Mewaspadai
Keamanan Pangan
Toto Subandriyo ;
Praktisi Industri Pangan,
Alumnus Bioindustri,
Departemen
Teknologi Industri Pertanian, IPB
|
KORAN
SINDO, 02 Agustus 2014
Meski
semua berubah di negeri ini, ada satu hal yang tak pernah berubah dari tahun
ke tahun. Setiap menjelang dan setelah lebaran, para pedagang dan produsen
makanan selalu memanfaatkan situasi untuk menangguk keuntungan besar meski
dengan cara-cara yang tidak terpuji (moral
hazard).
Beberapa
hari terakhir media cetak dan elektronik Tanah Air gencar memberitakan
beredarnya berbagai jenis makanan yang tidak memenuhi ketentuan keamanan
pangan. Mulai daging sapi gelonggongan, ayam tiren (mati kemaren), makanan
dengan pewarna dan pengawet yang dilarang, makanan kedaluwarsa, hingga daging
celeng (babi hutan) yang dioplos dengan daging sapi.
Tajuk KORAN SINDO (8/7) berjudul ”Daging Celeng”
telah mengulas secara lugas tentang peredaran daging celeng yang dioplos dengan
daging sapi pada sejumlah pasar tradisional di Jakarta dan sekitarnya.
Menyitir data Badan Karantina Pertanian, Kementerian Pertanian, bahwa volume
penyelundupan daging celeng meningkat sebesar 200% dari tahun lalu. Sepanjang
Januari-Juni 2014, volume daging celeng selundupan tercatat sebanyak 35.341
kg.
Secara
psikologis, kewaspadaan masyarakat menjelang lebaran seperti saat ini
mengendur seiring meningkatnya denyut nadi aktivitas sosial ekonomi. Saat ini
kegiatan konsumtif lebih mendominasi kegiatan warga. Pada situasi seperti
ini, masyarakat tidak lagi berpikir rasional dalam memenuhi kebutuhan puasa
dan lebaran. Bagi oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab, situasi seperti
ini merupakan peluang empuk untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya.
Pangan ASUH
Mau
tidak mau, suka tidak suka, pemerintah di semua tingkatan harus segera
melakukan upaya untuk melindungi masyarakat dari praktik-praktik tidak
terpuji. Melindungi masyarakat dari produk daging sapi yang mengandung cacing
hati (Fasciola hepatica), produk makanan berformalin, produk makanan dengan
pewarna terlarang Rodamin B dan methanyl yellow, produk makanan kedaluwarsa,
produk pangan yang tidak halal, dan sebagainya.
Sesuai
aturan, pangan yang diedarkan ke masyarakat haruslah pangan yang aman, sehat,
utuh, dan halal (ASUH). Pangan yang aman adalah pangan yang tidak mengandung
residu obat-obatan dan bahan pengawet terlarang. Pangan sehat berasal dari
sumber yang sehat dan tidak mengalami pencemaran kuman. Pangan utuh murni
diperoleh dari hewan ternak sembelihan tertentu tidak tercampur dengan bagian
hewan lain.
Sedangkan
pangan halal adalah pangan yang sesuai syariat Islam, tidak haram, bukan
daging dari hewan mati sebelum disembelih. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012
tentang Pangan telah menegaskan bahwa setiap orang yang memproduksi pangan
untuk diedarkan, dilarang menggunakan bahan apa pun sebagai bahan tambahan
pangan yang dinyatakan terlarang atau melampaui ambang batas maksimal yang
ditetapkan.
Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen juga telah mengamanatkan
bahwa konsumen mempunyai hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam
mengonsumsi barang dan/atau jasa. Secara generik, masyarakat memahami
keamanan pangan dalam pengertian sempit. Keamanan pangan selalu diidentikkan
dengan peristiwa keracunan.
Peraturan
Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan,
mendefinisikan keamanan pangan sebagai kondisi dan upaya yang diperlukan
untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda
lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia,
serta aman dari kaidah agama.
Pemeriksaan
pangan yang gencar dilaksanakan beberapa hari terakhir oleh tim terpadu dari
unsur Dinas Kesehatan, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, mendapati
penggunaan bahan tambahan pangan (BTP) terlarang. Di antaranya penggunaan
formalin sebagai pengawet, Rodamin B
dan methanyl yellow sebagai
pewarna. Keduanya sangat membahayakan kesehatan manusia.
Formalin
merupakan nama dagang dari larutan formaldehid
dalam air dengan kadar 30-40% yang berfungsi sebagai pembunuh hama
(disinfektan) dan pengawet mayat. Mengonsumsi makanan berformalin secara akut
dapat mengakibatkan sakit perut dan kejang, kerusakan hati dan jantung,
gangguan sistem syaraf pusat, dan gangguan ginjal.
Rodamin
B dan methanyl yellow adalah
pewarna tekstil dan dilarang untuk pewarna makanan. Karena warnanya sangat
menarik, produsen kue, penjual cendol, es sirup, dan kerupuk, sering menggunakan
pewarna ini sebagai daya pemikat. Padahal, zat pewarna ini dapat menyebabkan
gangguan hati, kandung kemih, saluran pencernaan, dan jaringan kulit.
Sedangkan methanyl yellow dapat
menyebabkan iritasi pada mata, paru-paru, tenggorokan, dan usus.
Untuk
konsumsi bahan pangan segar, peredaran daging gelonggongan dipastikan akan
semakin marak mendekati lebaran. Daging ini diperoleh dari sapi yang sebelum
disembelih dipaksa minum air sebanyak-banyaknya menggunakan pompa bertekanan
tinggi (jet pump). Praktik tidak
terpuji ini dilakukan agar lambung dan sistem pencernaan sapi penuh dengan
air, tonase daging menjadi berlipat.
Satu
kilogram daging gelonggongan setara dengan 0,7 kilogram daging normal. Daging
ini kualitasnya sangat rendah, karena kadar air yang tinggi secara tidak
wajar akan merusak kandungan protein dan zat-zat gizi lainnya, serta mudah
busuk. Untuk membedakan, permukaan daging gelonggongan selalu basah oleh air
sampai ke serat-seratnya, sedangkan daging normal hanya lembap di
permukaannya.
Tingkat
keasaman (pH) daging gelonggongan bisa di atas 6, sedangkan daging normal
berkisar 5,3-5,8. Penjual daging gelonggongan tidak berani menjual daging
tersebut dengan digantung, karena air yang telah digelonggong akan menetes.
Sanksi Hukum
Harus
selalu ada pihak-pihak yang tak bosan mengingatkan kepada masyarakat untuk
tetap waspada. Kewaspadaan yang tinggi tersebut diperlukan agar masyarakat
konsumen terlindungi dan memperoleh hak-hak normatif mereka secara wajar.
Langkah cepat dan tegas harus segera dilakukan untuk mencegah berbagai
kecurangan para pedagang pangan ini. Langkah cepat ini setidaknya ditujukan
untuk tiga alasan.
Pertama,
memberikan rasa aman dan nyaman terhadap konsumen dalam mengonsumsi makanan.
Kedua, melindungi produsen yang benar-benar jujur dari kebangkrutan karena
omzet yang menurun drastis akibat beredarnya khabar dan praktik-praktik usaha
yang tidak sehat. Ketiga, memberikan sanksi hukum yang tegas bagi para
pelanggar ketentuan dan para produsen nakal.
Produk
pangan yang membahayakan kesehatan manusia harus segera ditarik dari
peredaran dan dimusnahkan. Langkah penegakan hukum menjadi kata kunci agar
para produsen yang bertindak nakal tidak mengulangi perbuatannya.
Penegakan
hukum yang lemah membuat berbagai kasus keamanan pangan selalu mencuat ke
wacana publik, membuat heboh masyarakat sejenak, masuk peti es, dan heboh
kembali setelah muncul kasus serupa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar