Mereka-reka
Kabinet Baru
Budiarto Shambazy ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS,
30 Agustus 2014
PADA
4 April 1957 di Istana Negara, Presiden Soekarno mengadakan pertemuan
tertutup dengan 69 tokoh partai dan 45 perwira tinggi TNI untuk membentuk
kabinet. Bung Karno menunjuk dirinya sendiri sebagai formatur. Ia membagikan
formulir kepada hadirin berisikan tanda setuju atau tidak dengan cara unik
itu. Di formulir juga ada pertanyaan apakah mereka bersedia ditunjuk sebagai
menteri.
Ternyata,
58 dari 69 tokoh bersedia menjadi menteri, 9 menolak, dan 2 tidak menjawab.
Esoknya, Kabinet Karya diumumkan dan dipimpin tokoh nonpartai, Djuanda
Kartawidjaja, sebagai PM dengan 2 wakil PM dan 21 menteri. Kabinet Djuanda
inilah embrio ”kabinet kerja”. PM Djuanda berkali-kali menjelaskan penempatan
menteri dinilai dari keahlian meskipun ada 12 politisi yang dianggap
profesional.
Djuanda
menyerahkan mandat sehari setelah BK menerbitkan Dekrit 5 Juli 1959. Dan,
beberapa hari kemudian, BK membentuk Kabinet Kerja I dengan dia sendiri
sebagai PM dan Djuanda sebagai Menteri Pertama (semacam wakil PM). Tak ada
satu pun politisi yang diberikan jatah menteri. Dan, ada 12 menteri di
Kabinet Karya yang dipertahankan di Kabinet Kerja I ini.
Jika
salah satu program Kabinet Karya ”mempergiat pembangunan”, Kabinet Kerja I
secara spesifik bertekad ”memperlengkap sandang-pangan rakyat dalam waktu
sesingkat-singkatnya”. Usia Kabinet Kerja I ini tak sampai setahun, dirombak
jadi Kabinet Kerja II (1960-1962).
Usia
Kabinet Kerja III juga sekitar setahun, salah satu tujuannya ”program
sandang-pangan harus diperhebat”. Sayangnya, Djuanda, yang de facto bertindak sebagai PM, wafat
beberapa hari setelah reshuffle pada 7 November 1963.
Kabinet
Kerja IV juga berumur sekitar setahun sampai dibubarkan pada 27 Agustus 1964
dan digantikan Kabinet Dwikora. Dua butir program kerja Kabinet Kerja IV
masih berkisar pada pemenuhan kebutuhan sandang-pangan.
Ada
pendapat yang mengatakan, serial Kabinet Kerja inilah yang memulai orientasi
pada pembangunan ekonomi. Kebetulan Djuanda bukan politisi dan diberikan
kebebasan oleh BK.
Pada
tahun-tahun itulah, pembangunan infrastruktur Ibu Kota dimulai. Sebelumnya
kita diganduli berbagai macam krisis, termasuk pemberontakan PRRI/Permesta.
Namun, BK rupanya juga tak bisa lepas dari proyek-proyek politiknya. Ia masih
membelenggu negeri dengan Konfrontasi Malaysia yang juga membuang-buang dana
tak kecil ketika membentuk Kabinet Dwikora.
Kabinet
Dwikora (1964-1966) terdiri dari 78 menteri. Lebih hebat lagi, Kabinet
Dwikora Yang Disempurnakan, yang terdiri dari 112 menteri yang berumur
sebulan dan tiga hari saja.
Sebagai
politisi, BK memang unik. Dia berani membagikan formulir untuk diisi mereka
yang berminat menjadi menteri atau nekat mengangkat lebih dari 100 orang
menjadi menteri.
Suatu
kali dia bahkan mengganti tiga menteri sambil ngobrol di lorong Istana Bogor
dengan Menteri Panglima TNI AD Letjen Ahmad Yani. Waktu mengambil keputusan
itu, dia pamit keluar 5 menit dari ruangan saat sedang menemui Jaksa Agung
Amerika Serikat Robert Kennedy.
Bagi
BK, prerogatif merupakan hak atau privilese
yang secara eksklusif dimiliki presiden. Tiap presiden memiliki keleluasaan,
kekuasaan, keuntungan posisional, dan kewenangan membentuk serta merombak
kabinet. Saran, kritik, atau tekanan boleh saja ditampung oleh pemegang hak
prerogatif. Namun, pada akhirnya keputusan tetap di tangan presiden.
Secara
konstitusional, seorang wapres pun tidak bisa mempersoalkan hak prerogatif
presiden, apalagi partai, tokoh, opini publik, pendapat pakar, atau siapa
pun. Namun, mungkin zaman sudah berubah. BK memakai hak prerogatifnya secara
penuh setelah ”diganggu” partai-partai pasca Pemilu 1955.
Partai-partai,
menurut dia, mesti ”dikubur hidup-hidup” karena tidak memikirkan
kesejahteraan rakyat. Oleh sebab itulah, BK ngotot membentuk ”kabinet
karya/kerja” yang terbilang berhasil berkat kinerja Djuanda.
Presiden
Soeharto pun sebenarnya ikut melanjutkan apa yang telah dirintis BK.
Setidaknya Pak Harto tetap bercita-cita membawa Indonesia ”lepas landas”
seperti yang dicanangkan juga oleh BK melalui rangkaian pembangunan per lima
tahunan (Bung Karno delapan tahunan).
Pak
Harto lebih cermat selama memimpin sembilan kabinet dalam periode 1966-1998
berkat kepemimpinan kuat dan prinsip winner
takes all setiap kali Golkar memenangi pemilu. Kadang politisi PPP dan
PDI diakomodasi mengisi departemen yang kurang strategis.
Namun,
kita semua tahu, serial Kabinet Pembangunan-lah yang mengintrodusir
profesionalitas menteri-menteri kelompok ekonomi. Sistem politik Orde Baru
yang otoriter tentu menjamin kinerja tiap kabinet mencapai target kerja.
Sejak
merdeka sampai tahun ini, negeri ini sudah dikelola oleh 48 kabinet. Kita
mengikuti saksama proses pembentukan kabinet baru duet Presiden Joko Widodo
dan Wapres Jusuf Kalla. Janji kampanye pemerintahan baru akan membentuk
kabinet kerja berstruktur ramping dan profesional. Rasanya masih realistis
berharap mereka memegang janji tersebut.
Joko Widodo-Jusuf Kalla dipilih
langsung oleh 72 juta rakyat. Lebih penting mempertimbangkan struktur kabinet
yang berorientasi pada ”apa” yang mesti dilakukan untuk mencapai Nawa Cita, bukan ”siapa” yang jadi
menteri-menterinya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar