Oposisi
juga Seksi
Iding Rosyidin ; Dosen Komunikasi Politik FISIP
UIN Jakarta,
Deputi
Direktur the Political Literacy Institute
|
KORAN
SINDO, 27 Agustus 2014
Kini
pasangan Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) telah resmi sebagai presiden
dan wakil presiden Republik Indonesia periode 2014-2019 setelah Mahkamah
Konstitusi (MK) menolak seluruh gugatan yang dilayangkan pasangan Prabowo
Subianto-Hatta Rajasa.
Upaya-upaya
hukum yang ditempuh penggugat, dengan demikian, telah berakhir karena
keputusan MK bersifat final dan mengikat. Terkait masalah ini, banyak
pertanyaan yang muncul tentang bagaimana masa depan Koalisi Merah Putih yang
beranggotakan partai-partai politik pendukung pasangan nomor urut dua
tersebut. Apakah mereka akan tetap berkoalisi setidaknya sampai lima tahun ke
depan sehingga memilih berada di luar kekuasaan ataukah akan bubar di tengah
jalan karena sebagian anggotanya tergiur masuk ke dalam kekuasaan?
Kekuasaan
yang Menggoda
Bukan
tidak mungkin sebagian anggota Koalisi Merah Putih akan berpindah haluan
untuk mendukung pemerintahan Jokowi-JK. Seperti diwacanakan belakangan ini
bahwa Demokrat dan PAN tengah didekati PDIP agar bergabung ke dalam gerbongnya.
Meski Demokrat sudah mengeluarkan pernyataan resmi untuk bersikap netral,
sejumlah elite partai ini banyak yang melakukan pendekatan dengan partai
pemenang pemilu. Sementara para elite partai-partai anggota Koalisi Merah
Putih lain mulai melakukan manuver.
Golkar
misalnya bahkan telah cukup lama diramaikan dengan wacana penyelenggaraan
musyawarah nasional (munas) pada Oktober 2014, dipercepat dari yang
seharusnya pada 2015 sebagaimana kesepakatan Munas VIII di Riau. Calon kuat
ketua umum partai beringin yang muncul, Agung Laksono, tegas-tegas menyatakan
akan mendukung pemerintahan Jokowi-JK. Jika ini terjadi, Golkar jelas akan
keluar dari Koalisi Merah Putih. Hal yang sama juga tengah menimpa PPP. Ada
keinginan elite-elite partai politik pendukung koalisi untuk berubah haluan
kian menahbiskan bahwa kekuasaan memiliki daya penggoda yang luar biasa.
Ironisnya,
di republik ini partai-partai politik dalam banyak hal kerap menggantungkan
hidupnya pada ketiak kekuasaan. Karena itu, ketika dihadapkan pada pilihan
untuk berada di luar, mereka seolah-olah merasa tidak akan mampu berbuat
banyak. Ini diperparah dengan kecenderungan pragmatisme partai- partai
politik tersebut di mana kursi atau kekuasaan merupakan segala-galanya dalam
berpolitik. Politik semata-mata dimaknai seperti yang dikatakan Harold D.
Lasswell sebagai siapa memperoleh apa, kapan, dan bagaimana (who gets what, when and how). Akibat
itu, mereka lebih memilih untuk berada di dalam kekuasaan yang dianggapnya
sebagai zona nyaman ketimbang mengambil risiko untuk berada di luar
kekuasaan.
Oposisi,
Mengapa Tidak?
Padahal
sesungguhnya politik yang sehat memerlukan keseimbangan kekuasaan. Kekuasaan
tanpa penyeimbang akan mudah terjatuh pada otoritarianisme dan bentuk-bentuk
kesewenangan lain. Tesis Lord Acton yang sangat terkenal, kekuasaan cenderung
korup dan kekuasaan absolut cenderung korup secara mutlak (power tends to corrupt and absolute power
corrupts absolutely), tampaknya sulit dibantah. Berbagai praktik
kekuasaan tanpa kekuatan penyeimbang dengan mudah ditemukan di negaranegara
otoriter, termasuk di negeri ini pada masa Orba.
Kekuatan
penyeimbang tidak dapat disangkal lagi merupakan prasyarat mutlak (conditio sine qua non) bagi tegaknya
demokrasi di negeri ini. Karena itu, partai-partai politik anggota Koalisi
Merah Putih, kalaupun tidak semuanya, seyogianya ada yang tetap memainkan
peran penyeimbang atau oposisi untuk lima tahun ke depan. Mereka tidak perlu
ragu-ragu untuk menyatakan dirinya sebagai partai oposisi bagi pemerintahan
Jokowi-JK. Hemat penulis, peran sebagai oposisi bisa menjadi sesuatu yang
menguntungkan bagi partai-partai politik. Jika peran oposisi yang
dimainkannya berjalan secara benar, besar kemungkinan oposisi akan menjadi
investasi politik pada masa-masa yang akan datang.
Artinya,
mereka akan dapat memanen dividen investasi politik itu pada waktunya nanti.
Demikianlah kita misalnya menyaksikan silih bergantinya partai yang berkuasa
di AS. Yang menjadi oposisi bisa menarik hati publik sehingga kemudian mampu
berkuasa pada periode berikutnya. Karena itu, publik sangat berharap anggota
Koalisi Merah Putih seperti Gerindra, PKS, dan PBB, syukur-syukur juga
anggota-anggota Koalisi Merah Putih lainnya, konsisten memainkan peran
oposisi paling tidak selama lima tahun ke depan.
Peran
oposisi yang baik, menurut hemat penulis, harus diorientasikan pada ihwal
berikut. Pertama , oposisi seyogianya didasarkan pada niat untuk melakukan
politik keseimbangan terhadap kekuasaan. Mereka sadar sepenuhnya bahwa dalam
kultur demokrasi kekuasaan tidak boleh dibiarkan berjalan sendiri, tapi harus
ada yang mengimbanginya. Jangan sampai oposisi dipengaruhi oleh motif balas
dendam atas kekalahan yang diderita partai-partai oposisi saat pemilu. Kalau
motif ini yang mengemuka, bisa dipastikan peran oposisi yang dimainkannya
tidak akan berjalan dengan baik.
Kedua
, peran oposisi harus dilakukan secara cerdas, jangan asal-asalan. Dengan
kata lain, partai-partai oposisi harus bisa menempatkan dirinya kapan untuk
bersikap kritis atas kebijakan pemerintah dan kapan saatnya memberikan
dukungan. Asal kritis saja atau lebih parah asal berbeda dengan pemerintah,
alih-alih akan mendatangkan simpati justru akan menimbulkan antipati publik.
Ini malah membahayakan bagi partai-partai itu. Ketiga , oposisi seyogianya
dimaknai sebagai bentuk merawat tradisi politik yang baik di republik ini.
Sebagaimana diketahui, budaya politik Indonesia hampir tidak mengenal tradisi
oposisi apalagi selama kendali kekuasaan dipegang rezim Orba.
Jangankan
oposisi, potensipotensi perbedaan sikap dan pandangan dengan pemerintah saja
ketika itu segera disapu bersih oleh penguasa bahkan dengan menggunakan
kekerasan. Baru setelah memasuki reformasi oposisi mulai muncul meski belum
menjadi tradisi politik yang melembaga. Pada dua periode pemerintahan kemarin
misalnya PDIP telah memainkan peran oposisi dengan cukup baik dan kini dapat
menunai hasilnya. Maka itu, sangat tepat kalau Gerindra, PKS, dan partai
anggota Koalisi Merah Putih lain juga ikut merawat tradisi politik yang baik
ini dengan menempuh jalur oposisi.
Pada
masa-masa yang akan datang bukan tidak mungkin kita dapat menyaksikan silih
berganti kekuasaan di Indonesia antara penguasa dan oposisi. Dengan demikian,
oposisi tidak lagi menjadi sesuatu yang dianggap tabu di negeri ini.
Sebaliknya, ia justru isu seksi yang mesti dimanfaatkan partaipartai politik
yang mengalami kekalahan dalam pemilu. Sekali lagi, tidak perlu ragu untuk
menempuh jalur oposisi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar