Negara
dan Krisis Kebudayaan
Iwan Meulia Pirous ; Pengajar Departemen Antropologi
FISIP UI
|
KOMPAS,
30 Agustus 2014
NEGARA
mendesak Rancangan Undang-Undang Kebudayaan segera disahkan, tetapi rupanya
belum juga dilakukan karena banyak kritik dari segala penjuru. RUU Kebudayaan
masih normatif, belum menyentuh persoalan krisis kebangsaan dengan realistis.
Kebudayaan hanya dianggap bernilai jika ada hubungan dengan kepentingan nasional,
seperti jadi branding nilai dan produk yang potensial mendatangkan kontribusi
ekonomi demi keperluan pembangunan.
Perspektif
ini memberi peluang bagi negara untuk memperoleh keuntungan besar dengan
menempatkan kebudayaan dalam dua hal. Pertama, sebagai ”nilai-nilai yang
mengusung orientasi tindakan produktif”. Kedua, sebagai ”benda-benda yang
bernilai ekonomi tinggi”.
Inilah
yang mendatangkan kritik. Substansi RUU dianggap terlalu menempatkan
kebudayaan sebagai hal yang harus diatur- atur dan dikontrol serta dilepaskan
dari manusia yang membuat dan memilikinya. Namun, apa yang sesungguhnya jauh
lebih darurat dari kritik di atas?
Konstitusi
Pasal 32 (amendemen) menyebutkan, negara memajukan dan mengembangkan kebudayaan Indonesia di tengah peradaban
dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan
kebudayaannya. Kebudayaan nasional diterjemahkan sebagai mozaik dari kumpulan berbagai etnis
yang unik dan bersatu padu secara harmonis.
Boleh
saja model ”fungsional- utopis” tetap digunakan untuk menjelaskan kepada
turis asing soal keanekaragaman ideal, tetapi tetap perlu analisis lain untuk
bergerak maju. Pembahasan kebudayaan harus bersifat otokritis, korektif,
strategis, dan dialogis atas perbedaan kultural. Itu satu-satunya jalan
realistis untuk hidup di alam kebinekaan.
Tubuh yang paradoks
Orde
Baru memotong-motong tubuh kompleks realitas sosial jadi organ-organ
terpisah. Melalui kurikulum sekolah, SD sampai perkuliahan, orang Indonesia
dibesarkan dalam label keilmuan yang mengharuskannya membedakan persoalan
politik, sosial, budaya, agama, ekonomi, penegakan HAM, dan sejarah sebagai
hal yang berdiri sendiri. Maka, siswa tidak terbiasa membangun analisis dari
berbagai sudut yang berbeda untuk mencapai kesimpulan besar. Mereka jadi
fasih untuk berpikir sektoral untuk soal-soal besar dengan kesimpulan
kompromis biasa.
Apa
yang terlewat dari RUU Kebudayaan adalah aspek manusia dinamis dengan segala
holistik kemanusiaannya dalam proses pembentukan kebudayaan. Politik Orde Baru
melahirkan manusia-manusia tipikal paradoksal: religius dan patuh dalam
berbelanja, konsumtif dalam simbol-simbol agama, dan toleran terhadap
kekerasan dalam penegakan moral. Namun, juga lunak dan ragu terhadap korupsi,
ketidakadilan, serta pelanggaran HAM di depan matanya.
Tipologi
manusia seperti ini tak lepas dari keberhasilan Orde Baru membangun sikap
alergi terhadap soal politik sebatas cermin dari kegagalan ”Orde Lama” akibat
terlalu ”larut” berpolitik dan ”lupa” mengurus ekonomi. Sampai hari ini transisi ideologi 1966
belum dibahas secara benderang dengan mengaitkan penindasan perjuangan kelas,
kekerasan sistematis negara, sebagai konsekuensi pembentuk wajah sesungguhnya
dari ”kepribadian bangsa” yang patuh terhadap desakan pasar, dan toleran terhadap
kekerasan.
Puitis dan progresif
Dari
perspektif pelaku, kebudayaan adalah tindakan. Kebudayaan merupakan respons
strategis atas tantangan-tantangan zaman yang digunakan sebagai pedoman
tingkah laku kolektif. Kebudayaan kental dengan suasana praktik membangun
solidaritas untuk memperkuat diri dan kelompok. Kebudayaan juga berkembang
karena proses interaktif dan negosiatif antarpelaku dari kelompok lain. Dalam
taraf tertentu , bahkan kebudayaan adalah pedoman untuk melakukan perlawanan
dan gerakan sosial kolektif dalam menuntut hak.
Dari
perspektif pengelola, termasuk pemangku kepentingan dan negara, kebudayaan
adalah kumpulan kearifan lokal dan juga etos atau nilai-nilai yang dianggap
kepribadian luhur. Definisi kedua ini lebih puitis dan populer, tetapi tidak
cukup operasional untuk membuka sekat-sekat ketidakadilan, kritik, dan
dialog. Justru malah menciptakan kebingungan paradoksal. Misalnya, mengapa
orang Indonesia yang ramah-ramah ini makin lama makin keji saja terhadap
perbedaan kepercayaan?
Maka,
masukan penting jika RUU Kebudayaan ingin berguna, kaji kembali kehadiran
negara dalam mengelola kebudayaan. Banyak pranata lokal Nusantara ini sudah
hadir demokratis dan berdikari sebelum Indonesia ada, tetapi hilang
denyutnya. Cegah penetrasi kapital yang membuat ketergantungan dan
menciptakan hierarki kelas, buka kembali dialog. Kaitkan penegakan HAM
sebagai bagian kebudayaan, bela dan jalankan rekonsiliasi terhadap
korban-korban konflik politik dan sosial pada masa lalu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar