasi lama (angkot) yang terjadi dalam tiga tahun terakhir merupakan
konflik perebutan ruang kota. Para pelaku usaha moda transportasi lama tidak
menginginkan trayeknya dilintasi oleh trayek moda transportasi baru. Mereka
tidak ingin punya saingan di ruang-ruang kota strategis yang mereka kuasai.
Kompetisi Perebutan
Ruang Kota dalam Bisnis Transportasi
Meskipun tak terlihat secara kasat mata,
bisnis transportasi bekerja dengan cara pengusaaan ruang. Konflik akibat
perebutan ruang merupakan masalah keseharian dalam dunia bisnis transportasi
Jakarta. Mengenai kompetisi perebutan ruang kota, Harvey Molotch, sosiolog
perkotaan menjelaskan:
‘Setiap unit dari sebuah komunitas berusaha
meningkatkan potensi nilai guna lahan yang dimilikinya. Contohnya para
pemilik toko di ujung blok saling berkompetisi untuk menentukan di gedung
mana halte bus akan ditempatkan. Atau, para pemilik hotel di sisi utara kota
berkompetisi dengan para pemilik hotel di selatan kota agar balai pertemuan
dibangun di dekat hotel miliknya.Begitu juga, pertarungan memperebutkan rute
jalan tol, lokasi bandar udara, pembangunan kampus, kontrak pertahanan, lampu
lalulintas, rancangan jalan satu arah dan pembangunan taman. (Molotch 1976).’
Dari penjelasan Molotch, para pengusaha akan
berusaha mempertahankan nilai lahan yang dimilikinya agar terus berpotensi
menghasilkan pendapatan yang tinggi. Dalam bisnis transportasi, ruang trayek
akan berusaha dipertahankan agar tetap memiliki potensi keuntungan yang
tinggi. Para pengusaha angkutan akan berupaya untuk memasukkan ruang kota
strategis ke dalam trayek miliknya dan menjaga agar trayek-trayek lain tidak
banyak melintasi trayek miliknya. Agar mereka tidak memiliki banyak saingan
ketika mengantar penumpang.
Persinggungan trayek dalam jarak yang panjang
menjadi hal yang tidak diinginkan oleh para pengusaha transportasi.
Perusahaan transportasi berusaha mempertahankan trayeknya agar tidak banyak
bersinggungan dengan trayek perusahaan lain. Persinggungan antar trayek
dianggap merugikan. Pihak pengusaha angkutan khawatir persinggungan antar
trayek berpotensi menurunkan pendapatan karena mereka harus bersaing dengan
perusahaan angkutan lain.
Penolakan keberadaan armada APTB dan BKTB oleh
para pelaku usaha angkot, merupakan contoh konflik perebutan ruang kota yang
dipicu oleh masalah persinggungan trayek. Ruang-ruang kota di jalanan Jakarta
dan kota sekitarnya, bukanlah lahan kosong tanpa penunggu melainkan
ruang-ruang yang telah dikapling, dimiliki dan dipertahankan oleh para tuan
tanah trayek dan klien-kliennya. Aspek penguasaan ruang merupakan hal penting
yang perlu diperhatikan dalam kajian transportasi kota.
Pembuatan kebijakan transportasi dengan
demikian, harus memperhatikan masalah penguasaan trayek. Karena bisnis
transportasi merupakan bisnis berbasis penguasaan lahan berupa trayek. Harvey
Molotch dan Kee Warner menjelaskan pentingnya memperhatikan masalah
penguasaan lahan dalam proses pembuatan kebijakan publik. Mereka menjelaskan,
‘Studi ilmu politik dalam berbagai generasi
telah mengajarkan bahwa implementasi kebijakan publik yang sukses tidak bisa
terjadi begitu saja. Karena pengembangan lahan merupakan ranah operasi yang
kompleks dan secara intensif diperebutkan, adanya para pendukung yang
terorganisir dengan baik, membuat hasil yang ditargetkan menjadi hal yang
tidak pasti (Warner dan Molotch 2000).’
Penguasaan trayek sebagai ruang ekonomis dalam
bisnis transportasi harus menjadi perhatian bagi pemerintah DKI Jakarta dalam
usaha pembenahan transportasi di Jakarta. Langkah pemerintah DKI Jakarta
untuk membenahi layanan transportasi publik dengan mengadakan trayek baru
dengan menggunakan armada bus besar dihalangi oleh pengusaha lama yang telah
ada sebelumnya. Membenturkan trayek moda transportasi baru dengan moda
transportasi yang telah lama merupakan hal yang tidak tepat, karena akan
memicu timbulnya penolakan dari pengusaha lama.
Mometum Pembenahan
Layanan Transportasi publik
Upaya pembenahan jaringan trayek dan
pengelolaan layanan transportasi, tidak bisa dilakukan jika pengelolaan
layanan transportasi publik dilepaskan begitu saja ke pihak para pengusaha
angkutan. Apalagi dengan membiarkan pengusaha angkutan menguasai trayek dan
membangun relasi klientelistik dengan para pengusaha lain dan para awak
angkutan. Langkah pemerintah menciptakan sarana angkutan modern (bus
transjakarta, APTB dan BKTB) sembari membiarkan layanan angkutan lama
(angkot) tetap beroperasi, terbukti gagal membuat sistem layanan transportasi
bekerja dengan baik. Sebaliknya, yang terjadi adalah konflik dan kebuntuan
akibat masalah perebutan ruang kota dimana para pelaku usaha angkutan lama
menolak dan menghalangi moda angkutan baru beroperasi.
Jalan yang sebaiknya ditempuh adalah
pemerintah perlu mengambilalih pengelolaan layanan transportasi publik dari
para pengusaha angkutan. Selanjutnya, Pemerintah DKI Jakarta kemudian
membentuk Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang mengelola layanan transportasi
di Jakarta. Hal itu perlu dilakukan agar pemerintah leluasa mengubah sistem
kerja dan pengelolaan layanan angkutan, termasuk juga menata ulang
trayek-trayek angkutan.
Selama ini yang terjadi adalah trayek-trayek
angkutan saling tumpang tindih, tidak saling terintegrasi dan melengkapi. Di
jalan-jalan raya ibukota, dapat kita temukan trayek angkutan baru bus
transjakarta, tumpang tindih dengan trayek angkutan lama. Idealnya,
masing-masing trayek angkutan saling terhubung dari jalan yang kecil di
permukiman sampai ke jalan besar di pusat aktivitas kota.
Menghindari trayek angkutan agar tidak saling
tumpang tindih, Pemerintah dapat membagi area pelayanan angkutan berdasarkan
ukuran kendaraan dengan kapasitas jalan. Layanan transportasi di jalan raya
dilayani oleh bus besar dan menegah, sementara angkot yang menggunakan mobil
kecil melayani daerah jalan lokal, seperti jalan permukiman. Jika trayek
ditata seperti itu, akan tercipta jaring trayek yang lebih terintegrasi dan
tidak tumpang tindih.
Kemudian yang tak kalah penting, masyarakat
sebagai pengguna jasa layanan transportasi perlu dilibatkan dalam hal
perencanaan dan pengelolaan layanan transportasi. Selama ini, pengelolaan
layanan transportasi didominasi oleh elite pengusaha angkutan dengan
pemerintah sebagai fasilitatornya. Selain itu masyarakat pengguna jasa
layanan angkutan belum memiliki komunitas atau organisasi konsumen yang kuat untuk
menghimpun dan mendesakkan aspirasi mereka tentang masalah layanan angkutan.
Perencanaan dan pengelolaan layanan angkutan tanpa melibatkan masyarakat,
terbukti gagal hasilkan layanan angkutan yang berkualitas. Oleh karena itu,
sudah saatnya pembangunan layanan transportasi dan layanan publik lainnya
melibatkan partisipasi masyarakat agar pembangunan fasilitas publik sesuai
dengan kebutuhan masyarakat sebagai pengguna. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar